Pancasila dalam Era Globalisasi

Pidato Kunci Seminar Politik & Ekonomi Pancasila Fraksi Partai Golkar dan MPR, di Gedung Nusantara IV. Jakarta 7 Juli 2011.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam Sejahtera untuk kita semua,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, atas segala karunia dan nikmat-Nya yang senantiasa diberikan kepada kita, sehingga pada hari ini kita dapat menghadiri acara penting ini untuk membicarakan Pancasila dan kehidupan kebangsaan kita kini dan di masa depan.

Selanjutnya, saya ingin memberikan penghargaan dan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak di MPR yang telah memberi kesempatan pada saya untuk ikut hadir dan berbicara dalam forum ini. Apalagi, tema yang dibahas dalam acara ini adalah sebuah tema yang mendasar, yaitu Pancasila di era globalisasi, yang rumusan-rumusannya pastilah menyangkut sikap dasar kita dalam berbangsa dan bernegara, menyangkut visi dan cita-cita kita sebagai sebuah masyarakat, serta berkaitan dengan pandangan, pemahamanan serta keberanian kita dalam menghadapi fakta-fakta sejarah yang terus bergerak dan berubah cepat.

Saya senang bahwa lembaga penting seperti MPR tidak pernah jenuh untuk berbicara mengenai paham dasar kebangsaan, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai philosofische gronslag Republik Indonesia.

Dengan membahas Pancasila, kita mencari persamaan, bukan mempertajam perbedaan diantara kekuatan-kekuatan politik. Karena itulah, dengan perasaan yang bangga dan penuh persahabatan, saya menyatakan dukungan saya kepada lembaga MPR untuk terus menerus menjadikan Pancasila sebagai sebuah topik pembahasan dalam pembicaraan-pembicaraan penting di negeri tercinta ini.

Hadirin yang saya muliakan

Saudara-saudara yang saya hormati

Dalam kesempatan ini saya ingin menegaskan bahwa Partai Golkar hadir sebagai respon terhadap adanya gerakan yang merongrong dan ingin mengganti ideologi Pancasila, terutama dengan ideologi Komunis. Karenanya, Partai Golkar merupakan partai yang senantiasa berdiri di depan dalam menjaga dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.

Dalam kaitan itulah, sejak menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, concern saya terhadap upaya penyegaran kembali paham kebangsaan dan revitalisasi Pancasila, telah menjadi prioritas. Pada Pidato Politik Penutupan Munas VIII tanggal 8 Oktober 2009 di Pekanbaru, selaku Ketua Umum terpilih, saya menegaskan bahwa, “Partai Golkar adalah pengamal utama Pancasila, pengawal terdepan Kebhinekaan dan semangat toleransi dari negeri yang kita cintai, serta partai kekaryaan yang ingin memberi bukti konkret dalam pembangunan kesejahteraan buat semua”.

Demikian pula, pada Pidato Ulang Tahun Partai Golkar 20 Oktober 2010 dengan judul “Merah Putih yang Abadi”, saya menegaskan bahwa, “Bagi Partai GOLKAR, manakala soalnya adalah kepentingan strategis negeri kita, manakala pertaruhannya adalah nasib dan kemajuan anak-anak Indonesia, maka seluruh komponen bangsa harus bersatu merapatkan barisan. Hanya dengan kebersamaan yang erat, kita sanggup menjadikan politik dan kekuasaan sebagai instrumen pencapaian tujuan-tujuan yang mulia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Semua ini perlu saya jelaskan untuk menegaskan bahwa komitmen Partai Golkar terhadap Pancasila tidak perlu diragukan lagi.

Namun demikian, perlu pula saya tegaskan di sini bahwa bagi Partai Golkar, sebagai partai kekaryaan dan mengedepankan karya dan kerja yang kongret, Pancasila bukanlah sebuah ideologi yang kaku dan tertutup, tetapi sebuah paham kebangsaan yang terbuka dan fleksibel dalam mengikuti perkembangan zaman. Kita tidak boleh menjadikan Pancasila sebagai sebuah paham yang melapuk karena ketidakmampuan kita untuk menerima pembaharuan dan dinamika kemajuan peradaban manusia.

Pancasila adalah rangkaian prinsip-prinsip mulia yang abadi, sementara penerapannya atau metode realisasi dan operasionalisasinya harus mengikuti realitas sejarah, menerima fakta-fakta sosial sebagaimana adanya, serta membuka ruang yang memadai bagi kesalahan serta kelemahan manusia.

Karena itulah, Pancasila harus dibicarakan dengan melihat kenyataan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, memahami keluhan dan penderitaan rakyat, harapan dan kekecewaan mereka, mimpi dan kecemasan mereka. Saat ini, kita perlu bertanya, apakah beban kehidupan rakyat semakin ringan atau semakin berat, apakah pendidikan anak-anak mereka semakin baik, apakah potensi-potensi kemajuan Indonesia telah direalisasikan dengan optimal atau kita hanya puas dengan situasi yang begini-begini saja?

