Realtualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pendidikan

Pidato pada Seminar Pendidikan FPG DPR RI. Jakarta, 22 Juni 2011.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam Sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati Pimpinan DPR-RI,

Yang saya hormati Pimpinan Fraksi Partai GOLKAR DPR-RI,

Peserta Seminar dan hadirin sekalian yang berbahagaia,

Syukur Alhamdulillah, kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, atas segala karunia dan nikmat-Nya yang diberikan kepada kita sekalian, sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul bersama guna menghadiri SEMINAR PENDIDIKAN yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai GOLKAR DPR-RI dengan tema “REAKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PENDIDIKAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA”

Tema yang kita bahas pada seminar ini sangat penting dan mendasar, karena kita hendak membicarakan bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa, kita reaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di dunia pendidikan, dalam rangka pembentukan karakter bangsa. Tema ini sangat relevan dengan kondisi kita dewasa ini, dimana di tengah-tengah dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita merasakan bahwa Pancasila semakin terpinggirkan, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan dengan dialektika reformasi, Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa, Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan apalagi diterapkan, baik dalam konteks ketata negaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan, sehingga dengan demikian, sangat jauh dari konteks pembentukan karakter bangsa.

Dalam dunia pendidikan, misalnya, Pancasila sudah tidak lagi menjadi mata pelajaran atau mata kuliah wajib peserta didik. Hal ini, tentu saja cukup ironis dan memprihatinkan, karena selain melalui jalur pendidikan, nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan secara efektif, juga peserta didik menjadi asing dengan hal-ihwal “apa itu Pancasila”.

Oleh sebab itulah, sejak awal saya telah mengemukakam perlunya suatu kebijakan agar Pancasila dijadikan mata pelajaran atau mata kuliah wajib dalam dunia pendidikan kita. Sehingga, peserta didik tidak lagi asing dengan Pancasila, tetapi juga diberikan kesempatan untuk memahami secara mendalam hakikat dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pendidikan Pancasila, tidak saja diharapkan mampu memperkuat nasionalisme peserta didik, tetapi juga memperkokoh moral dan karakter bangsa, serta peserta didik sejak awal telah memahami ideologi negaranya sebagai dasar dan orientasi dalam kehidupannya.

Dalam Diskusi Panel akhir tahun 2010 yang diadakan oleh Bidang Penanganan Kerawanan Sosial DPP Partai GOLKAR, dengan tema : “Menyegarkan Kembali Paham Kebangsaan”, saya telah mengemukakan bahwa kesenjangan yang paling mendasar dihadapi bangsa dewasa ini, adalah “kesenjangan ideologi”. Bahkan lebih jauh, dalam seminar itu juga saya mengedepankan beberapa pertanyaan yang menggelitik terhadap kita, apakah di era globalisasi ini, paham nasionalisme masih ada ? lebih jauh lagi, apakah bangsa Indonesia masih merasa bangga sebagai orang Indonesia ? Apakah masih ada kesadaran dalam diri kita tentang Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara serta falsafah bangsa ? Apakah kita bisa membayangkan bagaimana bangsa ini ke depan, bila generasi mudanya tidak memiliki jati diri bangsa ? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik namun mendasar tersebut, harus dijawab dan diatasi, dan karena itu, saya berharap Seminar ini dapat memberikan solusi yang mendasar melalui pendidikan.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Pancasila merupakan warisan utama para Pendiri Bangsa (The Founding Fathers), yang telah berjuang, merintis, sekaligus mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta.

Pancasila merupakan karya agung para Pendiri Bangsa, yang menjadi dasar dan ideologi negara sekaligus falsafah, weltanschauung atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila yang terdiri dari lima sila itu, digali dari pengalaman, kearifan tradisi, dan realitas kemajemukan bangsa, yang dirumuskan kembali oleh para Pendiri Bangsa.

Apabila kita buka kembali catatan sejarah kita, proses perumusan dasar negara Indonesia dilakukan melalui proses perdebatan yang dinamis dan panjang dalam persidangan-persidangan Badan Perwakilan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni, 22 Juni, 16 Juli, dan terakhir 18 Agustus 1945, dengan ditandai disahkannya Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara telah mengalami pasang naik dan pasang surut dalam mengarungi zaman yang berbeda-beda dari era awal kemerdekaan hingga era reformasi sekarang ini. Ada kalanya Pancasila menjadi perdebatan politik yang tak kunjung habis di era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer pada tahun 1950-an. Ada kalanya pula Pancasila menjadi sesuatu yang dipandang mistis, sakral, bahkan angker pada masa Orde Baru.

