Tetap Optimis di Tengah Krisis
Pidato Motivasi pada Jambore Karya Tunas Nusantara (KTN). Sumedang, Jawa Barat, 2 Juli 2010
Saya merasa bangga pada malam ini, sebab saya bisa bertatap muka dengan generasi muda Indonesia yang telah membangun karya dan membangun prestasi yang mulai menonjol dalam berbagai aspek kehidupan. Setiap kali saya bertemu dengan generasi muda berprestasi, semangat dan gairah saya lalu bangkit kembali. Demikian juga, setiap kali bertemu dengan generasi muda, selalu diingatkan kembali bahwa Indonesia dan negeri yang penuh potensi, dengan harapan-harapan yang besar di masa-masa mendatang.
Kalian semua berada di sini adalah tunas-tunas dari Nusantara ini, tunas-tunas bangsa kita yang telah mulai berkarya. Kalian adalah bagian dari generasi muda yang terpilih dan telah menunjukkan satu potensi yang besar dalam membangun negeri yang sangat kita cintai ini. Dalam usia yang muda, hidup masih panjang, masih terbentang. Jangan sia-siakan waktu! Nikmatilah kehidupan. Hidup adalah rahmat. Karena itu, selamilah sedalam-dalamnya lika-liku yang akan saudara alami.
Usia muda juga identik dengan satu semangat eksplorasi, semangat untuk mencoba sesuatu yang baru, keinginan untuk mencari-menemukan esensi kehidupan itu sendiri. Pada kesempatan ini, kalau ada yang bisa saya katakan, yang mungkin akan saya garis bawahi adalah harapan itu ada.
Saudara-saudara, anak-anak dan adik-adikku sekalian harus penuh dengan optimisme untuk menjadi manusia yang terus membuka harapan, menjadi manusia yang terus optimistis melihat masa depan. Kita tidak boleh takut pada masa depan. Betapa pun masa depan, tantangan-tantangan kita, persoalan-persoalan yang membentang di masa depan, kita tidak boleh takut.
Beranilah menghadapi persoalan dan jangan mudah mengeluh atau pun putus asa. Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh emas atau pun harta tersembunyi lainnya. Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas manusianya.
Anak-anak dan adik-adikku sekalian adalah pemimpin-pemimpin bangsa masa depan. Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh otak dan hatinya. Otaknya harus cerdas dan kreatif. Hati dan jiwanya harus tegar. Saudara-saudara tidak boleh menyerah, harus tahan banting dan senantiasa melihat aspek-aspek positif dalam perjalanan kehidupan.
Memang, perjalanan hidup tidak selalu berjalan lurus. Terkadang kita menghadapi berbagai persoalan, berbagai tantangan maupun krisis. Kita harus menjadi bangsa yang tangguh. Kita harus mampu menghadapi menghadapi segala persoalan dengan kepala tegak. Saudara-saudara harus berani menghadapi persoalan dengan kepala tegak.
Kalau kita jatuh-terpuruk, kita harus mampu bangkit kembali dan tumbuh lebih baik lagi dari sebelumnya. Jatuh, bangun lagi. Jatuh, bangkit lagi. Dengan begitu, kita akan menjadi teruji, ditempa oleh hidup dan kehidupan, untuk menjadi satu manusia dan bangsa yang tangguh.
Saya memberikan kata-kata ini untuk anak-anak dan adik-adikku sekalian, bahwa bangsa ini adalah bangsa besar, bangsa ini adalah bangsa yang punya harapan, bangsa ini adalah bangsa yang mudah pecah.
Saudara-saudara sekalian, mereka yang tidak pernah mengalami pahitnya sebuah kegagalan tidak akan mengerti manisnya keberhasilan. Hanya dengan kualias seperti itu, kita semua akan mampu menjadi bangsa maju yang bisa bersaing dengan bangsa-bangsa maju lainnya.
