Selesaikan Persoalan Papua dengan Simpati dan Peningkatan Kesejahteraan
Pidato Kunci di Seminar Nasional: “Reformasi Strategi Pembangunan yang Berkeadilan di Papua”. Jakarta, 29 November 2011.
Hadirin yang saya muliakan
Saudara-saudara yang saya hormati
Marilah kita panjatkan rasa syukur kehadapan Tuhan yang Mahabesar karena atas izinnyalah kita dapat berkumpul bersama pada hari yang berbahagia ini.
Pertama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada panitia penyelenggara, yaitu Sabang-Merauke Circle. Saya senang bahwa isu Papua juga dibicarakan dan didiskusikan dengan intensif oleh kaum terpelajar di Jakarta. Papua memang membutuhkan perhatian dan simpati semua pihak, agar berbagai masalah yang menimpa saudara-saudara kita di ujung paling timur Nusantara ini dapat diselesaikan dengan baik.
Terus-terang, harus kita akui bahwa publik Indonesia secara umum kurang mengenal serba-serbi permasalahan yang ada di Papua. Bahkan bisa kita katakan bahwa banyak dari tokoh penentu kebijakan di Jakarta, baik di eksekutif maupun di parlemen, hanya mengerti soal Papua lewat laporan di koran, atau data-data statistik, tetapi belum pernah sekalipun mengenal dari dekat atau menginjakkan kaki di Tanah Papua.
Kalau pun ada yang melakukan kunjungan kerja ke Jayapura atau Monokwari, bisa dipastikan bahwa mereka tidak memiliki cukup waktu untuk melihat dan menginap di Wamena, Tolikara, Dekai, Paniai dan kota-kota lainnya di pegunungan Jayawijaya yang terisolasi dan sulit itu.
Karena itulah, saya menyambut baik bahwa saudara-saudara yang berada di Jakarta dan merupakan calon-calon pemimpin bangsa di masa depan sudah mulai sejak awal mengenal dan membicarakan persoalan-persoalan yang ada di Papua.
Tak kenal maka tak sayang: saya harap, dengan diskusi dan pengetahuan yang saudara-saudara peroleh, maka simpati dan ikatan persahabatan dengan saudara-saudara kita di Papua akan tumbuh dan terjalin erat.
Selanjutnya, saya juga menyambut baik bahwa tema dalam forum ini adalah “reformulasi strategi pembangunan di Papua”, bukan secara khusus berbicara hanya mengenai masalah PT. Freeport, atau masalah HAM dan TNI-Polri, atau hak-hak dasar suku-suku asli, dan semacamnya.
Persoalan Papua memang tidak bisa dibicarakan secara parsial, tersekat-sekat dalam satu atau dua fokus pembahasan semata. Masalah di Papua tidak akan selesai, malah akan semakin rumit dan menyedihkan, jika misalnya PT. Freeport dibubarkan begitu saja, atau pemilikannya direbut dan dialihkan secara paksa.
Demikian pula, kita tidak bisa terus-menerus menekankan peran TNI-Polri, sebab, betapapun besar hormat dan penghargaan kita pada kedua institusi keamanan dan penegak hukum ini, pada dasarnya persoalan di Papua tidak lagi bisa didekati dengan pendekatan keamanan dan ketertiban semata.
Pada hemat saya, strategi terbaik dalam menyelesaikan persoalan di Papua sekarang ini adalah strategi kesejahteraan. Rebut hati rakyat Papua. Bangunlah Papua dengan sungguh-sungguh dan dengan cara yang benar. Dengan semua ini, saya yakin, masalah-masalah mendasar di Papua dapat diatasi dengan baik.
Hadirin yang saya muliakan
Saudara-saudara yang saya hormati
Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut elemen kebijakan dan fokus utama dari strategi kesejahteraan tersebut, saya ingin menceritakan sedikit pengalaman pribadi saya dalam membantu mengatasi masalah-masalah di Papua beberapa tahun lalu. Dari cerita ini kita dapat menangkap esensi permasalahan yang ada di Papua, dan gambaran awal cara mengatasinya.
Saat saya baru beberapa hari dilantik menjadi Menko Kesra pada akhir tahun 2006, kelaparan massal terjadi di Kabupaten Yahukimo, salah satu kabupaten yang sangat terisolasi dan tepat berada di tengah pegunungan Jayawijaya, kurang lebih 500 km di barat daya Jayapura.
