Jangan Terjebak Transisi, Saatnya Membangun Ekonomi
Saat ini, rakyat Afrika Utara dan Timur Tengah, seperti di Tunisia, Mesir, dan berbagai negeri lainnya, sedang berusaha mendorong agar negeri mereka menjadi negeri demokratis. Usaha ini tidak mudah, namun dengan perlahan, mereka terus berusaha melakukannya.
Kita patut bersyukur bahwa kita telah melampui semua itu. Sudah lebih 10 tahun Indonesia menjadi sebuah negeri yang demokratis. Kita sekarang menjadi salah satu negeri demokrasi terbesar di dunia. Semua ini kita capai bukan dengan mudah, namun dengan perjuangan dan dorongan dari rakyat kita, khususnya kaum muda dan mahasiswa di ujung kekuasaan Orde Baru.
Keberhasilan kita yang terbesar adalah kita berhasil membangun demokrasi dengan tetap menjaga keutuhan NKRI, mempertahankan Pancasila dan prinsip pluralisme sebagaimana yang terkandung dalam semboyan kita: Bineka Tunggal Ika, serta mempertahankan UUD 45 dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Selain itu, kita mengembangkan otonomi daerah serta membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bukanlah dua hal yang saling berlawanan.
Saya menyampaikan hal itu di hadapan para generasi muda dalam acara “Serial Kuliah Tamu: Kepemimpinan dan Kebangsaan bersama Aburizal Bakrie” di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, akhir pekan lalu. Karena yang hadir saat itu adalah mahasiswa yang merupakan kaum muda, maka apa yang saya paparkan adalah konsep politik, demokrasi, pembangunan, dan sebagainya dalam kerangkan peran generasi muda.
Kepada para mahasiswa yang hadir, saya mengatakan; dengan semua keberhasilan tersebut, sekarang negeri kita tidak boleh lagi menganggap bahwa kita masih berada dalam situasi transisi. Indonesia sekarang sudah memasuki tahap konsolidasi. Karenanya, kita harus mulai meninggalkan paradigma transisi, yang sering digunakan sebagai pembenaran bagi kelemahan dan kesalahan yang kita buat sendiri. Sering dikatakan: “Kita gagal karena ini kan masih transisi”. No, tidak boleh begitu.
Kita tidak boleh lagi terjebak pada transisi. Politik sudah selesai. Sekarang saatnya membangun ekonomi. Yang harus kita kerjakan sekarang adalah memantapkan elemen-elemen dasar sistem politik, ekonomi, sosial, serta sistem hukum agar semua pencapaian kita menjadi semakin kuat dan berlanjut. Di atas semua itu, demokrasi kita harus semakin di arahkan sebagai wadah dan mekanisme untuk mencapai tujuan-tujuan besar, seperti peningkatan kesejahteraan rakyat, kemajuan pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.
Demokrasi tidak boleh hanya dimanfaatkan sebagai wadah politik, di mana kaum politisi dan kaum pemimpin hanya melakukan interaksi kekuasaan semata, hanya mencari kekuasaan semata. Demokrasi dalam pengertian sesungguhnya adalah “demos” (rakyat) dan “kratein” atau “kratos” (kekuasaan). Artinya, rakyatlah yang berkuasa, lewat wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif. Karena itulah, wakil rakyat dan kaum pemimpin harus mengabdi pada rakyat, bukan mengabdi pada kepentingannya sendiri.
Jika pengertian dasar tersebut kita jadikan pegangan, maka saya yakin bahwa konsolidasi demokrasi kita akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini saya sangat berharap agar kaum muda, khususnya mahasiswa dan kaum terdidik lainnya, dapat menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan yang konstruktif.
Minggu lalu saya berada di Beijing selama dua hari. Setiap kali berada di negeri Panda ini, setiap kali pula saya terkagum-kagum, sekaligus sedikit menyesali mengapa Indonesia tidak bisa tumbuh secepat Tiongkok. Dengan pertumbuhan ekonomi mendekati 10 persen setiap tahun, Tiongkok berhasil mengangkat ratusan juta warganya dari jurang kemiskinan, mengejar ketertinggalan ilmu dan teknologi, membangun infrastruktur, dan sebagainya.
Indonesia sebenarnya sudah cukup baik selama beberapa dekade, sejak zaman Orde Baru di bawah Pak Harto sampai sekarang. Banyak hal sudah berbeda ketimbang situasi sekian puluh tahun lampau. Tapi sayangnya, masih banyak potensi kita yang belum berkembang maksimal, dan banyak orang tampaknya sudah merasa puas dengan tingkat pertumbuhan hanya enam persen.
Barangkali itulah yang menjadi penyebab mengapa sekarang ini kita terkesan begitu lamban dan berjalan tanpa arah yang terlalu terfokus. Hal tersebut patut disayangkan. Padahal kalau kita ingat, Deng Xiaoping “baru” memulai reformasi ekonomi Tiongkok pada tahun 1978, sementara Indonesia mulai pada 1967, jadi 11 tahun lebih dahulu. Selain itu, jalan tol Jagorawi mulai dibangun pada akhir 1970an, yang merupakan jalan tol pertama di Asia.