Kalau kita baca koran, menonton televisi, berita atau pun ulasan, sering yang kita lihat dan kita dengar, umumnya adalah peristiwa-peristiwan dan komentar-komentar negatif. Kita lihat, misal pembunuhan, kereta api tabrakan, demonstrasi, korupsi dan sebagainya. Seolah-olah semua masa depan suram. Kita lihat televisi dan koran bahwa negara kita begitu banyak persoalan. Begitu banyak pelanggaran hukum, korupsi dan malapetaka. Bagi pers, hal itu tentu menjadi news: bad news is good news; peristiwa buruk ada berita baik.
Juga kita lihat di berbagai media, hampir semua orang mengeluh, mencari sisi yang negatif, saling mengeritik, mengejek dan menegasikan satu dengan lainnya. Begitu banyak keluhan. Begitu banyak suara-suara yang mengajak kita untuk melihat sisi yang kelam dari kehidupan ini.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa media massa harus memuat yang baik-baik saja, tetapi perimbangan rasanya sudah terlalu ekstrim, yang pada akhirnya memberi kesan pada kita semua, pada generasi muda bahwa seolah-olah Indonesia sudah kehilangan harapan. Seolah-olah Indonesia adalah sebuah negeri yang sudah rusak dari dalam, tanpa kemungkina untuk maju dan berkembang.
Kepada generasi muda seperti anak-anak dan adik-adik sekalian yang hadir di sini, saya mengimbau agar kalian menolak dan tidak larut dalam pesimisme dan negativisme yang seperti itu. Buktikanlah bahwa di balik begitu banyak persoalan yang ada bahwa Indonesia adalah satu negeri yang penuh harapan, sebuah negeri yang menjadi tumpuan harapan yang kita cintai bersama, kita cinta Indonesia.
Kaum yang pemimis, pada 10-15 tahun yang lalu, menyatakan dan meramalkan bahwa Indonesia akan hancur, gagal atau pecah berkeping-keping. Saat kita memulai reformasi pada 1998, banyak orang yang meramalkan –di dalam dan di luar negeri—bahwa Indonesia akan menyusul Yugoslavia dan Uni Soviet, menjadi bangsa yang terpecah-pecah oleh konflik-konflik separatisme dan sektarianisme.
Apa kenyataannya? Kita masih menjadi bangsa yang utuh, yakni bangsa Indonesia. Kita tidak terpecah-belah. Setelah sekian lama hancur, kita bukannya hancur, malahan demokrasi kita tumbuh dengan baik, semakin baik dan tumbuh dengan mengejutkan banyak orang di dunia ini.
Contoh pesimisme lainnya bisa kita lihat saat penjajahan Belanda, sejak awal ke-20. Kaum elite Belanda dan sebagian kaum elite pribumi beranggapan bahwa Indonesia tidak akan mampu merdeka, tidak mampu berdiri sendiri, belum siap luar-dalam untuk mengelola kebebasannya sendiri. Kita bersyukur bahwa tokoh-tokoh bangsa kita dan pejuang-pejuang kemerdekaan kita tidak larut dalam pesimisme seperti itu.
Mereka pada umumnya adalah anak-anak muda, seperti kalian semua, yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno berjuang mulai usia pertengahan 20-an. Hatta dan Sjahrir malah lebih muda lagi. Mereka menolak pesimisme. Menjauhi negativisme.
Sebaliknya, mereka aktif seperti saudara-saudara sekalian. Mereka bersemangat seperti anak-anaku dan adik-adikku sekalian, yakin dalam melangkah, meraih cita-cita, yang waktu itu dianggap tidak mungkin. Banyak yang menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia tidak mungkin terjadi, atau belum saatnya terjadi. Mereka menolak semua itu. Tokoh-tokoh muda kebangsaan kita menggantungkan cita-cita setinggi langit. Bekerja sungguh-sungguh untuk mewujudkan cita-cita tersebut, apa pun tantangan dan risiko yang ada di depan mereka.
Hidup terkadang harus menghadapi satu risiko yang besar. Cita-cita yang tinggi. Padangan yang optimistis. Itu yang saya harapkan dari kalian semua. Elemen kehidupan yang saya harapkan dari kalian semua. Tidak tanpa risiko. Tidak ada langkah yang tidak mengandung risiko, tidak ada langkah yang tidak mengandung persoalan, bahkan pengorbanan sendiri.
