Membantu Warga Lereng Bromo Cuma Buat Kampanye?

Bencana silih berganti melanda negeri ini. Setelah bencana akibat letusan Gunung Merapi mereda, giliran Gunung Bromo bergejolak. Gunung di Probolinggo, Jawa Timur, yang keindahannya terkenal sampai ke mancanegara itu bergejolak sejak 23 November 2010 lalu. Status meningkat dari siaga menjadi awas (level IV).

Meski tak sedahsyat Gunung Merapi, letusan Bromo cukup menyengsarakan warga sekitar yaitu Suku Tengger. Pemberitaan mengenai Bromo dan kesusahan warganya pun menggantikan kabar bencana Merapi. Saya tak mau cuma melihat nasib warga korban erupsi dari layar televisi. Seperti yang saya lakukan saat bencana Gunung Merapi di Yogyakarta, saya ingin turun langsung ke lokasi untuk bertemu dan membantu para korban, semampu yang saya bisa.

Saya memutuskan untuk meninjau langsung kondisi warga yang terdampak erupsi Gunung Bromo. Kamis siang, 27 Januari 2011 lalu, saya bersama pengurus DPP Partai Golkar berkunjung ke Desa Ngadirejo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ada Ketua Bidang Informasi dan Penggalangan Opini DPP Golkar, Fuad Hasan Masyhur, dan Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa, Bali dan NTB DPP Partai Golkar, Sharif Cicip Sutarjo.

Saya dan rombongan terbang dari Jakarta dan mendarat di Surabaya. Kemudian perjalanan dilanjutkan menggunakan helikopter menuju lokasi. Helikopter terpaksa digunakan karena alasan efektivitas waktu. Sebab, jika melalui jalur darat, dari Surabaya menuju lokasi bisa memakan waktu cukup lama sekitar empat sampai lima jam perjalanan.

Helikopter yang saya tumpangi kemudian mendarat di sebuah tanah lapang di Sukapura. Saya masih harus naik mobil sejauh 10 km untuk sampai lokasi. Di perjalanan menuju puncak Bromo, debu vulkanik sudah menutupi jalan setebal kira-kira 5 cm. Debu juga menutupi tanaman di sawah, pepohonan dan atap rumah. Pemandangan pun menjadi abu-abu terselimuti debu.

Perjalanan menuju puncak Bromo tidak mudah. Selain jalurnya berkelok dan lereng yang curam, juga ada kabut putih dan debu kemerahan yang berasal dari semburan gunung yang membuat jarak pandang jadi terbatas. Saya dan rombongan pun harus berhati-hati melewati jalur ini.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya saya bertemu dengan masyarakat Bromo yang sebagian besar adalah suku Tengger. Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Jawa. Mayoritas mereka beragama Hindu. Pakaian yang mereka kenakan sederhana. Laki-laki mengenakan udeng kain batik dan membungkus bagian atas tubuh dengan sarung untuk menghangatkan tubuh di suhu dataran tinggi yang dingin.

Masyarakat Hindu Tengger juga punya salam khas; “hong ulun basuki langgeng”. Itu mereka ucapkan ketika bertegur sapa atau dalam upacara-upacara keagamaan. Itu semacam salam “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh” bagi umat Muslim, atau “salam sejahtera bagi kita semua” bagi umat beragama lain.

Sehari-hari mereka menyambung hidup dengan bertani atau bekerja di sektor pariwisata Bromo. Namun, sejak erupsi terjadi, aktivitas ekonomi masyarakat itu nyaris lumpuh. Akibatnya, warga pun tak punya penghasilan lagi. Sawah ladang yang selama ini menjadi sumber matapencaharian rusak akibat tertimbun debu vulkanik. Tanaman komoditas utama seperti kentang, bawang merah dan kol, gagal panen.

Pariwisata Bromo pun terhenti akibat erupsi. Mereka praktis hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah maupun masyarakat. Itu pun, kabarnya, kurang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Meski status ‘awas’ Gunung Bromo telah diturunkan menjadi ’siaga’ (level III) sejak Senin, 6 Desember 2010, dan 23 Januari lalu Bupati Probolinggo Hasan Aminudin menyatakan status tangap darurat sudah berakhir, tetapi aktivitas masyarakat setempat belum normal benar.

Masalah utamanya adalah ladang atau sawah mereka yang tertimbun abu vulkanik itu belum bisa ditanami. Erupsi pun belum berhenti total, Bromo masih mengeluarkan abu meski dalam volume yang tidak tinggi. Debu tebal di atap rumah mereka dibiarkan begitu saja.

