Renungan Akhir Tahun 2011
Disampaikan pada Acara “Membangun Demokrasi, Melahirkan Negarawan”, di JCC, Jakarta, 21 Desember 2011.
Hadirin yang saya muliakan
Saudara-saudara yang saya hormati
Pertama-tama saya ingin mengajak saudara-saudara untuk memanjatkan puji dan syukur kehadapan Allah SWT. Hanya atas izinnya kita semua dapat bersama-sama mengikuti acara Renungan di penghujung tahun 2011 ini.
Selanjutnya saya juga ingin menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Sdr-sdr panitia penyelenggara, serta kepada Sdr. Ponco Sutowo. Acara ini penting untuk kita lakukan agar dari waktu ke waktu, terutama di saat-saat menjelang peralihan tahun seperti ini agar kita mampu memberi makna kepada masa lalu serta melihat harapan di masa-masa mendatang.
Terlebih dahulu, dalam saat-saat renungan seperti ini, saya ingin mengingatkan semua pihak, juga diri saya sendiri dan seluruh elemen Partai Golkar, bahwa sejarah adalah pelajaran, tetapi bukan tujuan perjalanan. Marilah kita petik pelajaran dan hikmah yang berharga dari perjalanan waktu yang baru saja lewat, atau akan segera lewat. Tetapi kita tidak hidup di masa lalu. Kita tidak boleh hidup dalam penjara masa lalu atau menjadikan masa lalu sebagai beban yang harus dipikul terus-menerus.
Kita hidup di masa kini dan di masa depan. Masa lalu kita jadikan pelajaran untuk hidup lebih baik di masa kini, serta untuk membuka harapan dan peluang di masa mendatang.
Itulah sikap terbaik dalam menyambut peralihan tahun seperti ini. Let us rejoice and embrace the coming sunrise – do not cry for the passing wind. Bersikaplah dengan optimistis, jangan melankolik. Sambutlah dengan tangan terbuka, dan rayakan datangnya tahun yang baru, bukan menyesali, apalagi mengutuk waktu yang sudah lewat.
Saudara-saudara yang saya muliakan
Hadirin yang saya hormati
Dengan semangat seperti itu, Partai Golkar ingin mengajak semua pihak untuk melihat tahun 2011 ini bukan sebagai tahun yang berdiri sendiri, tetapi sebagai suatu rangkaian waktu, suatu episode dari perjalanan bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa yang lebih sejahtera, lebih kuat, lebih adil dan terbuka, serta lebih membanggakan kita semua.
Untuk itu, kita harus memahami tahun 2011 sebagai bagian dari potret besar perjalanan kita sejak 13 tahun yang silam, yaitu pada saat Indonesia beralih menjadi negara yang lebih demokratis dan lebih terbuka. Dalam potret besar ini kita melihat arus naik dan turun, suka dan duka, dari upaya bersama kita untuk mengembangkan negeri yang kita cintai ini menuju arah yang lebih baik. Ada keberhasilan, tetapi ada juga persoalan-persoalan yang masih harus kita hadapi. Ada kekuatan dan potensi besar, tetapi masih cukup banyak kelemahan yang menghambat dan perlu segera kita atasi.
Dalam menguraikan berbagai hal tersebut, saya ingin mengawali dengan uraian tentang keberhasilan dan kekuatan kita sejauh ini. Dalam hal ini, saya mencatat ada beberapa keberhasilan yang patut kita syukuri dan kita banggakan:
Pertama, semakin menguatnya konsensus di masyarakat bahwa kita tidak mungkin lagi kembali ke masa lalu. Demokrasi, kebebasan, perlindungan hak-hak asasi, pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab: semua ini sudah menjadi bagian dari the Indonesian grand narrative yang akan terus kita pertahankan serta kita wariskan kepada generasi penerus.
Yang sangat membanggakan dan patut kita syukuri sedalam-dalamnya adalah, pada saat kita melakukan demokratisasi (menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia!) serta memperluas wilayah kebebasan publik, Indonesia tetap bertahan sebagai sebuah bangsa yang relatif moderat dan harmonis, terutama dari segi hubungan antargolongan, suku, serta agama.
Memang pernah terjadi berbagai kasus yang menyedihkan, mulai dari bom Bali, konflik di Poso dan Ambon – residu persoalan ini beberapa kali juga masih terjadi di tahun 2011. Namun semua ini secara bertahap berhasil kita atasi tanpa meruntuhkan komitmen kita pada filosofi Bhineka Tunggal Ika. Bahkan saya melihat, bahwa terjadinya berbagai persoalan tersebut justru memperkuat lagi komitmen dan kesepakatan kita akan perlunya menjaga persatuan, kemajemukan dan pertalian kebangsaan di antara kita.
