Kita Punya Modal Besar untuk Jadi Bangsa Maju

Pasti bukan sebuah mimpi yang terlalu muluk, jika Indonesia menargetkan untuk menjadi negara yang berkesejahteraan (welfare state). Modal ekonomi dan modal sosial yang kita miliki sangatlah memadai untuk menggapai tujuan tersebut.

Pergulatan yang saya jalani baik sebagai pengusaha maupun pejabat negara semakin mengukuhkan keyakinan untuk mencapai tujuan tersebut. Yang diperlukan adalah menjelaskan langkah-langkah menuju negara kesejahteraan tersebut, agar seluruh warga memahami apa yang hendak kita tempuh.

Saya merupakan orang yang memahami prinsip bahwa peran dan pemerintah sangat diperlukan. Negara dan pemerintah harus hadir untuk menuntun bangsa ini untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Memang ada juga pemahaman yang mengatakan “a good government is a least government”. Negara tidak perlu hadir secara dominan dan membiarkan masyarakat mengatur dirinya sendiri. Biarkanlah “trickle-down effect” yang membagi kesejahteraan di antara rakyat.

Namun kita sudah berpengalaman bahwa konsep itu tidak pernah bisa berjalan seperti yang kita idealkan. Penetesan ekonomi ke bawah untuk membagi kesejahteraan tidak pernah akan terjadi dengan sendirinya. Ketika ekonomi pasar yang dibiarkan berjalan, maka yang terjadi adalah semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin.

Kita justru kemudian harus membayar mahal akibat lebarnya kesenjangan yang terjadi. Krisis multidimensi yang kita alami pada tahun 1998, salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat kecemburuan sosial karena tidak berjalannya penetesan ekonomi ke bawah.

Kalau kita melihat pengalaman negara yang lebih maju seperti Amerika Serikat, trickle down effect ternyata tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Sistem ekonomi Amerika Serikat yang liberal dan kapitalistik ternyata tidak bisa menjamin adanya penetesan ekonomi yang bisa memeratakan kemakmuran kepada seluruh rakyat.

Tidak usah heran apabila Presiden AS Barack Obama mati-matian untuk memperjuangkan sistem jaminan sosial dan asuransi kesehatan bagi rakyat Amerika. Ternyata dengan sistem liberal yang mereka terapkan selama ini, masih banyak juga rakyat Amerika yang hidup dalam keterbatasan. Mereka tidak berdaya menghadapi sistem ekonomi pasar, apabila negara tidak hadir untuk membantu rakyat yang tertinggal.

Masih 30 Juta

Tantangan yang kita hadapi sekarang ini bukanlah persoalan menjaga stabilitas makroekonomi. Dengan rasio antara utang dan produk domestic bruto yang sekarang ini sekitar 27 persen, keadaan ekonomi kita boleh dikatakan sehat sekali. Bahkan saya merasa yakin bahwa kita sekarang ini tidak perlu takut berutang, sepanjang itu ditujukan untuk kepentingan pembangunan bagi seluruh rakyat.

Kita harus melihat bahwa masih ada sekitar 30 juta warga bangsa ini yang hidup dalam kemiskinan. Mereka memiliki keterbatasan untuk bisa mengakses pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berusaha.

Angka 30 juta orang miskin tentunya angka yang tidak kecil. Mereka harus bisa kita angkat agar memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik. Kita tidak akan pernah menjadi negara berkesejahteraan, apabila tidak mampu mengangkat kehidupan mereka yang kekurangan itu.

Di sinilah peran negara dan pemerintah, menurut saya, wajib adanya. Bahkan ibaratnya, negara tidak perlu memikirkan kelompok yang sudah mapan, karena mereka tahu caranya untuk meningkatkan kehidupan. Negara harus berkonsentrasi untuk memikirkan kelompok masyarakat yang hidupnya tertinggal.

