Tentang “Anak Sejuta Bintang”
Sabtu malam minggu, 28 Januari 2012, saya datang ke sebuah acara istimewa. Acara yang digelar di Museum Nasional atau Museum Gajah itu adalah acara peluncuran novel yang berjudul “Anak Sejuta Bintang”. Kebetulan novel ini menceritakan tentang masa kecil saya dan teman-teman TK serta SD/SR saya.
Novel ini ditulis oleh novelis yang juga mantan wartawan, Akmal Nasery Basral. Sudah banyak novel yang sudah ditulis Akmal, antara lain “Imperia”, “Sang Pencerah”, “Naga Bonar Jadi 2”, “Sang Pencerah”, dan “Presiden Prawiranegara”.
Saya senang sekali datang ke acara itu karena teman-teman saya di TK/SD Perwari hadir. Sebagian besar mereka adalah tokoh dalam novel itu. Hadir juga sahabat-sahabat saya lainnya.
Dalam tulisan saya ini, saya tidak akan membahas isi novel tersebut. Bagi yang tertarik, silakan membaca sendiri. Namun, secara garis besar novel itu selain menceritakan masa kacil saya dan teman-teman saya, juga menceritakan mengenai pendidikan anak-anak di masa lalu.
Bisa dibilang, novel ini dasarnya adalah pendidikan anak-anak, yang insya Allah, pendidikan waktu itu bisa jadi contoh pendidikan anak-anak sekarang. Misalnya: bagaimana menghargai orang tua, bagaimana berdisiplin dengan waktu, spirit mengejar cita-cita, dan sebagainya. Selain itu, ada juga sisi yang menonjol yaitu mengenai kesetiakawanan. Apalagi, tampaknya soal kesetiakawanan sudah makin memudar saat ini.
Novel ini dibuat atas inisiatif Tim Jatinegara-nya Isye, Bobby Gafur, Catherine, dan lain-lain, bersama Tim Ekspose dari Mizan, dan Akmal. Mereka berencana membuat buku tentang saya dengan gaya novel. Saya setuju saja, apalagi Akmal ini juga pernah membuat novel serupa yaitu “Presiden Prawiranegara”, dan akan membuat novel serupa tentang ulama Buya Hamka. Saya lebih suka gaya novel dibandingkan gaya autobiografi yang terlalu menonjolkan “saya”.
Lalu Akmal mewawancarai saya dan teman-teman, serta keluarga saya. Saya sendiri ketika diwawancarai Akmal setahun lalu, terus terang saja jika banyak yang saya memang lupa peristiwanyakarena sudah puluhan tahun berlalu. Namun, rupanya Akmal juga mewawancarai banyak teman-teman saya di TK dan SD atau SR Perwari di mana saya dulu bersekolah dan bermain bersama mereka.
Dari hasil wawancara Akmal dengan teman-teman saya dan saya sendiri, serta keluarga saya, inilah yang kemudian dirangkai dan diramu menjadi novel itu. Saya tidak mencampuri penulisannya. Saya hanya menceritakan peristiwa yang saya ingat saja.
Seperti halnya pada penulis sebelumnya yang pernah mewawancarai dan menulis tentang saya, saya memberi kebebasan pada Akmal untuk menulis apa pun dari cerita saya. Termasuk cerita “cinta monyet” saya dengan Wiwik. Banyak teman saya, kata Akmal, yang tidak setuju kisah itu ditulis, apalagi kemudian Wiwik menolak saya dan bilang, “Nggak mau ah, kamu kayak monyet Lampung”. Tapi bagi saya itu tidak masalah ditulis, karena memang kejadiannya begitu. Bagi yang penasaran bagaimana cerita saya dan Wiwik, silakan baca novelnya.
Selain soal kenangan saat sekolah, kepada Akmal saya juga menceritakan bagaimana ayah saya mendidik saya. Belakangan saat di acara peluncuran novel, Akmal mengaku bahwa cerita saya tentang bagaimana ayah saya, Achmad Bakrie, selalu membangunkan saya untuk sholat subuh meski saya masih kecil, menginspirasinya. Kini, Akmal mengaku mengikuti hal itu untuk dia terapkan kepada anak-anaknya.
Mendengar pengakuan Akmal ini, saya senang dan saya berharap nanti banyak yang terinspirasi oleh novel ini, khususnya anak-anak dan para orang tua yang mendidik anak-anak mereka.
Ternyata, novel “Anak Sejuta Bintang” ini jadi ramai diperbincangkan. Banyak juga yang tidak suka dan menyerang novel ini, saya, dan Akmal sebagai penulisnya. Ada yang bilang ini novel pencitraan yang sengaja saya buat untuk 2014, dan lain sebagainya. Ada juga yang bilang saya bahkan awalnya mau membayar novelis terkemuka dengan nilai miliaran. Ini kabar tidak benar.
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, novel ini bukan inisiatif saya. Bukan saya yang minta dibuatkan. Menurut para penggagasnya, novel ini awalnya dimaksudkan sebagai hadiah ulang tahun ke-65 saya, November tahun lalu, tidak ada hubungannya dengan pilpres.
Tapi tidak apa-apa. Saya sendiri sudah terbiasa dengan penilaian-penilaian miring dan fitnah-fitnah semacam itu. Itu resiko. Seperti yang sering saya sampaikan: semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang meniupnya. Jika tidak mau kena angin kencang, jadi rumput saja. Tapi, rumput akan diinjak-injak orang. Saya memilih menjadi pohon.
Biarlah semua penilaian miring yang tak benar itu. Sebuah karya yang diluncurkan memang harusterbuka pada kritik. Namun, kalau boleh saya menyarankan, ada baiknya kita baca dulu novel itu, tanpa intrik, tanpa prasangka. Semoga saja bermanfaat dan siapa tahu bisa sedikit menjadi inspirasi.
No comments yet.