Sementara, di era reformasi sekarang ini, Pancasila seakan hilang dari keseharian kita sebagai sebuah bangsa. Pancasila seolah telah terpinggir dan terlupakan. Kilau nilai-nilai Pancasila seakan redup dihembus angin liberalisasi yang mulai memasuki relung-relung kehidupan masyarakat kita.

Kita melihat dan merasakan bahwa pada era reformasi ini, kita mengalami berbagai fenomena yang memperihatinkan dan mengkhawatirkan. Betapa kita terhenyak dengan mengemukanya kekerasan-kekerasan komunal dan primordial yang mencabik-cabik kebhinekaan serta menggoyahkan sendi-sendi integrasi bangsa. Tentu saja kita sedih dan prihatin, mengapa seolah-olah masyarakat Indonesia menjadi sangat mudah marah dan tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap sesama anak bangsa.

Bulan lalu misalnya, ratusan penumpang kereta api yang terkena razia penertiban di Stasiun Manggarai mengamuk. Selain melempari petugas dengan batu, mereka juga menghancurkan sejumlah fasilitas publik yang ada di stasiun. Sementara, gara-gara salah satu temannya tidak lulus Ujian nasional 2011 lalu, beberapa murid SMAN I Nubatukan, NTT, membanting dan memecahkan kaca jendela kelasnya. Di Kampung Sokori, Kabupaten Jayapura, Papua, terjadi perang antar-kampung karena perebutan wilayah yang menewaskan satu orang. Bahkan, di mana-mana sering terjadi perkelahian antar pelajar dan mahasiswa.

Itu hanya contoh kecil di antara banyak kasus kekerasan lainnya. Belum lagi contoh-contoh lain yang tidak secara langsung berkenaan dengan kekerasan, tetapi terkait erat dengan keteladanan dan perilaku elite dan masyarakat yang rasa-rasanya jauh dari karakter bangsa kita yang ber-Pancasila.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Kita merasakan bahwa nilai-nilai budi pekerti luhur yang menjadi tradisi bangsa semakin meluntur. Nilai-nilai dasar seperti kejujuran, sikap kesatria, toleransi dan tenggang rasa, menghormati perbedaan, sikap rendah hati, dan sebagainya, terasa semakin jarang kita dapatkan. Mungkin ini berlebih-lebihan, namun demikianlah yang saya dan kita semua rasakan.

Dalam dunia politik, kita juga merasakan kecenderungan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Sikap pragmatisme terasa semakin mengemuka, meninggalkan aspek-aspek idealisme. Pragmatisme itu juga telah merambah kehidupan masyarakat kita sehari-hari.

Kita prihatin atas nasib keluarga Ibu Siami yang diprotes dan diusir oleh para tetangganya karena melaporkan adanya tekanan guru kepada anaknya di SD Gadel Surabaya untuk memberikan contekan pada teman-temannya. Kasus tersebut meninggalkan pesan yang jelas kepada kita betapa nilai-nilai kejujuran, bukan saja semakin langka, tetapi seolah-olah tidak lagi dipedulikan, bahkan dikehendaki oleh masyarakat. Kasus Ibu Siami menjadi perhatian kita semua, karena manakala penyelenggaraan pendidikan kita lebih berorientasi pada hasil, dan tidak menghargai proses, maka jangan harap nilai-nilai etika dan moral serta kejujuran mengemuka.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Penyelenggaraan dunia pendidikan kita memang masih diwarnai oleh keterbatasan-keterbatasan. Tetapi, kita semua sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang mendasar bagi kemajuan bangsa, karena dengan penyelenggaraan pendidikan yang baik dan maju, maka akan menghasilkan sumberdaya manusia terdidik yang dapat diandalkan.