Tidak ada jalan darat untuk mencapai daerah ini. Kita harus terbang dulu ke Wamena, kemudian naik pesawat kecil atau helikopter, melewati Lembah Baliem, untuk mencapai desa atau kota kecamatan di punggung gunung dengan ketinggian antara 2000 sampai 4000 meter di atas permukaan laut. Tidak ada bandara. Yang tersedia adalah airstrip yang dibangun seadanya oleh masyarakat, yang umumnya terletak di tepi tebing dan jurang yang sangat terjal.
Karena medan yang sangat ekstrem dan situasi yang sulit, sebagai Menko Kesra saya memerintahkan pembentukan Tim Pemerintah Pusat, yang terdiri dari berbagai departemen, dan dipimpin langsung oleh staf khusus saya, Sdr. Rizal Mallarangeng. Atas dukungan penuh Bapak Presiden RI, saya mengupayakan fasilitas penuh dengan dukungan dana yang cepat dan memadai.
Alhamdullillah, berkat kerja keras tim, dan kerja sama yang erat dengan pemerintah daerah, serta bantuan semua pihak, kelaparan massal di Yahukimo dengan cepat teratasi. Tetapi tim kami tidak berhenti hanya di situ, sebab masalah kelaparan adalah masalah yang terkait dengan banyak hal, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, komunikasi, prasarana transportasi, dan semacamnya.
Karena itu, selama hampir setahun, tim kami bekerja keras dan terpadu dalam melakukan berbagai hal. Ratusan radio komunikasi dengan solar power di pasang di desa dan kecamatan di pegunungan. Kemudian, selain memberikan bantuan bahan pangan, di masing-masing desa dan kota kecamatan ini ditempatkan dua orang penyuluh pertanian, lengkap dengan alat-alat pertanian yang dibutuhkan. Tim juga mendatangkan insinyur dari litbang beberapa departemen untuk membangun honai percontohan yang sederhana tetapi lebih sehat (honai tradisional kurang sehat sebab tidak ada jendela dan cerobong, sehingga asap dari kayu bakar menjadi penyebab utama dan hampir semua anak-anak di sana mengalami infeksi saluran pernapasan), serta dengan bantuan Zeni TNI, membangun beberapa ruas jalan desa dan kecamatan untuk membuka isolasi dengan kota terdekat, yaitu Wamena.
Selain itu juga dikirimkan guru dan tenaga pendidik, serta ratusan dokter muda dari seluruh tanah air yang secara bergiliran tinggal bersama masyarakat di sana, yang sebagian besar masih menggunakan koteka, paling kurang masing-masing selama dua bulan (di semua desa dan kota kecamatan ini, itulah pertama kalinya mereka bertemu dokter dan pengobatan modern, sehingga dokter-dokter muda tersebut banyak diangkat sebagai kepala suku, sebagai tanda terima kasih masyarakat setempat).
Walaupun kelihatannya sederhana kalau kita melakukannya di Jawa atau Sumatera, di pegunungan Papua ternyata semua itu jauh dari mudah. Tim kami harus menyewa lebih dari 10 pesawat dan helikopter (termasuk heli Kamov dari Rusia), dengan lebih dari 1500 sorti penerbangan selama hampir setahun, dan biaya penyewaan ini memakan lebih dari setengah anggaran untuk mengatasi kelaparan. Walaupun kedengarannya ironis, tetapi hal itu harus dilakukan sebab tidak ada jalan lain untuk mencapai daerah pegunungan yang terisolasi tersebut (kalau jalan kaki bisa berminggu-minggu baru sampai!)
Dalam mengawasi kerja tim kami, saya tidak hanya menunggu laporan di Jakarta. Berkali-kali saya mengunjungi Yahukimo, terbang melihat langsung desa-desa yang sulit di puncak gunung dan lembah yang terjal, seperti Pasema, Tangma, Kosarek, Haluwon, Nalca, terkadang pada saat cuaca sedang tidak bersahabat.
Saya memperoleh pengalaman yang sangat mendalam dari hubungan dan pertemuan langsung saya dengan masyarakat setempat. Saya juga cukup surprise bahwa selama saya berada di sana, di daerah rawan yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat kekuatan OPM (Organisasi Papua Merdeka), tidak satu pun masyarakat melakukan kekerasan atau memprotes kedatangan saya.
