Pengungsi Merapi dan Keteladanan Mbah Maridjan
Pekan ini, Gunung Merapi kembali meletus dan memakan banyak korban nyawa dan musnahnya harta benda. Letusan gunung berapi paling aktif di dunia ini juga membuat ribuan orang mengungsi. Duah hari setelah meletus, Kamis, 28 Oktober 2010, saya bersama pengurus Partai Golkar menyempatkan diri mengunjungi lokasi bencana Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Saya bersama rombongan langsung menuju Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Di sana, saya mengikuti prosesi pemakaman jenazah Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, yang meninggal di rumahnya setelah diterjang awan panas saat Merapi meletus. Ribuan orang berkumpul untuk mengikuti pemakaman Mbah Maridjan di kompleks makam dusun Srumen, Glagaharjo, Sleman, sebuah makam di kaki Gunung Merapi yang dipenuhi tanaman bambu dan semak belukar.
Jenazah belum tiba, saat saya tiba di sana. Jenazah Mbah Maridjan masih dalam perjalanan dari Masjid Kahar Muzakar, di kompleks kampus Universitas Islam Indonesia (UII). Tak selang lama, jenazah lelaki yang telah menjadi juru kunci Merapi sejak tahun 1982 itu pun tiba di area pemakaman.
Sebelum jenazah dimasukkan ke liang kubur, para pelayat membacakan doa tahlil. Suasana haru begitu terasa. Dalam acara pemakaman itu terungkap pribadi baik dan teladan mulia yang selama ini diajarkan Mbah Maridjan. Ini terlihat saat seorang kiai yang memimpin upacara pemakaman tersebut meminta pendapat para pelayat tentang kepribadian Mbah Maridjan semasa hidup. Kiai itu bertanya: “Mbah Maridjan sae nopo awon, poro rawuh (Mbah Maridjan orangnya baik atau tidak, para hadirin?)”.
Mendengar itu para pelayat, yang sebagian besar di antaranya warga desa setempat, menjawab keras; “Sae!” yang artinya bagus. Setelah itu, barulah jenazah dimasukkan ke liang lahat, tempat peristirahatan terakhir, diiringi kumandang “Laa ilaaha illallah” berulang-ulang.
Sebenarnya saya tak terlalu mengenal sosok Mbah Maridjan. Namun, saya pernah aktif berkomunikasi dan bekerja sama dengan Mbah Maridjan ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 2006. Ketika itu, saya menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Dari pertemuan tersebut, saya mendapat kesan kuat bahwa Juru Kunci ini merupakan sosok yang teguh mengemban amanat, tugas dan tanggung jawab, meski harus berkorban jiwa dan raga.
Di akhir hayatnya, Mbah Maridjan yang santun dan bersahaja itu pun masih setia menjalankan amanat yang diberikan Sultan Hamengkubuwono IX pada 28 tahun silam, yakni menjaga dan merawat Merapi.
Keteladanan Mbah Maridjan ini layak kita apresiasi dan kita teladani. Keteladanan seorang pemimpin di komunitasnya yang selalu konsisten dengan sikapnya. Juga keteladanannya dalam mengemban sebuah tanggungjawab yang diberikan padanya. Saya tak berlama-lama di komplek makam di Srumen itu. Sesaat setelah upacara pemakaman, saya langsung meluncur mengunjungi lokasi pengungsian warga korban letusan Merapi. Lokasinya Masih di Desa Glagaharjo. Mungkin berjarak setengah kilometer dari Srumen.
Rombongan DPP dipandu Ketua DPD Partai Golkar DIY, Gandung Pardiman tak susah untuk mencapai lokasi pengungsian. Lokasi pengungsian dipusatkan di Desa Glagaharjo dan Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan. Kalau dari Kota Yogyakarta, hanya ditempuh dalam waktu tidak lebih dari satu jam. Jalannya pun mulus dan tak terlalu berkelok-kelok.
Di tempat itu, sudah berdiri beberapa tenda-tenda darurat berukuran besar. Masing-masing tenda mungkin bisa menampung
seratus hingga seratus lima puluh orang. Ada pula sebuah gedung olahraga berukuran cukup luas yang juga difungsikan untuk menampung para pengungsi.
Di lokasi pengungsian yang berjarak sekitar lima kilometer dari lereng Merapi tersebut, menurut Kepala Desa setempat, ada sedikitnya 1.595 orang. Laki-laki, perempuan, tua, muda dan anak-anak, semua ditampung di tempat pengungsian ini. Di sini, saya, atas nama keluarga besar Partai Golkar, memberikan bantuan berupa sembako, makanan siap saji,masker, selimut dan pakaian hangat.
Saya sempatkan pula untuk berbincang-bincang dengan warga. Saya meminta mereka untuk tetap bertahan di pengungsian, tidak tergesa-gesa kembali ke rumah masing-masing di lereng, hingga situasi benar-benar aman. Saya tekankan betul hal itu. Sebab, saya khawatir warga memaksa kembali ke rumah, sedangkan Merapi masih berbahaya.
Saya merasa harus benar-benar memperingatkan warga agar tidak tergesa-gesa kembali. Sebab, tak sedikit warga yang mengabaikan peringatan pemerintah agar segera turun ketika gunung api itu menunjukkan tanda bahaya. Alasan sebagian besar mereka karena ingin menengok hewan peliharaan atau ladang mereka.
Selanjutnya, saya menemui warga di lokasi pengungsian lainnya di Desa Kepuharjo. Serupa di Glagaharjo, di tempat ini juga sudah berdiri beberapa tenda darurat. Namun, di sini jumlah pengungsinya sedikit lebih banyak dibanding di Glagaharjo. Seperti halnya di lokasi pengungsian sebelumnya, kami juga memberikan bantuan berupa sembako, makanan siap saji, masker, selimut dan pakaian hangat.
Di tempat ini, saya secara khusus memberikan santunan uang untuk dua relawan dari Karang Taruna desa setempat, yang turut menjadi korban tewas akibat letusan Merapi. Santunan yang masing-masing senilai Rp 5 juta itu diberikan kepada keluarga korban.
Dari kunjungan saya itu, saya nilai secara umum, kondisi pengungsian cukup baik. Demikian pula pelayanan terhadap para warga, juga relatif baik. Namun, dari penuturan warga yang saya temui, mereka mengaku kekurangan air bersih, terutama untuk minum. Hal ini juga disampaikan kepala desa setempat bahwa para pengungsi kekurangan air minum. Karena itu, Partai Golkar secepatnya akan mengusahakan untuk memenuhi kebutuhan air tersebut. Partai akan membuat dapur umum yang akan difungsikan untuk memasak makanan dan menyediakan air minum.
Tidak hanya untuk Yogyakarta, selama ini Partai Golkar selalu turun secepatnya jika ada bencana terjadi di daerah Indonesia. Niatnya tentu semata-mata untuk meringankan penderitaan rakyat. Jika ada penilaian miring bahwa Golkar mencari popularitas dan memanfaatkan keadaan itu silahkan saja, yang jelas tak akan menyurutkan niat kita membantu sesama.
No comments yet.