Perhatian kita akan pentingnya pendidikan, antara lain ditandai oleh implementasi anggaran duapuluh persen dari APBN kita. Kita berharap dengan adanya anggaran sebesar itu, dunia pendidikan kita dapat berjalan dengan lebih baik. Walaupun penyelenggaraan pendidikan tidak semata-mata bertumpu pada besarnya anggaran, setidaknya dengan memanfaatkan seoptimal mungkin dan setepat mungkin anggaran pendidikan kita tersebut, kita punya kesempatan untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita.

Tentu saja pemanfaatan anggaran pendidikan kita, harus disertai oleh perencanaan pendidikan yang baik, disertai dengan pengutamaan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Di atas semua itu, kita membutuhkan sumberdaya yang tidak saja memadai, tetapi juga memiliki dedikasi, integritas, dan mentalitas yang terpuji. Sebab, tenaga pendidik, sesungguhnya memiliki tugas ganda, yakni tidak saja mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik, tetapi juga etika, moralitas, dan mentalitas yang baik.

Dengan kata lain, mereka yang bergerak di dunia pendidikan turut mengemban misi mulia dalam pembangunan karakter peserta didik. Dalam konteks inilah, seminar pendidikan ini menemukan relevansinya, bahwa dunia pendidikan mengemban misi membangun karakter bangsa.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Sekarang, marilah kita bicara tentang Pancasila, kaitannya dengan konteks pembentukan dan pembangunan karakter bangsa.

Selain dihadapkan pada realitas internal kita sebagai bangsa, pada saat ini kita juga dihadapkan pada tantangan eksternal dalam bentuk arus liberalisasi dan globalisasi. Berkat kemajuan teknologi informasi dan transportasi, dunia kini menjadi sebuah Global Village dimana terjadi interaksi yang luar biasa antar-warga dunia.

Meski awalnya digerakkan oleh interaksi ekonomi, namun interaksi masyarakat dalam proses globalisasi dunia juga terjadi di berbagai bidang, baik ideologi, politik, sosial-budaya, dan sebagainya. Dalam hal ini, kita mencatat, bahwa selain terjadi pertukaran barang dan jasa antar-Negara, terjadi pula pertukaran nilai antar-bangsa yang berlangsung secara massif dan eskalatif.

Di antara berbagai nilai tersebut, terdapat nilai-nilai global yang positif, seperti nilai-nilai demokrasi dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Namun, di sisi lain juga mengemuka nilai-nilai yang cenderung negatif, seperti individualisme, liberalisme, konsumerisme, pragmatisme, dan ekses-ekses globalisasi lainnya. Nilai-nilai negatif itu secara sadar atau tidak, sangat berpengaruh terhadap melemahnya karakter dan kepribadian bangsa.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Di tengah-tengah situasi dan realitas objektif demikian, kita perlu menengok kembali Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, selain sebagai dasar dan ideologi negara.

Sebagai bangsa, kita harus memiliki karakter yang kuat. Dan, sesungguhnya kita sudah memiliki Pancasila. Oleh karenanya, permasalahan yang kita hadapi sekarang adalah, bagaimana mengaktualisasikan dan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam kerangka itu, kita harus meletakkan Pancasila sebagai falsafah bangsa yang membumi, dan bukan lagi sebagai sesuatu yang bersifat mistik, yang dimitoskan dan disakralkan sedemikian rupa. Pancasila harus di-demistifikasi dan di-desakralisasi, agar dapat dipelajari dan ditelaah sedemikian rupa dengan mengedepankan nalar dan penyikapan yang rasional, karena justru dengan demikian akan tumbuh kesadaran akan pentingnya internalisasi nilai-nilai Pancasila.

Orientasi kesadaran itulah yang membedakan dengan orientasi indoktrinasi, seperti yang menjadi arus utama pendidikan Pancasila di masa lalu. Pendekatan yang bersifat indoktrinatif, terbukti tidak saja tidak efektif, tetapi juga kontraproduktif.

Pendekatan indoktrinatif mematikan daya kritis dan objektivitas. Pendekatan indoktrinatif juga justru membuat Pancasila terstigmatisasi sedemikian rupa sebagai alat dan pembenaran politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dan memaksakan kehendaknya kepada rakyat, sehingga justru menuai antipati dan perlawanan.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Sebagaimana saya tegaskan di muka, bahwa saya menyambut baik kebijakan pemerintah untuk memasukkan Pendidikan Pancasila dalam mata pelajaran dan mata kuliah wajib peserta didik. Dengan demikian, Pendidikan Pancasila akan kembali menjadi arus utama yang diajarkan secara formal di dunia pendidikan kita, dan tidak lagi sekedar disinggung sekedarnya dalam Mata Pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) dan/atau PKN (Pendidikan Kewarganegaraan).