Waktu itu Tiongkok, India, Malaysia merasa perlu belajar ke Jakarta dan melihat hebatnya Jagorawi. Sekarang, setelah 30 tahun kemudian, kita baru berhasil membangun jalan tol kurang dari 1.000 km, sementara Malaysia sudah memiliki sedikitnya 6.000 km, dan Tiongkok sudah mencapai prestasi yang fantastis, puluhan ribu km jalan tol dengan kualitas yang baik.
Semua itu harus memicu kita untuk memperbaharui tekad dan mendorong pembangunan ekonomi dengan lebih cepat, lebih baik, serta lebih merata lagi. Kita harus berani bermimpi. Kita harus terus memiliki semangat untuk maju, dan maju secara cepat dengan memanfaatkan segenap potensi yang ada.
Kalau Indonesia berhasil mendekati pencapaian prestasi ekonomi Tiongkok, maka kita boleh berbangga, karena kita dapat melakukannya dalam sistem demokrasi. Kita membangun dalam suasana kebebasan, suasana keterbukaan yang melibatkan partisipasi begitu banyak pihak dengan beragam kepentingan dan warna politik. Artinya, secara potensial, basis kemajuan ekonomi kita sebenarnya lebih kokoh, broad-based, serta didukung oleh legitimasi politik yang sah.
Selanjutnya, dalam mendorong percepatan pembangunan ekonomi kita, ada beberapa prioritas yang perlu cepat dikembangkan. Yang terpenting, seperti yang telah saya contohkan tadi dengan jalan tol Jagorawi, adalah pembangunan infrastruktur yang merupakan fondasi perekonomian modern, seperti sarana jalan, pelabuhan, bandara, air minum, dan listrik.
Kemudian, sumber-sumber daya alam yang menjamin sekuritas energi kita, khususnya minyak dan gas, serta sektor pertanian, yang menjamin keamanan pangan bagi sebagian besar rakyat, harus kita kembangkan dengan kebijakan yang jelas. Kita harus memberi tempat yang memadai kepada pelaku-pelaku ekonomi domestik, memberi perlindungan dan sikap yang jelas berpihak, tanpa harus terjebak kepada sentimen anti-asing.
Dengan kebijakan seperti inilah Indonesia bisa berkembang pesat, dengan tetap menjaga kemandirian ekonomi yang memadai. Kita terbuka kepada dunia. Kita tidak cemas pada persaingan. Sebab persaingan justru melatih kita untuk lebih kuat dan kompetitif. Namun, pada saat yang sama, kita juga menjaga dan melindungi beberapa sektor vital agar nasib kita tidak sepenuhnya tergantung kepada naik turunnya gelombang perekonomian internasional.
Secara konsepsional, pola pembangunan ekonomi yang perlu kita terapkan adalah konsep pembangunan yang kerap disebut sebagai the welfare state system, sistem negara kesejahteraan. Dalam sistem ini, interaksi antara para pelaku ekonomi diatur dengan tingkat kepastian hukum yang tinggi, serta ditunjukan untuk mencapai keseimbangan produktif yang mendamaikan kepentingan pekerja, pengusaha, dan kalangan pelaku ekonomi lainnya.
Pemerintah tidak percaya begitu saja pada mekanisme trickle down effect, dan karena itu melakukan intervensi langsung dalam beberapa bidang, serta dalam beberapa hal lainnya memainkan peran sebagai pemandu yang fair, terbuka, dan membela kepastian hukum.
Itulah konsepsi yang ideal yang perlu terus kita perjuangkan. Saya katakan pada mahasiswa yang hadir, bahwa mereka atau kaum muda Indonesia perlu mengerti semua itu. Karena pada akhirnya, tongkat estafet kepemimpinan akan berada di tangan mereka, dan perjalanan Indonesia tergantung pada arah yang mereka tentukan.
Saya katakan pada mereka bahwa saya yakin, our future is bright, masa depan lebih cerah dibanding masa kini dan masa silam. Apalagi para mahasiswa dan kaum muda ini adalah generasi Indonesia yang lebih terdidik, lebih terbuka pada dunia luar, serta dilengkapi dengan begitu banyak sarana teknologi komunikasi untuk mencari hampir semua informasi yang mereka butuhkan.
Sebelum mengakhiri kuliah, saya berpesan pada mereka. Sebagai kakak dan sahabat, saya ingin mereka jangan membuang-buang waktu. Mereka boleh menikmati kehidupan, sebagaimana seharusnya kaum muda. Tetapi jangan lupa untuk terus belajar, mengejar ilmu, mengembangkan bakat dan kemampuan, serta meraih cita-cita yang telah ditetapkan. Masa depan bangsa ini ada di tangan mereka: para mahasiswa dan generasi muda.
No comments yet.