Selain semua itu, Indonesia juga telah semakin membuktikan bahwa Islam bisa hidup berdampingan dengan demokrasi dan modernitas. Partai-partai Islam telah memainkan peran produktif di parlemen dalam kaidah-kaidah yang sesuai dengan sistem demokrasi yang universal. Yang lebih penting lagi, segenap elemen dan organisasi ke-Islam-an telah menjadi kekuatan yang menjaga agar Indonesia terhindar dari ekstremisme dan fanatisme beragama.
Keberhasilan lainnya lagi adalah menyangkut suatu hal yang jarang disadari, sebuah silent revolution, revolusi diam-diam yang dampaknya sangat besar dalam kehidupan kebangsaan kita. Desentralisasi kekuasaan dari Jakarta ke daerah-daerah, terutama di unit kota dan kabupaten, telah berjalan dengan semakin intensif. Pimpinan dan pemerintahan lokal yang dipilih langsung kini memainkan peran yang sangat vital dalam meningkatkan pelayanan pemerintahan ke masyarakat. Indonesia kini bukan hanya Jakarta, Surabaya dan Bandung, tetapi terdiri dari ratusan kota dan daerah yang sedang bergerak, tumbuh dan berubah secara dinamis menjadi pusat-pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi.
Kecenderungan progresif seperti ini adalah faktor penyebab dari pertumbuhan daerah yang relatif selalu lebih tinggi daripada pertumbuhan di Jawa. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan terjadi sebuah transformasi besar di mana beberapa kota dan daerah seperti Balik Papan, Pekanbaru, Palembang, Medan, Makassar, Manado, Jayapura dan Monokwari akan menyaingi, bahkan mungkin lebih besar dan lebih dinamis, dibandingkan dengan beberapa kota besar di Jawa.
Tumbuh dan berkembangnya kekuatan serta potensi kita di daerah adalah juga sebuah faktor penentu dari keberhasilan kita dalam memacu pembangunan ekonomi di tengah suasana dan transformasi demokrasi.
Demokratisasi dan pembangunan ekonomi yang dilakukan secara simultan bukanlah hal yang mudah. Cina bertumbuh cepat, tetapi memakai jalan otoriter. Sebaliknya, banyak negara di Afrika dan Timur Tengah sekarang mencoba mengambil jalan demokratis, tetapi dengan ekonomi yang terus terpuruk.
Indonesia mampu mencegah hal tersebut. Pada saat dunia politik mengalami transformasi besar, kita juga mampu tumbuh relatif cepat secara ekonomi, di sekitar atau bahkan di atas 6 persen setahun, mendekati pencapaian negara-negara yang selama ini di dunia dianggap sebagai high-achiever, yaitu Cina, India, Brazil, Chile dan Rusia.
Jika pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut dapat terus dijaga dan dikembangkan, maka dalam waktu satu dekade lagi Indonesia akan naik kelas, menjadi bagian dari kelompok menengah, upper middle-income country.
Semua itu akan membawa akibat positif berantai, sebuah virtuous circle: kelas menengah Indonesia akan bertambah dan akan semakin tersebar secara geografis, angka kemiskinan akan menurun drastis, tingkat pendidikan akan naik, dan seterusnya, yang pada akhirnya akan memperkuat fondasi demokrasi dan negara kebangsaan kita.
Saudara-saudara yang saya muliakan
Hadirin yang saya hormati
Dengan mengatakan semua itu dan menguraikan keberhasilan-keberhasilan yang telah kita capai, kita tidak boleh menutup mata terhadap berbagai kelemahan dan persoalan yang ada.
Dalam soal ekonomi, pertumbuhan di sekitar 6 persen sebenarnya belum mencerminkan segenap potensi dan kekuatan kita. Masih ada berbagai persoalan struktural yang besar, yang umumnya terkait dengan persoalan infrastruktur.
Dalam hal ini saya ingin memberikan beberapa ilustrasi sederhana. Jalan Tol Jagorawi yang diresmikan lebih 30 tahun lalu adalah salah satu jalan tol pertama yang dibuat di negara sedang berkembang di Asia-Afrika. Indonesia saat itu dianggap melakukan breakthrough dan luncatan jauh ke depan. Banyak negara, seperti Cina dan Malaysia, datang ke Indonesia untuk melihat dan mempelajari Jalan Tol Jagorawi. Kita dianggap berani dan berpikiran sangat maju, dalam konteks waktu itu.
Sekarang, setelah 30 tahun, perkembangan jalan di negeri kita ternyata terseok. Cina sudah membangun ratusan ribu kilometer jalan tol, dan Malaysia sudah membangun 6.000 km. Indonesia sampai hari ini masih kurang dari 1.000 kilometer!
