Menghidupkan Kembali Garis-garis Besar Haluan Negara
Seperti biasanya, jika akhir tahun selalu banyak diskusi atau dialog akhir tahun yang temanya merefleksikan kondisi bangsa. Seperti hari Kamis, 13 Desember 2012 lalu, saya diundang menghadiri Dialog Kebangsaan Akhir Tahun 2012 yang diprakarsai oleh Perkumpulan Aliansi Kebangsaan.
Selain saya, hadir juga beberapa tokoh nasional lainnya seperti mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, sesepuh TNI Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, dan lain lain. Semua menyampaikan materi sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing yang semuanya merefleksikan kondisi bangsa dan mengusulkan solusi pemecahannya.
Saya sendiri dalam acara itu, menyampaikan dua hal yang menjadi keprihatinan saya dan Partai Golkar. Saya yakin dua hal ini juga keprihatinan semua orang, karena dua hal ini menjadi faktor penyebab utama dari berbagai masalah nasional kita dalam satu dasawarsa terakhir ini.
Dua hal tersebut adalah : pertama, banyaknya undang-undang yang (UU) kita buat dalam tahun-tahun belakangan ini, yang sepertinya hampir tak ada kaitannya dengan cita negara, cita hukum, serta tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Kedua, tidak adanya lagi Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN, yang kemudian membuat kegiatan pembangunan nasional kita berlangsung bagaikan tanpa arah.
Soal undang-undang, kita melihat akhir-akhir ini banyak UU yang diuji-materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini merupakan indikasi kuat bahwa UU yang ada masih memiliki berbagai kelemahan, terutama bila dilihat dari aspek alasan pembenar untuk keabsahan suatu rancangan UU, yaitu keabsahan filsafati, keabsahan sosiologis, dan keabsahan yuridis.
Kelemahan dalam aspek keabsahan filsafati merupakan kelemahan yang fatal, karena kelemahan itu menunjukkan kurangnya keterkaitan antara materi muatan rancangan UU dengan cita negara, cita hukum, dan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 45. Aspek keabsahan filsafati ini penting, ini beda dengan kelemahan dalam aspek keabsahan sosiologis dan yuridis, yang walaupun merupakan suatu kekurangan, namun masih bisa ditangani dengan berbagai upaya lainnya dari kita semua.
Apa pesan mendasar dari itu semua? Pesan mendasarnya jelas: agar kita kembali ke jatidiri kebangsaan kita, melalui sinkronisasi seluruh UU yang memiliki roh ideologi negara dan falsafah bangsa kita: Pancasila. Mensinkronkan UU dengan Pancasila sangat penting.
Apalagi Pancasila adalah sebagai ideologi yeng terbuka. Pancasila bukan ideologi negara yang statis, yang hanya dapat ditafsirkan oleh sekelompok elite penentu dalam kekuasaan. Sebaliknya Pancasila merupakan ideologi negara yang bersifat dinamis yang penafsirannya tidak dapat lagi sekedar dimonopoli oleh negara atau entitas politik yang berkuasa.
Hal tersebut tentunya harus menjadi perhatian seluruh elemen bangsa. Khususnya para pembuat UU baik dari eksekutif maupun legislatif. Ini penting karena UU ini adalah aturan yang akan mengatur kehidupan kita.
Mengenai masalah tidak adanya lagi GBHN, kita merasakan hal itu sangat berdampak dalam kehidupan kebangsaan kita. Tanpa GBHN telah menyebabkan hampir tidak adanya koherensi dan konsistensi dalam kebijakan nasional baik dalam jangka panjang, jangka menegah, maupun jangka pendek. Juga menyebabkan demikian banyak UU dan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagaikan produk legislatif yang terlepas satu sama lain dan tanpa arah yang jelas. Tak jarang, hal demikian juga menyebabkan penghamburan sumber daya nasional yang bersifat terbatas.
Oleh karena itulah, Partai Golkar menginginkan dihidupkannya GBHN sebagai dokumen konstitusional yang menindaklanjuti asas-asas yang terkandung dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Sudah barang tentu, dihidupkannya kembali GBHN tersebut memerlukan amandemen terhadap UUD 45, yang akan memakan waktu lama dan persiapan yang intensif.
Meski demikian, saya mengharapkan agar wacana ini dipikirkan secara sungguh-sungguh dan terus kita diskusikan untuk merumuskan format ideal kehidupan kebangsaan kita. Mewacanakan sesuatu yang bagus kenapa tidak? Nantinya kita bedah positif dan negatifnya, atau kita sempurnakan.
Partai Golkar sendiri telah menyusun semacam GBHN, yang sebuah dokumen komprehensif yang merupakan blueprint tentang pembangunan Nasional yang akan diperjuangkan oleh Partai Golkar. Blueprint pembangunan nasional tersebut, memuat visi pembangunan Indonesia yang menjangkau tahun 2045, yaitu 100 tahun kemerdekaan Indonesia, atau kurun satu abad Negara Kesatuan Republik lndonesia (NKRI), 33 tahun lagi sejak saat ini.
Diskusi seperti Dialog Kebangsaan dan sebagainya, saya rasa sangat relevan dalam upaya untuk menjawab berbagai permasalahan bangsa yang bersifat mendasar dan yang bersifat mendesak di masa kini dan ke depan, termasuk dua permasalahan yang saya utarakan di atas. Karena sekali lagi dua hal tersebut penting, karena menyangkut kehidupan berbangsa kita dan arah bangsa ini ke depan
No comments yet.