Tetapi, jangan berhenti melangkah karena ada risiko besar yang menghadang. Jangan berhenti bermimpi dan bercita-cita yang tinggi hanya karena perjalanan untuk mencapainya begitu sulit, hampir tidak mungkin dicapai, atau karena pertaruhan dan pengorbanannya begitu besar.
Kita belajar dari sejarah. Lihatlah pengorbanan yang harus ditanggung oleh tokoh-tokoh bangsa kita. Dr Tjipto Mangunkusumo mengorbankan kariernya yang cemerlang dalam pemerintahan colonial. Karena perjuangannya, . Dr Tjipto dibuang dan diasingkan ke sebuah pulau kecil yang terpencil di Jawa Timur, di pulau Bandanera.
Selama 12 tahun ia melewati hari-hari yang sepi, terasing dari di pulau itu. Itulah pengorbanan yang tidak kecil. “Itulah harga dari sebuah keyakinan.” Kalau kita yakin bahwa kita bisa bangkit, percayalah, kita memang bisa bangkit. Pengorbanan harus terus ada.
Soekarno dan Hatta juga demikian. Soekarno dibuang dan diasingkan selama 14 tahun. Hatta diasingkan ke Boven Digoel, tanah merah yang penuh malaria, di tengah belantara hutan Papua, yang berbatasan dengan Papua Nugini. Itulah perjuangan. Risikonya besar. Mereka tidak pernah patah, tidak pernah pesimistis dan menyerah. Mereka yakin, mereka terus semangat, mereka terus berjuang, hanya karena tekad dan optimism.
Maka, Indonesia akhirnya meraih kemerdekaan, berdiri di atas kaki sendiri, memutus belenggu penjajahan, yang berabad-abad menjajah kita. Tanpa kemerdekaan, kita semua tidak akan pernah berada di sini. Tanpa kemerdekaan, kita tidak bisa berdiri tegak.
Karena itulah, pada setiap peringatan kemerdekaan 17 Agustus, setiap tahun, kita mengenang pengorbanan, tekad dan semangat seperti itu. Kita merayakan kemerdekaan bukan untuk sekedar mengikuti perayaan, bukan sekedar untuk menjalani tradisi, tetapi untuk mengenang agar kita semua terinspirasi dan termotivasi.
Hidup adalah perjuangan, hidup adalah perbuatan, hidup adalah serangkaian langkah-langkah yang berani, yang harus dijalani dengan penuh semangat dan keyakinan yang teguh serta dengan pandangan jauh ke depan dan terbuka.
Generasi muda sekarang, anak-anak dan adik-adikku sekalian, harus menjadi catatan sejarah kita bukan sekedar etalase peristiwa masa lalu. Jadikan sejarah ini sebagai pelajaran. Jadikan sejarah dan tokoh-tokoh sejarah sebagai sumber inspirasi. Dengan begitu, tokoh-tokoh kebangsaan kita tidak akan pernah mati, tetapi terus hidup di sanubari kaum muda. Semangat, cita-cita dan keteguhan sikap mereka terus membimbing dalam menyusun langkah-langkah kita ke depan.
Setiap jaman memiliki kehendaknya sendiri. Demikian juga setiap generasi memiliki konteks dan tantangannya sendiri. Dr Tjipto, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lain-lain, berjuang demi kemerdekaan politik serta persatuan dan kesatuan bangsa. Itulah tantangan terbesar mereka. Sekarang, anak-anak dan adik-adikku sekalian, dengan perubahan jaman, tantangan terbesar kita adalah kemajuan ekonomi, kompetisi bisnis, kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya.
Indonesia sekarang membutuhkan pejuang dan tokoh-tokoh di berbagai bidang; tokoh bisnis, cendekiawan, politikus, negarawan, dan sebagainya, yang mencintai dan berhasil di bidangnya masing-masing.