Kelemahan kita dalam mengikuti irama dan kecepatan pembangunan sangat terasa di Jakarta, saat setiap hari kita berada dalam kemacetan yang semakin menyesakkan. Tetapi bukan cuma di Jakarta, dan bukan hanya dalam soal pembangunan jalan. Listrik, air bersih, pelabuhan, bandara, irigasi, rumah sakit umum dan fasilitas umum lainnya: semua ini adalah fondasi ekonomi dan infrastruktur yang sangat kita perlu, yang sayangnya sampai hari ini masih terus berkembang dengan sangat lamban.
Ironi terbesar pada kita adalah sebenarnya kita memiliki cukup dana untuk membangun infrastruktur yang memadai. Kegagalan kita selama ini bukan karena faktor kekurangan anggaran.
Pada tahun 2011 ini saja kita mengeluarkan sekitar Rp 250 triliun untuk subsidi BBM, listrik dan subsidi lainnya. Tahun lalu anggaran untuk subsidi Rp 150 triliun, dan tahun sebelumnya tidak jauh berbeda. Pada tahun 2011 anggaran subsidi semacam itu sudah menjadi pos pengeluaran terbesar pemerintah, melampaui jumlah anggaran pendidikan dan kesehatan. Hal ini adalah pemborosan dan misalokasi sumber daya yang menyedihkan (jika setengah atau sepertiga saja dari akumulasi subsidi ini dipakai untuk membangun sekolah, universitas, rumah sakit umum, jalan raya, pembangkit listrik, sarana air bersih, dan semacamnya, maka Indonesia persoalan kita akan jauh lebih ringan).
Walaupun semua pihak mengerti bahwa hal tersebut adalah pemborosan yang luar biasa, tetapi dari tahun ke tahun kita “terpaksa” melakukannya, tanpa alternatif yang kelihatannya masuk akal. Inilah salah satu persoalan terbesar dari kebijakan publik kita, suatu hal yang barangkali sudah bisa dikatakan sebagai tragedi kebijakan publik Indonesia.
Jika kita mampu mengatasi masalah infrastruktur dan masalah subsidi tersebut, dan juga mampu mengkombinasikannya dengan pengatasan masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, sambil menciptakan insentif usaha yang memadai bagi jutaan pengusaha kecil kita di berbagai daerah, memperbaiki iklim usaha dan investasi swasta serta menjaga stabilitas ekonomi makro, maka saya yakin bahwa Indonesia akan bertumbuh lebih cepat lagi.
Singkatnya, jika kita berani menghapi persoalan kita serta dengan tangkas dan cepat mengimplementasikan kebijakan yang tepat, maka sebenarnya ekonomi Indonesia mampu tumbuh hingga 8 atau bahkan 10 persen per tahun, menyamai Cina dan India yang dianggap sebagai the stars of economic development dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Di luar wilayah ekonomi, persoalan yang kita hadapi berhubungan dengan dengan masalah konsistensi penerapan hukum dan kualitas institusi penegak hukum yang ada (lembaga kehakiman, kejaksaan dan polisi). Kelemahan ini adalah faktor utama dari gejala korupsi yang tidak kunjung berhasil kita atasi dengan memuaskan. Dalam hal ini kita memang sudah memiliki KPK, tetapi lembaga ini tidak bisa melakukannya sendiri.
Tanpa memperkuat dan memperbaiki lembaga formal penegakan hukum yang ada, serta tanpa keberanian kita dalam mengubah cara kita mengelola economic governance, maka perang melawan korupsi hanya menyentuh permukaan masalah saja, bukan pada akar dan persoalan dasarnya.
Selain itu, kita juga masih harus memperbaiki kualitas demokrasi dan meningkatkan komitmen para politisi dan partai politik kita dalam membangun kesejahteraan rakyat. Dalam berbagai survei, harus kita akui bahwa, karena fragmentasi yang berlebihan, partai politik dan para politisi masih dianggap oleh masyarakat sebagai pihak yang menyebabkan persoalan, bukan pihak yang menyelesaiakan persoalan. Para politisi masih banyak yang dianggap terlalu mementingkan cita, mencari panggung dan popularitas, dan membela kepentingan diri sendiri saja.
Kita harus mencari jalan keluar yang praktis dari persoalan ini, kalau tidak publik Indonesia akan semakin skeptis terhadap dunia politik, yang pada akhirnya akan mengikis legitimasi sistem demokrasi yang sudah kita bangun selama ini.
Selain semua itu, masih ada beberapa lagi persoalan mendasar, tetapi yang terpenting di antaranya adalah berhubungan dengan stabilitas dan integritas NKRI. Persoalan Aceh telah kita selesaikan, dan Aceh sekarang sedang tumbuh dan berkembang dengan memadai. Proses perdamaian dan pembangunan di Aceh memang belum sempurna, tetapi sejauh ini sudah berjalan dengan baik.