Pengentasan kelompok masyarakat miskin tidak harus selalu dengan cara memberikan bantuan langsung tunai. Negara dan pemerintah bisa memberikan sesuatu yang bisa membuat kelompok itu mengembangkan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Salah satu contohnya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dengan memberikan kail kepada masyarakat, mereka mampu berkembang menjadi kelompok yang hidup secara mandiri.

Pemerintah cukup member jalan kepada kelompok masyarakat untuk bisa mendapatkan akses kepada permodalan. Selanjutnya, masyarakat kita cukup kreatif dan inovatif untuk bisa mengembangkan usahanya dan tumbuh sebagai pribadi yang lebih mandiri.

Apalagi jika pemerintah membantu membangun infrastruktur di pedesaan. Dengan tersedianya akses jalan yang lebih baik, maka peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha akan semakin terbuka kerena mereka lebih mudah masuk ke dalam pasar.

Dengan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat, maka secara otomatis kita akan bisa mengurangi angka kemiskinan. Bahkan lebih dari itu, dengan memberikan pekerjaan, kita menjadikan mereka manusia yang sesungguhnya. Pada dasarnya setiap manusia akan merasa menjadi sangat berarti apabila mempunyai pekerjaan. Itulah mengapa manusia pada dasarnya dikatakan homo faber, manusia yang bekerja.

Kalau kita lihat apa yang diraih Cina dan India sekarang ini, kunci keberhasilan mereka terletak kepada pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah. Mereka bukan hanya membangun infrastruktur jalan, tetapi juga membangun pelabuhan, Bandar udara, telekomunikasi, perumahan, dan energi.

Jangan lupa pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan juga menyerap tenaga kerja yang luar biasa besarnya. Kita masih ingat bagaimana ketika Amerika Serikat dilanda depresi berat pada tahun 1930, maka salah satu pemecahannya adalah dengan membangun jalan trans-Amerika. Dengan pembangunan infrastruktur yang besar-besaran, rakyat Amerika mendapat pekerjaan.

Bahkan dengan pembangunan perumahan, penyerapan tenaga kerja akan berjalan secara terus-menerus. Sebab, setiap pembangunan satu rumah pasti dibutuhkan tukang batunya, tukang kayunya, tukang plester temboknya, tukang instalasi listriknya, tukang sistem drainasenya. Permintaan akan perumahan tidak akan pernah ada habisnya, karena setiap manusia di samping membutuhkan sandang pangan, juga membutuhkan papan – rumah untuk bernaung.

Dengan infrastruktur yang lebih baik, arus pergerakan barang akan menjadi semakin lancar. Pergerakan barang akan mempercepat perputaran ekonomi. Dengan ekonomi yang bergerak semakin cepat, maka kesempatan bagi masyarakat untuk memperbaiki kehidupan mereka akan lebih tinggi.

Kesadaran akan perlunya peningkatan penyediaan infrastruktur sudah muncul sejak tahun tahun 2004. Penyelenggaraan Infrastructure Summit pada bulan Januari 2005 merupakan ekspresi kesadaran untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia sebagai salah satu cara mempercepat pembangunan menuju tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.

Kita harus mengakui bahwa tindak lanjut dari Infrastructure Summit – yang bahkan sudah dua kali diselenggarakan – berjalan lambat. Peraturan pendukung untuk pelaksanaan di lapangan tidak kunjung tuntas, sehingga menghambat rencana pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan.

Memang banyak juga suara-suara yang tidak sepenuhnya mendukung percepatan pembangunan infrastruktur. Seringkali kita dihadapkan pada pilihan antara kepentingan umum dengan hak individu. Rupanya kenyataan seperti itu tidak hanya dihadapi oleh Indonesia. Bahkan Cina yang sentralistis pun menghadapi persoalan yang sama.

Dari pengalaman banyak negara, tidaklah mungkin kebijakan itu bisa menyenangkan semua orang. Tetapi pada akhirnya keputusan harus diambil karena kita sebagai bangsa harus bergerak maju. Itulah yang sering dikatakan bahwa pada akhirnya pemimpin itu dihadapkan kepada pilihan bukan antara baik dan buruk, good or bad, melainkan antara yang buruk atau kurang buruk, evil or less evil.