Saya sudah jauh lebih tua. Saya sudah lebih lama hidup daripada anak-anak dan adik-adikku sekalian yang hadir pada kesempatan ini. Dalam hal beberapa pengalaman hidup saya, walau pun tidak seheroik tokoh-tokoh kebangsaan kita, juga mengajarkan saya pada satu hal, yakni risiko tidak boleh dan tidak dapat membuat kita takut. Krisis dan kegagalan yang kita hadapi tidak boleh membuat kita pasif dan pesimistis.
Saya pernah mengalami saat yang kelam. Pada 1998, ekonomi Indonesia mengalami krisis yang besar, krisis moneter –yang juga mengimbas pada negeri lainnya. Karena krisis itu, perekonomian bergejolak dan begitu banyak bisnis besar yang tumbang dan bangkrut. Termasuk perusahaan saya bangkrut pada waktu itu.
Secara tiba-tiba pada waktu itu, langit seperti runtuh. Bisnis saya yang selama bertahun-tahun sukses besar, tiba-tiba berhenti dan terancam pada titik yang paling sulit. Utang saya besar dan jauh lebih besar dari aset yang saya miliki. Artinya, harta saya bukan hanya habis, tetapi malah negatif. Saat itu, saya lebih miskin daripada pengemis yang paling miskin sekali pun.
Saat itu, saya memiliki bisnis yang besar, pegawai saya puluhan ribu. Karena krisis itu, saya betul-betul terjepit, terdesak oleh satu kenyataan yang pahit. Untungnya saya tidak kehilangan harapan. Saya tidak larut dalam melankoli krisis. Saya terinspirasi pada sebuah ungkapan klasik: Jangan biarkan dirimu berada di tempat gelap, kalau kita jatuh, jangan biarkan dirimu terus berada di tempat gelap, sebab di dalam kegelapan, bayanganmu pun akan lari, apalagi kawan.
Kalau kita berada di tempat gelap, bayangan kita tidak ada. Kawan akan lari. Bayangan saja lari, apalagi kawan. Kalau saya berdiri di tempat terang seperti ini, bayangan saya ada. Tetapi di tempat gelap, bayangan akan lari. Setiap kali ke mana kita pergi, ada bayangan, tetapi kalau di tempat gelap, bayangan kita akan lari, apalagi kawan-kawan kita. Karena itu, saya bertekad bahwa saya harus bisa bangkit kembali.
Saudara-saudara sekalian, ingat, rejeki ada di tangan Tuhan. Roda perekonomian selalu naik dan turun. Karena itu, kita harus terus mencari peluang, mencari celah. Kita harus terus berusaha dan berdoa. Dengan cara itu semua, jalan pasti akan terbuka.
Akhirnya, setelah dua tahun krisis, pada 2001, saya melihat ada peluang baru. Dibukalah pikiran oleh Allah bahwa ada peluang baru. Kita tidak perlu banyak mengeluh, tidak perlu larut dalam melankoli dalam krisis. Saya mempertaruhkan segalanya untuk merebut peluang itu dengan melakukan bisnis baru, yakni bisnis di bidang pertambangan, yang pada waktu itu tidak banyak diminati. Demikian pula lanjutnya, pada 2004, roda mulai bergerak.
Saya menceritakan ini kepada anak-anak dan adik-adikku sekalian agar melihat bukan sebagai orang yang selalu sukses. Saya juga seperti orang lain, pernah jatuh, jatuh sampai miskin sekali. Tetapi, saya tidak berhenti. Saudara-saudara adalah harapan bangsa. Saudara-saudara adalah pemimpin masa depan.
Kalau kita selalu mengatakan bahwa negara ini jelek, negara ini susah, bangsa ini bangkrut, dan sejenisnya, maka kita tidak pernah bisa bangkit. Saudara-saudara, generasi muda harus terus berjuang, harus terus berkarya. Saya berterima kasih pada KTN (Karya Tunas Nusantara), yang telah mengumpulkan saudara-saudara, memberikan harapan baru. Saya kagum dengan kata-katanya: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Ragam Karya.
Selamat buat anak-anak dan adik-adikku sekalian. Selamat buat KTN. Mudah-mudahan KTN terus berjalan mengumpulkan pemuda-pemuda Indonesia, untuk berkarya demi bangsa kita, demi negara, dan rakyat. Terima kasih.
No comments yet.