Setelah Aceh, isu yang merebak sekarang, terutama di tahun 2011 ini, adalah isu Papua. Kita harus menyelesaikan persoalan Papua ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh simpati serta respek pada saudara-saudara kita di sana.
Kepada semua pihak, kita harus menegaskan bahwa Negara Kesatuan Indonesia adalah harga mati. Tidak sejengkal tanah pun di negeri kita, dari Sabang sampai Merauke, yang boleh dipisahkan atau dipecahkan oleh siapa pun. Kita akan mempertaruhkan segalanya untuk menjaga integritas negara kebangsaan kita.
Solusi pada persoalan Papua bukanlah pemisahan diri, tetapi perdamaian, penghormatan pada hukum, serta yang paling penting adalah pembangunan dan peningkatan kesejahteraan umum. Dalam hal ini harus kita akui bahwa sebagian saudara-saudara kita di Papua memang masih sangat tertinggal.
Kota dan daerah pesisir Papua, seperti Jayapura, Monokwari, Sorong, Bintuni, Merauke, Nabire, dan sebagainya sebenarnya berkembang pesat, sama dengan kota-kota lainnya di daerah lain. Tetapi warga 12 kabupaten di pegunungan Jayawijaya (Wamena, Puncak Jaya, Tolikara, Pegunungan Bintang, dsb), di mana 70% warga Papua asli bermukim, memang masih sangat tertinggal. Belum ada jalan tembus, dan semua masih diangkut dengan pesawat (minyak, telur, besi, semen hingga truk dan mobil harus diangkut pakai pesawat).
Mereka sangat terisolasi, dan menghadapi sebuah persoalan yang oleh kaum ekonom disebut sebagai classic land-locked problem. Kita harus segera memecahkan persoalan ini dan membangun Papua dengan sungguh-sungguh.
Kebetulan saya memiliki pengalaman pribadi dalam mengatasi masalah Papua. Sewaktu menjadi Menko Kesra, 2005-2009, wilayah Papua adalah salah satu wilayah yang paling intesif saya tangani. Bahkan saya dan tim pusat interdep masuk hingga ke puncak-puncak gunung dengan tebing dan jurang yang terjal. Kami menyediakan ratusan dokter dari barbagai penjuru tanah air, guru, membangun sekolah, menyediakan listrik lewat tenaga solar dan mikro hidro, membangun honai sehat, dan banyak lagi.
Dalam proses itu semua, tidak sekalipun saya atau tim interdep mengalami persoalan dengan masyarakat, atau diprotes dan didemo, padahal wilayah kerja kami termasuk pusat-pusat kekuatan kaum OPM.
Yang terjadi malah sebaliknya. Berkali-kali saya menerima penyerahan senjata serta menerima delegasi-delegasi pemberontak yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Puncak dari semua ini adalah kembalinya Sdr. Nicholas Youwe, salah satu pendiri OPM yang paling senior, dari Belanda untuk tinggal kembali di Jayapura.
Semua itu memberikan pelajaran pribadi buat saya bahwa warga Papua sebenarnya cinta damai dan sangat membutuhkan uluran tangan kita. Jika kesejahteraan mereka memang sungguh-sungguh kita perhatikan, maka mereka akan bersikap sangat bersahabat dan merangkul kita.
Saya yakin, jika hal semacam itu memang kita lakukan, maka Papua dalam waktu singkat akan menjadi bintang yang paling cemerlang di timur Indonesia.
Saudara-saudara yang saya muliakan
Hadirin yang saya hormati
Itulah beberapa hal yang dapat saya uraikan dalam kesempatan ini, dalam rangka melepaskan tahun 2011 serta menyambut datangnya tahun 2012.
Marilah kita bertekad untuk meneruskan prestasi yang sudah berhasil kita capai sejauh ini, serta membantu mengatasi berbagai kelemahan dan persoalan yang masih tersisa. Partai Golkar, sebagai partai karya dan kekaryaan, tidak boleh menjadi sebuah partai yang menambah persoalan, tetapi harus menjadi sebuah partai yang turut serta menyelesaikan berbagai persoalan yang kita hadapi.
Partai Golkar harus mengajak semua elemen bangsa untuk melangkah ke maju, menyambut masa depan dengan tangan terbuka dan penuh harapan.
Akhirnya, sekali lagi saya mengucapkan penghargaan dan apresiasi kepada semua pihak, khususnya kepada panitia penyelenggara acara ini. Selamat tahun baru 2012.
Wabillahi taufiq walhidayah
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
No comments yet.