Saya berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur merupakan sesuatu yang harus kita lakukan. Berbagai pembangunan yang hendak kita lakukan, akhirnya terkendala oleh keterbatasan infrastruktur. Kalau kita tidak segera memecahkan persoalan itu maka kita akan terhambat untuk menyejahterakan kehidupan rakyat.

Sehatkan APBN

Sering kita mendengar, bagaimana caranya mendorong pembangunan infrastruktur itu sendiri? Dengan kemampuan anggaran pemerintah yang sangat terbatas, dari mana dana pembangunan infrastruktur akan diperoleh?

Tentunya memang pertama-tama pemerintahlah yang harus menyediakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur itu. Kita harus memperbesar anggaran pembangunan agar ada kemampuan lebih dari pemerintah untuk membangun kebutuhan infrastruktur itu.

Salah satu yang bisa kita lakukan adalah menggeser alokasi anggaran yang ada. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus dikurangi bebannya untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif. Seperti subsidi untuk bahan bakar minyak yang sangat membebani. Anggaran yang harus disediakan negara untuk subsidi BBM dan listrik bisa mencapai Rp20 triliun setiap tahunnya.

Kita tidak usah takut untuk menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia cenderung terus melambung. Masyarakat pun akan memahami, apalagi ketika penghematan anggaran dikembalikan untuk kepentingan rakyat di bidang yang lain. Masyarakat akan menerima apabila pemerintah lalu mampu menyediakan infrastruktur yang lebih baik.

Pengalaman tahun 2005 ketika kita menaikkan harga BBM rata-rata dengan 110 persen, akhirnya bisa diterima oleh masyarakat. Masalahnya bagaimana menjelaskan bahwa kebijakan itu bukan dimaksudkan untuk membebani masyarakat, tetapi justru untuk meraih masa depan yang lebih baik untuk seluruh bangsa.

Kalau kita lihat pengguna BBM, hanya sekitar 27 persen hingga 28 persen yang berasal dari kelompok masyarakat miskin. Selebihnya pengguna BBM itu adalah kelompok menengah ke atas yang memiliki kemampuan untuk membeli BBM dengan harga yang lebih tinggi.

Apabila penghematan untuk BBm itu kemudian dialihkan kepada kelompok masyarakat miskin, maka tidak ada seorangpun yang akan keberatan. Kita berikan fasilitas pendidikan kepada mereka, kita berikan asuransi kesehatan yang lebih baik, kita berikan subsidi pupuk untuk petani, kita berikan biaya permodalan, maka arah pembangunan negara ini akan berjalan lebih sehat.

Selain dana yang berasal dari APBN, pemerintah bisa mengajak dunia usaha untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Apabila ada jaminan bahwa modal yang ditanamkan akan bisa kembali, swasta pasti akan tertarik untuk ikut serta di dalam oembangunan infrastruktur.

Contoh yang paling nyata untuk itu adalah di bidang telekomunikasi. Tidak ada lagi anggaran negera yang perlu disediakan untuk pembangunan telekomunikasi. Sepenuhnya swasta yang menyediakan modal bagi pembangunan infrastruktur di bidang telekomunikasi. Mengapa itu bisa terjadi? Karena swasta diizinkan untuk mengatur sendiri sesuai dengan regulasi yang digariskan pemerintah.

Bahkan sekarang konsumen pun ikut diuntungkan oleh kehadiran swasta dalam bisnis telekomunikasi. Tarif yang dibebankan kepada konsumen justru semakin murah, karena ada persaingan dan semua operator berusaha untuk lebih efisien serta menemukan teknologi yang lebih maju dan kompetitif.

Bayangkan apabila hal itu hanya diterapkan pada bidang kelistrikan. Apabila pendistribusian listrik tidak hanya dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara, tetapi pihak swasta diizinkan untuk menjual listrik secara langsung kepada masyarakat, maka pasti harganya akan semakin kompetitif. Nagara pun tidak harus ikut terbebani untuk menyediakan anggaran untuk kepentingan subsidi listrik.