Bahkan pada akhir kegiatan tim kami, pada saat saya mengundang Bapak Presiden RI dan Ibu Negara ke Wamena dan ke Pasema di jantung Yahukimo, ribuan masyarakat justru terjun ke tepi jalan, anak-anak sekolah melambaikan bendera Merah Putih dengan suka cita, dan seluruh kegiatan Presiden RI berjalan dengan damai dan tertib. Bukannya protes, demo atau kerusuhan, masyarakat setempat justru sangat berterima kasih dan meminta agar Pemerintah Pusat melanjutkan berbagai kegiatan yang ada saat itu.
Karena itu, setelah Yahukimo, Tim Kemenko Kesra masih melanjutkan berbagai kegiatan di pegunungan Papua, terutama dalam mendorong pembangunan fasilitas umum dan perumahan rakyat, terutama di beberapa daerah kantong OPM, seperti Tolikara, Paniai dan Pegunungan Bintang. Dalam proses ini, saya senang bahwa cukup banyak aktifis OPM yang “turun gunung” dan menyerahkan senjata mereka langsung kepada saya.
Mungkin karena sentuhan seperti itu, tokoh-tokoh senior OPM yang berada di luar negeri, terutama di Belanda dan Papua Nugini, merasa perlu membuka pintu dan mengungkapkan hati mereka kepada saya. Alhamdullilah, menjelang akhir masa tugas sebagai Menko Kesra, beberapa tokoh senior pendiri OPM, seperti Bapak Nicholas Youwe (beliau yang membuat dan mengkonsepkan bendera Binta Kejora) memutuskan untuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Beliau meninggalkan Belanda setelah lebih 40 tahun di sana dan sekarang bermukim di Jayapura.
Saudara-saudara yang saya muliakan
Hadirin yang saya hormati
Saya mohon maaf jika saya meminta sedikit waktu saudara-saudara untuk mendengarkan cerita tadi. Tetapi dari itu semua kita mungkin dapat memetik beberapa pelajaran berharga. Yang terpenting di antaranya adalah bahwa jika kita berusaha sungguh-sungguh membangun daerah mereka, maka sebenarnya tidak terlalu sulit untuk merebut hati dan simpati rakyat Papua. Justru mereka menunggu penuh dahaga, siap mengulurkan tangan, seandainya kita bersama-sama mereka membangun daerah yang sulit tersebut dengan cara dan program yang memang riil dibutuhkan.
Pelajaran berikutnya yang juga sangat penting adalah bahwa dari semua persoalan pelik di Papua, persoalan terberat berada di pegunungan seperti di daerah Yahukimo. Ada 12 kabupaten lainnya di pegunungan Jayawijaya (Kabupaten Pegunungan Bintang, Tolikara, Puncak Jaya, Keerom, Nduga, dan sebagainya) yang mengalami persoalan yang kurang lebih sama: yaitu ketertinggalan yang ekstrem akibat isolasi yang juga ekstrem.
Harus kita ingat bahwa seluruh penduduk asli Papua yang berjumlah kurang lebih 1.7 juta penduduk, lebih dari 60% di antaranya berada di daerah pegunungan Jayawijaya yang terisolasi tersebut. Dari fakta ini bisa dikatakan bahwa sebenarnya persoalan Papua adalah persoalan di pegunungan. Kemiskinan dan ketertinggalan yang tragis terjadi terutama di sana.
Dan karena itu pula daerah-daerah itulah yang selama ini bertahan sebagai kantong-kantong OPM. Bahkan di Jayapura, hampir semua aktifis penggerak demo adalah mahasiswa dan pemuda “perantau” dari daerah pegunungan. Sekarang ini pun, berbagai peristiwa penembakan dan kerusuhan terjadi di sekitar daerah konsesi PT. Freeport dan di Kabupaten Puncak Jaya, yang merupakan wilayah pegunungan di sebelah barat Yahukimo.
Tentu saja, daerah-daerah lainnya juga harus diperhatikan. Tetapi sebenarnya, kota dan daerah di Papua yang terletak di garis pantai atau di tepi sungai besar (Jayapura, Merauke, Monokwari, Sorong, Fakfak, Kaimana, Bintuni dan semacamnya) saat ini sedang dan akan terus berkembang dengan cepat, tidak kalah, malah mungkin lebih cepat ketimbang kota-kota menengah lainnya di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Di daerah semacam ini memang masih ada beberapa persoalan, terutama menyangkut pembauran antara penduduk asli dan pendatang, tetapi semua itu tidak seunik Papua, sebab pada dasarnya hampir semua kota di Indonesia juga pernah atau sedang mengalami masalah yang sama.