Pancasila akan hidup subur subur jika rakyat percaya bahwa kemajuan akan terjadi, atau setidaknya nasib anak-anak mereka akan lebih baik di masa-masa mendatang. Karena itulah, perjuangan dalam membangun kesejahteraan sesungguhnya adalah perjuangan di jalur Pancasila, pertaruhan yang merupakan penerapan nilai-nilai mulia dalam bentuk yang kongkret dan sesungguh-sungguhnya. Begitu banyak anak-anak kita di pedesaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang menunggu uluran tangan kita agar mereka dapat melangkah maju dan tidak tertinggal dengan saudara-saudara mereka yang berada di perkotaan. Adalah tugas yang maha mulia bagi kita semua untuk secara kongkret menjawab harapan semacam ini.

Hadirin yang saya muliakan

Saudara-saudara yang saya hormati

Partai Golkar tidak akan pernah bosan untuk mengingatkan bahwa semua ideologi, termasuk Pancasila,pada dasarnya berada pada tataran normatif, dan karenanya membutuhkan padanan pada tingkat operasionalisasi. Visi dan ideologi yang berhenti pada tataran normatif hanya akan menjadi dogma yang mati, melayang di langit tanpa kaki untuk membumi dan mengarahkan sejarah.

Machiavelli, sebagai peletak dasar ilmu politik modern, telah mengingatkan bahwa politik bukan hanya berhubungan dengan apa yang “seharusnya”, tetapi juga dengan apa yang “senyatanya” terjadi dalam masyarakat. Kita harus menghubungkan langit dan bumi, dan jembatan ini adalah tataran ideologi yang bersifat operasional.

Karena itulah kita memiliki berbagai kerangka pemikiran praktis yang berhubungan dengan kemajuan akhlak manusia, pembangunan ekonomi, pembangunan kebudayaan, peningkatan ketahanan dan keamanan nasional, peningkatan pemerataan sosial-ekonomi, dan sebagainya.

Dalam bidang pembangunan kebudayaan misalnya. Jatidiri bangsa dan semangat ke-Indonesia-an semakin tergerus, terutama di kalangan generasi muda. Sebagian besar kasus kriminal dan mayoritas penghuni penjara kita sekarang terkait dengan kasus narkoba. Ke-Indonesia-an adalah konsep yang terus berkembang. Tetapi kita tidak boleh bersikap anything goes, semua hal boleh, pantas dan silakan dilakukan. Kita tidak boleh pasif dan berpangku tangan melihat puluhan ribu generasi muda Indonesia terjebak dalam cara hidup yang kelam dan menyedihkan.

Masih banyak hal lain lagi yang dapat dikatakan dalam soal tersebut. Tetapi pada intinya kita ingin mengingatkan bahwa ke-Indonesia-an harus terus dikaitkan bukan dengan sembarang hal, bukan dengan nilai-nilai yang melemahkan semangat dan kehidupan manusia sebagai makhluk yang berakal budi.

Ke-Indonesia-an harus dikaitkan dengan keterbukaan yang kreatif, tolerasi yang ramah, penghargaan pada ilmu pengetahuan, penghargaan pada kejujuran, keteguhan, kesungguhan serta, yang sangat penting, kecintaan pada tanah air yang terbentang dari Sabang hingga ke Merauke.

Demikian pula halnya dalam soal ekonomi. Kita menerima globalisasi dan keterbukaan sebagai sebuah keniscayaan sejarah. Kita tidak takut pada keterbukaan. Kita tidak cemas pada globalisasi, tetapi justru kita ingin memanfaatkan kemungkinan yang ada demi kepentingan bangsa kita sendiri.

Karenanya, dalam keterbukaan ekonomi, sebagaimana dalam kehidupan umumnya, kita harus selektif dan memiliki prioritas. Kita harus mendahulukan pelaku-pelaku ekonomi bangsa kita, baik swasta maupun pemerintah, sejauh mereka memang produktif dan efisien. Hal ini terutama harus diterapkan dalam beberapa bidang yang strategis, seperti sektor finansial dan perbankan, sektor energi dan sumberdaya alam, serta sektor pertanian.

Pemikiran seperti ini semakin mendesak untuk kita kedepankan sekarang, mengingat begitu banyak hal yang telah salah jalan, seperti dominasi penguasaan asing dalam dunia perbankan serta dalam aset-aset produktif sumberdaya alam (khususnya minyak dan gas) di negeri kita. Tanpa harus terjebak dalam sentimen anti-asing, kelemahan tersebut harus segera kita koreksi lewat kerja politik di berbagai bidang, baik di dalam maupun di luar parlemen. Kita harus mencari cara yang lebih baik dan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam sila ke-3 dalam Pancasila, yang dapat diterapkan secara modern dalam realitas ekonomi.