UU Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 sebenarnya sudah menetapkan bahwa usaha penyediaan listrik bukan hanya bisa dilakukan oleh badan usaha milik negara, tetapi juga dimungkinkan dilakukan oleh badan usaha milik daerah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat. Usaha penyediaan listrik yang dimaksud mencakup pembangkit tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, dan/atau penjualan tenaga listrik.

Sekarang ini yang dibutuhkan tinggal peraturan pelaksanaan dari UU Ketenagalistrikan tersebut. Apabila pemerintah lebih cepat menyelesaikan peraturan pelaksanaannya, maka bukan hanya elektrifikasi di masyarakat yang akan lebih baik lagi, tetapi pasti harganya akan bisa jauh lebih kompetitif. Konsumen tidak akan dirugikan karena penetapan tariff tertingginya tetap berada di tangan pemerintah dan pengelola usaha penyediaan listrik tidak bisa menjual listriknya lebih mahal dari patokan yang ditetapkan pemerintah.

Pasar Domestik

Semua langkah yang kita lakukan itu pada akhirnya tertuju pada upaya peningkatan kehidupan masyarakat. Saya percaya bahwa kemampuan kita untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat akan tercapai apabila kita bisa menggerakkan semua potensi yang ada. Apalagi jika kita mampu mengintegrasikan pasar domestic sebagai sebuah kekuatan.

Negara-negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Cina bukan hanya menopangkan dirinya kepada pasar internasional. Justru pasar domestik merekalah yang pertama-tama menjadi penyangga utama dari kemajuan yang mereka raih sekarang ini.

Jepang misalnya, hanya 45 persen produk mereka yang diekspor ke luar negeri. Sebanyak 55 persen dari produk mereka justru diserap oleh pasar dalam negeri. Masyarakat Jepang sendirilah yang menjadi penyangga utama dari industry mereka.

Hal yang sama berlaku pada Korea Selatan. Meski baru belakangan membangun industrinya, mereka mampu bersaing dengan industry-industri dari negara lain yang lebih dulu ada. Bahkan perusahaan seperti Samsung sekarang ini bisa mengukuhkan dirinya sebagai perusahaan elektronika terbesar di dunia.

Semua itu bisa terjadi karena masyarakat Korea berada di belakang industry bangsa. Ketika masyarakat di dunia belum mempercayai kualitas produk Korea, masyarakat Korea secara fanatik menggunakan produk bangsanya sendiri. Itulah yang menjadi modal utama bagi industry Korea untuk terus mengembangkan dirinya dan percaya bahwa kualitas produk mereka tidak kalah dari produk bangsa-bangsa lain.

Kita harus menjadi seperti itu. Kita harus mengintegrasikan pasar domestik menjadi sebuah kekuatan. Kita harus mendidik masyarakat untuk mencintai produk bangsa sendiri, karena itu merupakan modal bagi seluruh bangsa untuk bisa menjadi pemenang di era globalisasi.

Jangan biarkan pasar dalam negeri yang kuat ini hanya menjadi pasar bangi produk bangsa lain. Sebagai kekuatan ekonomi nomor 17 terbesar di dunia, kita harus sadar bahwa pasar dalam negeri ini merupakan pasar yang potensial untuk bisa membawa seluruh rakyat menuju ke kesejahteraan.

Lagi-lagi ketersediaan infrastruktur menjadi sesuatu yang penting. Sebagai sebuah negara kepulauan yang luas, kita harus bisa menghubungkan satu pulau dengan pulau yang lain. Apabila kita tidak mampu membangun jembatan yang bisa menghubungkan pulau-pulau itu, maka ketersediaan angkutan laut yang memadahi haruslah menjadi alternatif.

Tidaklah mungkin kita bisa mengintegrasikan pasar domestik apabila ongkos angkut barang dari Gorontalo ke Jakarta jauh lebih mahal daripada Argentina ke Jakarta. Semua itu terjadi karena kita selama ini selalu hanya memikirkan pasar ekspor, tetapi kita lupa untuk memperkuat pasar domestik.

