Saya “Manfaatkan” Pak Ical untuk Batik
Oleh: Iman Sucipto Umar
Presiden Direktur PT Trypolyta Indonesia, Ketua Umum Yayasan Kadin, mantan Sekjen PII, mantan Sekjen /Direktur Eksekutif Kadin
Saya mengenal Pak Aburizal Bakrie sejak menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Hubungan kami semakin dekat karena memiliki hubungan keluarga. Adik Pak Ical, Ibu Odi, kebetulan menikah dengan kakak ipar saya atau kakak istri saya.
Pernikahan ini membuat hubungan di antara dua keluarga yang sudah erat menjadi semakin erat.Sejak dulu, jika lebaran atau Idul Fitri, keluarga saya selalu ke tempat Pak Achmad Bakrie, orangtua Pak Ical. Anak saya Bobby Gafur Umar, sekarang Presiden Direktur Bakrie & Brothers, juga sangat dekat dengan Pak Ical. Kedekatan Bobby dengan Pak Ical terjalin sejak Bobby sekolah di AS. Setiap Pak Ical ke Amerika, selalu menghubungi Bobby dan ia meminta Bobby bekerja di perusahaannya bila telah lulus.
Selain itu, kedekatan kami juga karena kami sering bekerja sama di organisasi. Dalam aktivitas organisasi, saya dikenal sebagai Sekjen yang mendampingi Pak Ical di Persatuan Insinyur Indonesia (PII) maupun di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Kisah Pak Ical memimpin PII menarik. Pada awalnya dia menolak maju memimpin para insinyur, dengan alasan memasang saklar saja tidak bisa, dan mengakui keahliannya berbisnis. Namun setelah kita yakinkan bahwa yang dibutuhkan adalah jiwa kepemimpinan bukan soal teknis, akhirnya Pak Ical bersedia. Sebagai tim sukses, saya menyusun formatur dan akhirnya Pak Ical meminta saya menjadi Sekjennya.
Saat memimpin PII sejak tahun 1989 sampai 1994, banyak kenangan yang membekas mengenai sosok Pak Ical. Sebagai pemimpin, dia mampu menunjukkan sebagai pemimpin yang teguh pada komitmen yang telah dibuatnya. Hal ini merupakan ciri khas dia dalam memimpin organisasi. Sikap seperti itulah yang membuat saya mendukung dia dan membantunya memimpin. Dalam kerjasama lima tahun di PII, kita bekerjasama membuat banyak sekali program. Kadang dia yang mencetuskan, namun kadang kami yang memutuskan. Kerjasama kita dalam kepemimpinannya yang baik berjalan mulus sampai akhir.
Rupanya chemistry saya dan Pak Ical cocok. Maka seusai memimpin di PII, pada tahun 1994, ada pemilihan ketua umum Kadin. Lalu dia maju dan saya menjadi semacam manajer kampanye.
Sama seperti di PII, waktu dia jadi Ketua Umum Kadin, Pak Ical meminta saya jadi Sekjen. Saya katakan siap, apalagi pada waktu itu izin pemerintah yang saya perlukan, mengingat saya masih menjadi Staf Ahli Menteri Perindustrian, secara lisan hari itu juga kaluar. Di tengah-tengah suasana “agak canggung”, pada awalnya karena calon pemerintah untuk menduduki jabatan ketua umum Kadin tidak terpilih dalam Munas, secara bertahap kadin diakui sebagai wadah dunia usaha nasional yang didirikan berdasarkan undang-undang.
Munas Kadin berikutnya, yakni pada 1999, pak Ical terpilih lagi. Saya diminta lagi menjadi Sekjen (yang beberapa waktu kemudian disebut Direktur Eksekutif). Waktu itu saya tidak bersedia. Namun Pak Ical tetap meminta saya dengan mengatakan “Jangan gitu dong mas, masak saya ditinggal”. Akhirnya saya yang saat itu bekerja di Barito Group bersedia asal diizinkan membagi waktu atau menjadi part timer di organisasi. Saya mau menjabat, tapi saya bebas menentukan jadwal. Saya di Kadin pukul 07.00 WIB, dan pukul 09.00 WIB saya sudah sampai di kantor Barito Group, atau di Kadin pagi sampai siang, dan siang sampai selesai saya di kantor.
Waktu Pak Ical menjadi Menko Perekonomian, dia mau mengajak saya lagi. Wah saya pikir cukup lah, saya merasa tak mampu lagi dari segi fisik. Dua kali saya dipanggil untuk jadi Sekretaris Menteri Perekonomian, namun saya menolak. Baliau pasti kecewa, namun saya yakin Beliau mengerti.
Saat menjabat Menko Kesra saya “memanfaatkan” posisi dia untuk menggolkan batik jadi warisan dunia UNESCO. Saya bersama Yayasan Kadin sudah empat tahun berjuang untuk itu. Pak Ical menyambut baik dan membantu, akhirnya perjuangan batik menemui hasil. Tanggal 2 Oktober 2009 batik resmi diakui jadi warisan dunia.
No comments yet.