Dalam hal ini Partai Golkar menawarkan sebuah konsep pembangunan ekonomi menyeluruh yang sering disebut sebagai konsep negara kesejahteraan (welfare state). Konsep ini adalah sebuah jalan tengah, sebuah moderasi dari pengalaman-pengalaman ekstrem pembangunan di berbagai negara maju. Walaupun pemikiran dasarnya telah dimulai pada tahun 1930an di Eropa dan Amerika Serikat, konsepsi negara kesejahteraan sekarang justru semakin relevan setelah terjadinya beberapa kali krisis besar dalam globalisasi, sebagaimana yang terjadi dua dan tiga tahun yang silam.

Dalam konsepsi negara kesejahteraan, negara dan pemerintah tidak pasif, tetapi berperan besar dalam berjalannya roda perekonomian lewat intervensi di berbagai bidang, terutama yang bersifat strategis. Tetapi metode intervensi ini tidak lagi sama dengan cara tahun 1950an yang kaku dan bersandar pada metode pemilikan langsung. Intervensi sekarang harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah efisiensi dan produktifitas.

Walaupun peran negara besar, sektor swasta tidak diabaikan, tetapi justru didorong untuk semakin kreatif dan semakin mampu untuk bersaing, bukan hanya dalam pasar domestik, tetapi juga dalam persaingan global. Dalam hal ini, peran negara yang utama adalah memberikan kepastian hukum, termasuk kepastian dalam hukum perpajakan, mengatur tata kelola perburuhan dan asuransi yang menguntungkan semua pihak, serta memberikan insentif usaha manakala diperlukan.

Dengan konsep negara kesejahteraan, pemerintah dan semua pihak yang terkait dengan pembangunan ekonomi, menyadari bahwa kepentingan dan kemandirian Indonesia adalah hal yang utama sebagai instrumen untuk memajukan kesejahteraan rakyat.

Dengan konsep ini kita tidak akan membiarkan dunia pendidikan bagi anak-anak kita berada dalam kualitas yang jauh tertinggal, kita tidak akan membiarkan nasib kaum pekerja terkatung-katung, tidak akan membiarkan nasib petani dan kaum marjinal untuk terus terombang-ambing dalam ketidakpastian masa depan.

Saudara-saudara yang saya muliakan

Hadirin yang saya hormati

Saya sadar bahwa masih banyak hal yang perlu kita rumuskan lebih jauh untuk melakukan reaktualisasi, menyempurnakan pelaksanaan Pancasila dalam realitas sehari-hari. Konsepsi operasional yang kita miliki sekarang masih harus terus dilengkapi, diperbaharui serta ditingkatkan.

Karena itu, lewat lembaga MPR yang sangat penting ini, saya menghimbau semua pihak, semua kekuatan politik, untuk berlomba dan bersaing dalam memperkuat dan mematangkan kerangka realisasi dan operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan keseharian di negeri kita. Dengan cara ini, semua kekuatan politik di Tanah Air akan mengedepankan the power of ideas, kekuatan dan kecemerlangan gagasan dalam memajukan bangsa. Dan dengan begini pula, persaingan dan pergulatan politik yang ada menjadi sebuah persaingan yang lebih bermakna, lebih bermutu, serta lebih relevan dengan peri kehidupan rakyat.

Kita tidak boleh menerima berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada dengan dalih bahwa negeri kita masih dalam transisi demokrasi. Kita harus segera memperbaiki diri, memperkuat pilar-pilar demokrasi sebab Indonesia sesungguhnya sudah melampaui era transisi. Kita sudah memasuki tahap konsolidasi demokrasi, dan karenanya kita seharusnya sudah semakin matang dan lebih berani untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan yang ada, baik dalam bidang politik, maupun dalam bidang sosial, ekonomi, hukum dan bahkan kebudayaan kita.

Sebagai penutup saya juga menghimbau agar MPR dan lembaga-lembaga penting kenegaraan lainnya terus mendorong agar dalam era globalisasi serta percaturan antarbangsa yang semakin intensif, Indonesia tidak kehilangan keberanian untuk bersikap secara mandiri. Indonesia adalah bagian dari dunia, tetapi kita memiliki kepentingan nasional yang harus kita perjuangkan sejauh-jauhnya. Indonesia adalah negara besar, dan karena itu kita pun harus bersikap sebagai pimpinan dan tokoh dari sebuah negara besar, yang tidak mau ikut begitu saja terhadap tarikan dan desakan negara lainnya. Kita negara besar, kita harus bersikap sebagai negara besar, bukan sebagai negara kecil yang terombang-ambing dalam percaturan negara-negara besar lainnya.

Akhirnya, sekali lagi saya ingin mengucapkan penghargaan dan apresiasi kepada pimpinan dan sahabat-sahabat di lembaga MPR atas penyelenggaraan seminar ini. Kita mencintai bangsa yang sama dan ingin mengabdi pada Tanah Air yang sama.

Saya yakin, dengan kebersamaan ini, kita akan mendorong kemajuan Indonesia untuk menjadi sebuah negeri yang membanggakan kita semua.

Wabillahitaufiq walhidayah

Wassalamualaikum Wr. Wb.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.