Filosofi Musik Angklung dan Nilai Kebersamaan

Kamis malam, 10 Februari 2011 lalu, Grup Bakrie mengadakan peringatan hari ulang tahun ke-69. Seperti tahun-tahun sebelumnya, keluarga besar Bakrie beserta direksi dan karyawan Kelompok Usaha Bakrie mengadakan doa bersama dan ziarah ke makam ayah saya, Achmad Bakrie dan para pendiri Kelompok Usaha Bakrie lainnya di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Malamnya, kami mengadakan acara syukuran sederhana di Marketing Office Rasuna Epicentrum, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Acara malam itu sedikit berbeda dengan syukuran tahun sebelumnya. Kali ini, ada musik tradisional angklung yang mengiringi sepanjang acara. Merdu sekali alunan musik bambu dari tanah Sunda ini. Saya sungguh terkesan.

Saya semakin terkesan saat angklung ini ternyata dimainkan dengan begitu indah untuk mengiringi lagu-lagu modern. Musiknya terasa lebih indah karena terjadi perpaduan irama tradisional dengan modern. Bahkan di tengah acara saya mendapat kejutan. Panitia meminta pemusik angklung tersebut memainkan lagu favorit saya “My Way”. Peyanyi dengan suara merdu dan alunan musik angklung membuat lagu itu semakin enak didengar.

Saat sedang asik mendengarkan, tiba-tiba penyanyi itu mendatangi saya dan memaksa ikut menyanyi di panggung. Saya sempat menolak. Namun, akhirnya saya mengalah juga, lalu maju dan menyanyi. Saya nekad saja. Meski bukan penyanyi, kata orang sih suara saya tidak jelek-jelek amat… hehe…

Ternyata grup angklung ini adalah Grup Saung Angklung Udjo, Bandung, yang terkenal tidak hanya di Indonesia, namun juga sampai ke mancanegara. Saung Angklung yang didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena ini telah mengenalkan alat musik angklung ke berbagai negara di dunia. Maka tak heran jika sejak November 2010, angklung terdaftar sebagai karya agung warisan budaya lisan dan nonbendawi manusia dari UNESCO.

Lalu acara dilanjutkan dengan permainan angklung bersama-sama. Seorang instruktur dari Saung Udjo, yang juga anaknya pendiri Saung Angklung Udjo, Daeng Udjo, maju ke panggung, sedangkan asistennya membagikan angklung kepada semua hadirin. Angklung yang dibagikan beragam, ada yang besar ada yang kecil. Pada masing-masing angklung ada nama-nama pulau di Indonesia. Lalu saat instruktur menunjuk Pulau Jawa, misalnya, si pemegang angklung berstiker Jawa harus membunyikannya. Demikian pula dengan angklung yang ada nama pulau lainnya.

Rupanya nama pulau itu diletakkan sesuai nada. Misalnya Sumatra: do, Kalimantan: re, dan seterusnya sampai Papua. Nah dengan menunjuk pulau di peta, instruktur berhasil membimbing hadirin memainkan lagu. Di sesi ke dua, simbol pulau diganti dengan kode tangan. Misalnya, jika tangan mengepal angklung Sumatra dibunyikan, jika tangan ke atas angklung Kalimantan, dan seterusnya. Dengan memainkan tangan, instruktur bisa membimbing hadirin memainkan lagu. Mulai dari lagu Indonesia sampai lagu yang cukup terkenal, “I Have a Dream”. Dalam sekejap kita semua menjadi pemain musik dadakan.

Daeng Udjo mengatakan, pada permainan angklung ini ada filosofinya yaitu persatuan atau kebersamaan. Sebab, dalam bermain angklung harus dilakukan bersama-sama. Sejago apapun seseorang, tidak akan bisa bermain angklung sendirian.

Saat itu, ada sebuah lagu yang dimainkan instruktur di mana satu nada tidak pernah dibunyikan. Ternyata ini disengaja. Daeng Udjo menjelaskan ini ada filosofinya, bahwa ada kalanya tidak semua harus bunyi. Ada kalanya tak semua musti tampil atau muncul. Jika dipaksakan dibunyikan, malah akan merusak harmoni. Begitu pula dalam kehidupan. Dalam hidup bersama dibutuhkan pengertian dan tidak memaksakan kehendak. Ada kalanya mengalah demi kebersamaan.

Terus terang saya kagum sekali dengan permainan angklung malam itu. Pertama permainannya sangat interaktif dan menghibur. Semua hadirin terlihat gembira dan tawa selalu pecah saat permainan, saat ada yang ketinggalan atau membunyikan bukan pada waktunya. Kedua, ternyata ada filosofi mendalam dalam permainan ini–menggambarkan persatuan Indonesia yang dibangun di atas pluralitas. Bhineka Tunggal Ika.

Permainan ini mengajarkan bagaimana suatu hal yang berbeda-beda bisa bersatu dalam harmoni dan menjadi indah dengan dipimpin oleh seorang instruktur sebagai pemersatu. Bagaimana cara memberi ruang pada yang lain, dan sebagainya. Tiba-tiba saya terfikir bahwa filosofi angklung ini cocok untuk kembali mengingatkan bagaimana kita harus hidup di bangsa yang majemuk ini. Apalagi beberapa hari terakhir ini kita lihat ada bentrokan-bentrokan berbau SARA, misalnya di Cikeusik, Pandeglang; dan Temanggung, Jawa Tengah.

Kejadian tersebut jika terus terjadi akan mengancam Bhineka Tunggal Ika yang menjadi fondasi kebangsaan kita. Ini tidak bisa dibiarkan. Kebersamaan bangsa ini harus kita rawat. Warga bangsa ini perlu kembali belajar bagaimana belajar hidup bersama dalam harmoni di tengah pluralitas, seperti filosofi angklung tadi.

Saya berpendapat permainan angklung ini harusnya digelar di sekolah-sekolah, dan diajarkan jugafilosofinya. Ini akan membantu memupuk sifat toleransi dan karakter kebersamaan sejak dini. Maka,selanjutnya kebersamaan di bangsa ini akan terpelihara dengan baik. Kepada yang sudah dewasa saya kira perlu juga mempelajari filosofi angklung ini. Jangan cuma marah-marah karena angklung katanya diklaim bangsa lain. Kita perlu pelajari juga filosofinya dan aplikasikan dalam kehidupan nyata sehingga, insyaAllah, kebersamaan kita sebagai bangsa akan semakin kokoh.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.