Yang unik dan ekstrem, dan harus menjadi fokus utama kita adalah masalah di pegunungan yang telah saya sebut tadi. Mayoritas penduduk asli Papua di pegunungan mengalami sebuah persoalan yang oleh ahli sosial dan para ekonom disebut sebagai land-locked problem. Mereka terkunci dan “terperangkap” di gunung, tanpa akses yang mudah untuk keluar, berdagang dan melakukan pertukaran. Yang ada hanyalah pesawat terbang. Semua kebutuhan harus diangkut lewat udara, mulai dari bensin, solar, semen, aspal, besi, truk dan mobil, hingga telur dan bawang merah.
Akibatnya adalah peningkatan cost factor yang luar biasa tingginya. Satu sak semen di Puncak Jaya saat ini berharga Rp 1,5 juta, sementara di Jayapura Rp 70 ribu dan di Jakarta sekitar Rp 50 ribu. Artinya, saudara-saudara kita yang berada di daerah sulit tersebut, jika ingin membangun rumah, sekolah, atau mendatangkan guru dan dokter, harus menanggung biaya 10 hingga 20 kali lipat lebih mahal.
Dengan kondisi seperti itu, kalau kita tidak melakukan terobosan besar, tragedi ketertinggalan di daerah pegunungan Papua, di mana mayoritas penduduk asli Papua bermukim, akan terus terjadi. Tanpa terobosan ini, 50 tahun lagi nasib mereka tidak akan jauh berbeda.
Saat ini kita harus memilih prioritas (Papua luasnya 2.5 kali Pulau Jawa, sehingga tidak mungkin dibangun serentak, tetapi bertahap dan kontinu). Harus ada terobosan dalam membuka akses jalan raya, yang menghubungkan daerah pegunungan tersebut dengan daerah-daerah pantai. Dengan ini, isolasi yang ekstrem dapat dipecahkan, yang membuka pintu bagi pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Inilah esensi dari strategi pembangunan yang tepat dan terfokus.
Sebenarnya, sejak zaman Pak Harto persoalan tersebut sudah disadari. Selama 20 tahun dengan biaya triliunan, ruas jalan Jayapura ke Wamena sepanjang lebih 500 km telah dibangun, tetapi sampai Pak Harto lengser, jalan tersebut tidak kunjung selesai karena pemilihan ruas dan lokasi yang keliru (siapa yang mau melewati jalan 500 km yang sebagian besar di tengah hutan belantara tanpa penduduk, kampung, pompa bensin dan warung? Saat ini sebagian ruas jalan tersebut sudah menjadi semak dan belukar).
Dalam beberapa tahun terakhir ini ruas jalan alternatif yang lebih pendek dan masuk akal telah ditemukan, yaitu ruas Habema-Yuguru (140 km), yang menghubungkan daerah gunung di barat Wamena dengan sungai besar di Kabupaten Nduga. Jika hal ini segera kita lakukan, yang diiringi dengan program pembangunan kesejahteraan lainnya secara simpatik dan sungguh-sungguh (seperti yang cikal bakalnya telah dicoba di Yahukimo), saya yakin cerita dan nasib Papua akan jauh berbeda, malah mungkin akan menjadi pusat pertumbuhan di timur Indonesia.
Soal dana, mustinya tidak ada persoalan. Masalah Papua tidak pernah menyangkut masalah dana. Dari segi per kapita, anggaran pemerintah tertinggi selama bertahun-tahun sebenarnya bukan di Jawa atau Sumatera, tetapi justru di dua provinsi Papua. Selama otsus, lebih Rp 30 triliun dana telah digelontorkan, mendampingi anggaran rutin lainnya yang jumlahnya jauh lebih besar, mencapai lebih Rp 100 triliun dalam sepuluh tahun terakhir. Di kota dan di daerah pesisir pantai dan sungai besar, efeknya terlihat cukup nyata dan berakibat positif. Namun di daerah pegunungan, dana besar tersebut seolah menguap, tertiup angin gunung entah ke mana.
Masalahnya adalah pada metode dan strategi pembangunan, serta fokus dan kesungguhan kita untuk melakukannya.
Mudah-mudahan, kita dapat mengambil hikmah dari berbagai peristiwa menyedihkan yang terjadi akhir-akhir ini. Hati dan simpati kita berikan bagi saudara-saudara kita di Papua, termasuk para pendatang dari berbagai suku bangsa, tetapi lebih khusus lagi kepada mayoritas penduduk asli di daerah pegunungan yang memang masih sungguh tertinggal.
Semoga hari esok lebih baik bagi mereka semua.
Wabillahitaufiq walhidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
No comments yet.