Dalam konteks ini, terkait dengan yang saya kemukakan di muka, bahwa jangan sampai pendekatan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai pembentuk karakter bangsa itu dilakukan dengan metode yang indoktrinatif, melainkan pendekatan yang mengedepankan daya kritis peserta didik dan orientasi kesadaran dalam melakukan internalisasi nilai-nilai Pancasila.

Dengan dimasukkannya kembali Pendidikan Pancasila dalam dunia pendidikan formal kita, maka marilah hal tersebut kita jadikan momentum untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reaktualisasi antara lain memiliki makna bahwa nilai-nilai Pancasila bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis dan adaptif sesuai dengan tantangan zamannya. Reaktualisasi dimaksdukan agar nilai-nilai Pancasila senantiasa aktual sampai kapan pun dan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hadirin yang berbahagia,

Sebagai partai politik yang sejak awal berideologi Pancasila, dan bahkan Partai yang lahir sebagai respons terhadap adanya perdebatan ideologis yang arahnya ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, Partai GOLKAR senantiasa berada pada garda terdepan, menjadi pelopor proses internalisasi nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini, pendidikan formal merupakan salah satu jalur yang efektif, mengingat nilai-nilai Pancasila itu secara sistematis ditanamkan melalui proses pendidikan, sejak anak usia dini sampai pendidikan tinggi. Selain itu, penanaman nilai-nilai Pancasila juga dapat dilakukan melalui jalur pendidikan informal dan/atau non-formal, seperti Gerakan Pramuka, Karang Taruna, serta berbagai unit aktivitas minat, bakat, dan olahraga.

Sekali lagi, saya perlu menekankan, bahwa metode Pendidikan Pancasila harus lebih kreatif, dialogis, tidak mematikan daya kritis, serta tidak indoktrinatif. Selain pengajaran nilai-nilai Pancasila terhadap peserta didik, yang juga tidak kalah pentingnya adalah peningkatan mutu pendidik, agar mereka juga mampu menanamkan karakter kepada peserta didik, dan tidak semata-mata sekedar “transfer of know how”. Dalam konteks ini, aspek integritas dan keteladanan menjadi hal yang utama.

Di sinilah pentingnya kita mengkaji ulang Sistem Pendidikan Nasional kita agar selaras dengan upaya kita dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik. Dalam kaitan inilah, saya memerintahkan kepada Fraksi Partai Golkar DPR-RI untuk mengevaluasi ulang kebijakan pendidikan nasional kita dewasa ini. Bahkan, kalau diperlukan dapat diusulkan agar dilakukan revisi terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Hadirin yang berbahagia,

Terkait dengan tema penting seminar ini, tak lupa saya ingin mengajak kepada segenap kader Partai GOLKAR untuk senantiasa menerapkan dan menjalankan nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ikrar Partai GOLKAR salah satunya menekankan : “Warga Partai GOLKAR Pembela setia Pancasila”. Juga dalam Hymne Partai GOLKAR disebut: Golongan Karya Kita, Pembela Setia Pancasila. Karena itu, kita harus menjadi teladan bagi yang lain. Dengan mengedepankan aspek keteladanan dalam mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila tersebut, maka Insyaallah, kita akan semakin percaya diri dan semakin produktif dalam mengejar berbagai ketertinggalan, dan menggapai kemajuan yang signifikan dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

Akhirnya, sekali lagi, saya menyambut baik penyelenggaraan seminar ini, mudah-mudahan dari forum yang mulia ini muncul ide dan gagasan yang cerdas dan mencerahkan. Kegiatan semacam ini sudah menjadi komitmen kita bersama, dalam mewujudkan Partai GOLKAR sebagai “the party of ideas”. Selamat berdiskusi, dan semoga Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa senantiasa memberikan jalan dan kekuatan kepada kita semua yang terbaik bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.