Tentang Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi

Beberapa bulan lalu, Juru Bicara saya, Lalu Mara datang menemui saya, dan mengatakan ingin menerbitkan kembali atau relaunching buku saya. Buku yang ingin direlaunching itu berjudul “Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie”. Buku yang disusun oleh Lalu Mara dari tulisan-tulisan saya ini, pertama terbit pada tahun 2004, dan lebih dekenal dengan judul “Merebut Hati Rakyat”.

Atas usulan Mara itu saya katakan; “buku ini kan diterbitkan tahun 2004, sementara sekarang sudah 2011. Apa masih relevan tulisan saya, apa sudah tidak kadaluarsa?”. Apalagi, buku ini berisi pemikiran saya sejak tahun 1994 sampai 2004, kebanyakan ketika saya masih menjabat Ketua Umum KADIN. Namun Mara meyakinkan bahwa pemikiran saya di buku itu masih relevan sampai saat ini.

Saya pun terpaksa membaca kembali buku itu dan memang masih relevan, dan akhirnya saya setuju untuk direlaunching. Akhirnya acara relaunching itu dilaksanakan pada 18 Agustus kemarin, di Garasi 66 Perdikan, Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan. Acaranya sendiri diatur oleh Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma), dan dihadiri oleh para politisi, dosen, mahasiswa, wartawan, dan undangan lainnya.

Sebelumnya, saya ingin menjelaskan mengenai judul bukunya. Judul “Merebut Hati Rakyat” banyak dicurigai dibuat karena saya mau jadi presiden. Ini jelas salah, relaunching buku ini tidak ada kaitannya dengan hal itu. Judul itu sudah ada sejak diluncurkan pertama kali tahun 2004. Pada saat itu, jangankan menjadi calon presiden (capres), menjadi ketua umum Partai Golkar seperti sekarang saja tidak terpikirkan.

Saat itu, hanya satu orang yang memprediksi saya suatu saat akan menjadi ketua umum Partai Golkar, dia adalah Indra J Piliang. Indra yang saat itu masih menjadi pengamat politik, menulis hal itu dalam pengantar di buku saya itu. Ternyata prediksinya benar. Mungkin Indra, yang sekarang jadi kader Partai Golkar, punya kemampuan melihat masa depan.

Buku saya tersebut isinya berbagai macam topik mulai soal globalisasi, industri, teknologi, otonomi daerah, politik, dan lain sebagainya. Namun sebenarnya intisari atau garis besarnya adalah tiga hal yaitu nasionalisme, demokrasi, dan pembangunan ekonomi. Tiga hal itu juga yang saya paparkan kepada para hadirin yang mayoritas mahasiswa dan anak muda saat acara relaunching.

Soal nasionalisme, sering kita melihat bahwa bangsa Indonesia ini kelihatan dikecilkan oleh berbagai bangsa di luar negeri. Bermacam-macam penyebabnya, misalnya karena kita banyak mengirim tenaga-tenaga tidak terdidik ke luar negeri. Bahkan kalau di Malaysia kita dipanggil sebagai Indon. Jadi bukan lagi Indonesia tetapi Indon yang konotasinya orang atau bangsa dengan pengetahuan yang rendah dan bukan bangsa yang besar.

Selain itu, juga karena banyak orang Indonesia yang menjelekkan negeri sendiri di luar negeri. Sejak 1994 sampai 2004 masih saya dengar banyak orang Indonesia sendiri yang meramalkan atau menyatakan bahwa Indonesia akan pecah seperti negara-negara Balkan. Ramalan ini muncul karena dinilai tidak ada lagi rasa nasionalisme di kalangan generasi muda, juga karena ekonomi yang carut-marut.

Namun ternyata itu semua tidak benar dan kita bisa bangkit. Kita tidak pecah dan kita melihat bangsa Indonesia yang satu dari sabang sampai merauke. Nasionalisme harus terus dipupuk karena ini modal utama kita sebagai bangsa. Dalam menghadapi globalisasi, nasionalisme juga dibutuhkan. Kita tidak mungkin tidak ikut dalam globalisasi. Globalisasi tak bisa dihindari, tapi kita harus pandai memperkuat pilar-pilar ekonomi kita sesuai kepentingan kita.

Misalnya dalam pejanjian ekonomi dengan negara lain, jangan sampai itu merugikan kepentingan nasional kita. Jangan sampai perjanjian itu menyebabkan deindustrialisasi karena banyaknya barang dari luar negeri masuk ke Indonesia dengan bea masuk nol persen. Juga masuknya pakaian bekas dan hal-hal lain yang merugikan industri dalam negeri. Sakitnya adalah bahwa barang murah dari luar ini masuk, tanpa mereka perlu membuat lapangan pekerjaan buat rakyat Indonesia. Artinya kita membayar lapangan pekerjaan di luar negeri.

Seharusnya impor hanya untuk industri atau produk-produk yang secara natural memang tidak bisa bersaing. Ini semua terkait dengan nasionalisme. Nasionalisme ini perlu selalu kita kedepankan dalam segala hal termasuk perjanjian ekonomi.

Soal demokrasi, saya jelaskan bahwa masalah demokrasi ini kita mengalami kemajuan. Di masa lalu, di zaman Orde Baru, kita tidak punya kebebasan berserikat, kita tidak punya kebebasan bercakap, kita tidak punya kebebasan menyampaikan pikiran kita. Meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi ada ketidakpuasan karena tidak ada kemampuan kita menyampaikan pendapat secara bebas.

Kita sebagai manusia tidak hanya berbicara mengenai perut. Selain berbicara soal sandang, pangan, papan, kita bicara kesehatan dan pendidikan. Setelah itu, kita perlu bisa menyampaikan pendapat tanpa terganggu orang lain. Nah, ini ada dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang hakiki, selain kita punya hak orang lain juga punya hak. Sementara kita justru sering lupa orang lain juga punya hak, kita sering lupa bahwa hak dan tanggungjawab adalah hal yang harusnya selaras.

Terakhir masalah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tujuannya untuk dapat mensejahterakan kehidupan rakyat. Kesejahteraan rakyat ini penting, rakyat tidak akan bangga menjadi bagian bangsa kalau perutnya kosong. Bahkan dalam agama Islam disebutkan bahwa orang yang fakir bisa berpotensi menjadi kafir. Kebanggaan tidak akan ada tanpa kesejahteraan dan kesejahteraan tidak akan ada tanpa pembangunan ekonomi.

Untuk lebih langkapnya mengenai bahasan ketiga hal tersebut bisa membaca di buku saya dengan banyak topik. Mudah mudahan buku ini bisa jadi sumbangan pemikiran bagi negeri tercinta ini. Semoga buku saya itu juga bisa menjadi tambahan ilmu, khususnya bagi para mahasiswa dan generasi muda. Karena di tangan merekalah terletak masa depan bangsa.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.