Untuk Menangkan Pemilu, Golkar Harus Andalkan Survei dan New Media
Saat ini di berbagai daerah tengah berlangsung pemilihan kepala daerah atau pilkada. Soal pilkada ini saya banyak menerima protes karena kekalahan calon Golkar di lima wilayah di Jawa Tengah. Ada yang mulai meragukan metode penetapan calon yang ditetapkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar berdasarkan hasil survei. Karena itu, melalui blog ini, saya akan menjelaskan dan meluruskan itu semua.
Di Jawa Tengah, telah berlangsung lima dari 17 pilkada. Memang di lima pilkada itu calon Golkar kalah. Kalau dilihat sekilas, seolah-olah target tidak tercapai dengan kekalahan lima calon Golkar itu. Padahal, sebenarnya lima pilkada yang kalah itu tidak termasuk target Golkar.
Sejak awal kita sudah perkirakan di lima wilayah tersebut memang akan kalah. Makanya kelima daerah itu tidak masuk dalam target delapan wilayah di Jawa Tengah yang akan kita menangkan tahun ini. Jadi, Golkar tidak meleset dari target.
Kita tahu pilkada di lima wilayah tersebut akan kalah juga karena berpedoman pada hasil survei. Seperti yang sering saya sampaikan di mana-mana, Partai Golkar mengajukan calon kepala daerah berdasarkan hasil survei dan dipilih yang paling popoler.
Jadi, siapa yang menurut hasil survei mendapatkan dukungan tertinggi akan dijadikan calon. Survei yang menentukan, bukan jabatannya di partai. Walaupun dia ketua DPD atau DPP, kalau hasil surveinya rendah, dia tidak akan dicalonkan. Meskipun dia orang luar, dia bisa jadi calon Golkar.
Demikian halnya jika ada calon yang angkanya popularitasnya misalnya cuma 10%, namun diketahui dari survei trennya terus naik, kita bisa saja mencalonkannya.
Calon yang diajukan akan membuat kontrak politik dengan Partai Golkar. Setelah menang mereka akan membuat kontrak bahwa mereka akan berjuang memenangkan Partai Golkar pada pemilu 2014 berikut.
Perlu diketahui juga bahwa survei ini dilakukan oleh lembaga survei independen yang ditunjuk DPP. Biaya survei juga dibayar oleh DPP. Jadi, tidak ada pungutan apapun pada calon-calon itu.
Dalam pilkada, rakyat tidak memilih partai, melainkan memilih figur yang populer. Adalah nonsens kalau mengatakan calon tidak populer akan memenangkan pilkada. Dari partai apapun dia, sebesar apapun partainya, jika calon tersebut tak populer di mata rakyat, tidak akan bisa menang.
Bagaimana jika survei menunjukkan tak ada calon Golkar yang populer? Kalau itu yang terjadi, kita tidak akan memaksakan diri. Jika kader lain lebih tinggi elektabilitasnya, maka Golkar akan menawar jadi wakilnya. Jika hal itu tetap tidak bisa, Golkar tidak bisa memaksakan diri, dan tidak akan mengajukan calon. Solusinya bisa menggantinya dengan melakukan kontrak koalisi.
Kita tidak perlu memaksakan diri. Kalau kita memaksa padahal rakyat tidak memilih, kita rugi waktu, rugi tenaga. Menang menjadi wakil juga tidak masalah, sebab menang separuh lebih baik daripada tidak menang sama sekali.
Saya sangat percaya dengan survei. Survei adalah potret dari suara rakyat di daerah itu. Sebagai bukti, dari 22 pilkada yang sudah terlaksana di seluruh Indonesia, nyaris semua hasilnya sejalan dengan hasil survei. Hanya di satu daerah kita kalah, padahal hasil surveinya lebih tinggi yaitu di Tabanan, Bali. Dalam survei, calon kita lebih tinggi sekian persen, tapi kita mengalami kekalahan sebesar 4 persen saja. Dan ini pun masih dalam batas marjin-eror dari survei itu.
Hanya itu saja. Selebihnya sesuai survei, kalau tinggi kita menang, sebaliknya bila hasilnya rendah kita kalah.
Tentu hasil survei bisa juga meleset jika ada kecurangan. Misalnya, ada intimidasi dari lawan politik atau ada politik uang di daerah yang rakyatnya sedikit. Untuk intimidasi, sejumlah calon Golkar mengalaminya dan partai akan menindaklanjutinya kepada pihak berwajib.
Dari semua itu, saya tidak khawatir dengan target yang telah tetapkan. Target saya di Pulau Jawa adalah 30-35 persen, untuk Indonesia Bagian Timur 70 persen, dan untuk Sumatra 50 persen. Saya yakin target itu akan tercapai, bahkan bisa lebih.
Selain survei, dalam pilkada juga penting diperhatikan peran anak muda. Anak muda yang ada di dalam partai bisa bekerja militan untuk memenangkan pemilu. Selain itu, mereka juga bisa mendekati anak muda di luar sana yang nanti akan menjadi pemilih pemula.
Saya adalah orang yang sangat percaya dengan kekuatan anak muda. Untuk itu, Golkar akan mendekati mereka. Pendekatannya tentu saja dengan pendekatan yang disukai dan dirasakan manfaatnya untuk anak muda. Salah satunya dengan memanfaatkan internet, terutama social media.
Kita tahu social media seperti facebook, twitter, blog, forum, dan sebagainya, sangat dekat dengan anak muda. Selain itu social media ini juga tidak bisa diremehkan, dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Contoh populernya adalah kasus Bibit-Chandra yang bisa dipengaruhi oleh para facebooker.
Dalam politik juga demikian. Kita tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama. Misalnya kampanye pilkada hanya dengan mengerahkan massa. Itu sudah kuno. Sekarang untuk menggalang masa kita tidak hanya butuh lapangan tapi juga butuh internet. Pada 2014 nanti diperkirakan akan ada 50 juta orang yang akan menggunakan internet.
Ringkasnya, Partai Golkar harus memanfaatkan berbagai perangkat modern untuk memenangkan pilkada dan Pemilu 2014. Dengan itu, insya Allah, Golkar akan kembali menjadi partai terbesar kembali di Republik.
No comments yet.