Dari laporan rekapitulasi yang dibuat Pemerintah Kabupaten Probolinggo, semburan material vulkanik Gunung Bromo dan hujan abu itu mengakibatkan rusaknya insfrastruktur, pertanian, rumah, hingga ternak dengan nilai kerugian total Rp56,64 miliar. Dalam kondisi semacam ini, warga masih membutuhkan bantuan. Hal yang paling dibutuhkan warga ialah makanan pokok.

Kunjungan saya atas nama Partai Golkar memang sengaja untuk membantu memenuhi apa yang dibutuhkan warga. Kami membawa bantuan beras sebanyak 36,4 ton. Kami ingin memastikan bahwa untuk kebutuhan pokok telah tercukupi, paling tidak hingga enam bulan mendatang. Waktu tersebut merupakan perkiraan terlama hingga Bromo benar-benar kembali normal. Tentu saya berharap bisa lebih cepat.

Ada enam desa di Kecamatan Sukapura dan lima desa di Kecamatan Sumber yang terdampak erupsi Bromo. Di 11 desa itu, terdapat sedikitnya 7.238 kepala keluarga. Masing-masing kepala keluarga menerima 5 kg beras. Itu baru kebutuhan dasar dan paling mendesak. Dalam waktu dekat, Partai Golkar juga mengusahakan proses rehabilitasi bagi rumah warga, gedung sekolah dan tempat ibadah.

Untuk proses rehabilitasi, Partai Golkar menargetkan dapat menghimpun dana sebesar Rp1 miliar. Kalau bisa lebih, tentu lebih bagus. Pada kesempatan itu pula, langsung dimulai mengumpulkan sumbangan. Saya menyumbang Rp100 juta, kemudian Rp50 juta dari Fuad Hasan Masyhur, Rp50 juta dari Sharif Cicip Tjiptardjo, Rp50 juta dari Ketua DPD Golkar Jawa Timur, Martono, dan Rp25 juta dari Fraksi Golkar DPRD Jawa Timur. Jadi, satu hari itu saja sudah ada total Rp275 juta.

Selanjutnya tentu terus akan digalang bantuan lagi. Partai Golkar, melalui kader-kadernya di parlemen (DPR RI dan DPRD), masih akan mengusahakan bantuan dari jalur pemerintah. Bantuan ini juga penting karena untuk memperbaiki infrastruktur seperti jalan raya, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan seperti puskemas, dan lain-lain, perlu segera dilakukan.

Hal yang tak kalah penting dari itu semua ialah bagaimana caranya mengembalikan roda ekonomi masyarakat setempat. Untuk hal ini, saya menjanjikan kepada warga sebuah kredit mikro. Kredit ini tanpa agunan. Kebetulan, dalam Kelompok Usaha Bakrie, ada lembaga keuangan mikro bernama Bakrie Microfinance (BMF). Kredit mikro ini tanpa agunan, meminjam konsep Grameen Bank. Lebih detail soal ini sudah saya tulis di sini.

Nantinya untuk BMF ini para Pengurus Partai Golkar di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dibantu para aktivis ormas Pengajian Al Hidayah akan menjadi fasilitator bagi proses penyalurannya. Mudah-mudahan, paling lambat pekan depan, BMF sudah bisa mengirim tim ke Bromo untuk memulai proses awal penyaluran kredit ini.

Seperti biasa, jika Golkar turun membantu rakyat di lokasi bencana, selalu dikesankan oleh sebagian pihak bahwa ujung-ujungnya semata untuk kepentingan politik atau kampanye. Sorotan pemberitaan biasanya juga ke arah itu. Namun, perlu saya tegaskan bahwa tujuan utamanya adalah murni untuk membantu masyarakat. Kepada masyarakat di lokasi saya juga katakan bahwa; “Ini bukan kampanye, karena pemilu masih jauh. Ini adalah murni bentuk kepedulian Partai Golkar pada warga korban erupsi Bromo”.

Bagi kami Partai Golkar, dalam kondisi serba sulit seperti ini, tidak ada yang lebih penting dilakukan kecuali membantu sesama. Tugas bagi semua pihak, termasuk partai adalah membantu. Lebih baik membantu dan dicemooh kampanye, daripada mencemooh tapi tidak membantu. Biarkan rakyat yang menilai.

Dengan bantuan ini saya berharap masyarakat sekitar Gunung Bromo segera bangkit. Saya melihat, warga Bromo adalah warga yang penuh semangat, meski sedang dilanda bencana alam. Mereka pekerja keras. Bencana tak membikin mereka diam berpangku tangan dan hanya mengharap bantuan dari orang lain. Maka dengan dukungan kita semua, saya amat optimistis warga lereng Gunung Bromo bisa segera bangkit kembali

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.