Apabila kita berhasil membangun pasar domestik yang kuat dan efisien, maka dengan mudah kita akan bisa memenangi pasar internasional. Bahkan kita akan bisa terus memberi nilai tambah yang tinggi dari berbagai komoditas yang kita miliki, karena bahan baku mudah untuk dipindahkan dari daerah produk ke daerah pengolahan.

Bangkit Bersama

Apabila sekarang saya gencar mengkampanyekan program “bangkit bersama”, karena saya melihat bahwa bangsa ini memiliki modal yang besar untuk maju. Apabila kita bisa sentuh dan mengasah jiwa kewirausahaan yang ada di masyarakat, maka mereka akan menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang luar biasa.

Pengalaman saya sebagai ketua umum Kadin member pemahaman bahwa potensi ekonomi di daerah sangatlah luar biasa. Hanya saja selama ini mereka tidak tersentuh dan tidak diberi kesempatan untuk bisa mengoptimalkan kemampuan yang mereka miliki.

Ketika menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, saya semakin yakin bahwa potensi itu mudah untuk bisa dioptimalkan. Program PNPM Mandiri yang dikembangkan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla merupakan bukti nyata bahwa masyarakat kita tidaklah sulit untuk dibawa ke arah kemajuan.

Dengan program “Bangkit Bersama”, saya ingin melengkapi program yang sudah dijalankan pemerintah. Dengan memberikan modal bergulir Rp1 juta kepada setiap kelompok di desa, maka diharapkan mereka akan menjadi pengusaha yang mandiri.

Tentunya ada yang bertanya, apa yang bisa dilakukan dengan uang Rp1 juta? Apabila turun ke bawah dan merasakan hidup di tengah masyarakat, kita akan merasakan betapa berharganya uang Rp1 juta tersebut. Bagi masyarakat di pelosok-pelosok, uang Rp1 juta merupakan dana yang besar dan sangat bermanfaat. Dengan uang Rp250.000, mereka bisa memulai bisnis yang bisa menghidupi mereka.

Ada sebuah keluarga di sekitar Tangerang, Banten, yang memiliki dua orang anak. Sang suami bekerja sebagai tukang ojek. Dari hasil bekerja setiap harinya, sang suami hanya bisa memberikan uang untuk hidup istri dan dua anaknya Rp2000.

Oleh sang istri uang itu dibelikan beras dan sedikit garam. Sang istri di halaman rumah yang sepetak kemudian menanam pohon cabe. Setiap hari, ia member makan ana dari uang yang diberikan suaminya sekali dalam sehari dengan cabe dan garam.

Ketika sang istri yang mempunyai ketrampilan membuat kue diberi modal Rp250.000, maka dia bisa berjualan di sekitar tempat tinggalnya. Ternyata dengan niat yang baik dan semangat pantang menyerah, sang istri bisa mencicil pinjaman Rp250.000 dan mendapatkan untung Rp7000 setiap harinya. Dengan keuntungan itu istri bisa mengatakan kepada sang suami untuk tidak perlu lagi memberikan uang harian yang Rp2000 karena sekarang dari hasil penjualan kuenya ia bisa member makan anaknya tiga kali sehari, meski masih dengan garam dan cabe saja.

Ilustrasi itu ingin saya pakai untuk menunjukkan bahwa di tengah masyarakat kita ada semangat yang luar biasa. Persoalan yang mereka hadapi hanyalah tidak ada akses kepada modal. Apabila mereka mendapatkan akses itu maka mereka akan menjadi pribadi yang mandiri.

Apalagi jika pemerintah kemudian mampu mmberikan jaminan pendidikan dan asuransi kesehatan kepada anak-anak mereka. Keinginan untuk membangun semua welfare state bukanlah mimpi yang muluk. Apabila ada kemauan dari kita semua dan terutama keberpihakan kepada mereka yang tertinggal, amaka akan lebih cepat lagi negara yang berkesejahteraan itu akan bisa kita capai.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.