“Sekat KMP dan KIH Mencair di Pilkada Serentak”
Wawancara khusus dengan VIVA.co.id
Untuk kali pertama dalam sejarah, Indonesia segera melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Pemungutan suara pilkada berlangsung pada 9 Desember 2015.
Namun, proses Pilkada sudah dimulai. Sejak 27 Agustus 2015 lalu, para kandidat yang berlaga sudah berkampanye untuk mendapatkan suara rakyat di bilik pencoblosan.
Perhelatan kali ini bisa dibilang istimewa. Betapa tidak, ratusan daerah secara serentak menggelar hajatan yang kerap disebut pesta demokrasi itu. Pilkada yang sebelum tahun 2015 digelar sendiri-sendiri masing-masing daerah, kini digelar serentak.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik, terutama pengurus tingkat pusat. Betapa tidak, bila pada pemilihan sebelumnya mereka bisa berkonsentrasi di satu daerah, kini harus membagi konsentrasinya ke seluruh daerah yang serentak berpesta.
Partai Golkar bisa dibilang partai yang paling sibuk jelang perhelatan Pilkada serentak ini. Penyebabnya, di saat harus menyiapkan pasangan calon di seluruh daerah yang menggelar Pilkada serentak, kemelut justru merundung partai berlambang beringin ini.
Banyak kalangan pesimistis apakah partai yang pada Pemilu 2014 menempati peringkat kedua perolehan suara terbanyak nasional itu dapat mengajukan calon atau tidak. Selain diterpa persoalan soliditas organisasi, partai ini harus menempuh ujian bersejarahnya di jalur hukum.
Bahkan, sampai saat ini setidaknya tiga proses hukum yang masih berjalan, yakni gugatan tata usaha negara yang di PTUN dan kini prosesnya sampai kasasi, gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, serta proses hukum pidana yang ditangani Kepolisian.
Menanggapi itu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, mengatakan keberhasilan partai pimpinannya itu karena kehebatan Golkar secara institusi. Dia mengakui, banyak orang menyangka Golkar tidak mungkin bisa menjadi peserta pilkada secara bersama. Tapi kemudian, seiring berjalannya waktu, Golkar bisa membuktikan ternyata bisa.
”Itulah hebatnya Golkar, partai lain yang berseteru tidak bisa mencalonkan,” kata Aburizal saat menerima tim redaksi VIVA.co.id di kantornya, Bakrie Tower, Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan, akhir September lalu.
Tak hanya soal Pilkada serentak, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden SBY-JK itu berkenan berbagi pandangan seputar permasalahan aktual nasional belakangan ini, seperti peta politik terbaru hingga soal keterpurukan nilai tukar rupiah.
Aburizal mengungkapkan, permasalahan seperti ini sebenarnya pernah dialami Indonesia pada masanya duduk di pemerintahan. Bedanya, ketika itu rupiah tidak sampai terpuruk terhadap dollar Amerika seperti saat ini yang nyaris jebol Rp15.000 per US$1. Berikut petikan wawancaranya:
Pilkada serentak sudah mulai panas. Jago andalan Golkar betarung di mana saja?
Kita mengharapkan jago andalan di semua daerah. Kita tidak membeda-bedakan. Ada 269 daerah menyelenggarakan pilkada. Golkar pokoknya cuma 20 daerah yang tidak maju. Kita tidak membeda-bedakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Di mana kita berani mencalonkan diri dan kita sudah terdaftar sebagai peserta pilkada maka kita tentu mengharapkan dia menang.
Sudah menjadwalkan hadir di kampanye terbuka daerah mana saja?
Saya akan hadir. Tapi, tidak mungkin hadir di seluruh kabupaten/kota, tidak mungkin. Nanti kita pilih-pilihlah, mana daerah yang akan dikunjungi Ketua Umum, mana daerah yang akan dikunjungi Ketua Pemenangan, dan juga Sekjen. Dengan begitu harapannya semua daerah bisa dikunjungi.
Golkar kan menargetkan semuanya menang. Tapi kalkulasi realistisnya bagaimana?
Realistis, dulu kan kita menang 59 persen seluruh Indonesia, Golkar menguasai 59 persen. Sekarang, kita mengharapkan paling tidak samalah, seperti pada tahun 2014 ke bawah kita menguasai 59 persen. Target saya tetap 50 persen, tapi kemudian mencapai 59 persen.
Melewati target berarti?
Melewati.
Banyak kalangan sempat memprediksi Golkar tidak akan ikut Pilkada serentak karena ada permasalahan internal, ternyata Golkar bisa mengajukan calon?
Saya kira memang banyak orang menyangka Golkar tidak mungkin bisa menjadi peserta pilkada secara bersama, ternyata bisa. Itulah hebatnya Golkar, yang partai lain berseteru tidak bisa mencalonkan. Jadi kalau kita melihat jumlah yang sebetulnya kita tidak bersepakat, ada delapan daerah kita tidak bersepakat. Tetapi kalau yang lain, karena jumlah suara Partai Golkar tidak cukup untuk mengajukan calon, dan ketika itu tidak berhasil mendapatkan paket, sehingga totalnya kira-kira 20 daerah Golkar tidak ikut, dari 269 pilkada. Tapi Golkar membuktikan, meski ada perseteruan, kenyataanya calon-calonnya bisa.
Soal perseteruan, apakah tidak berpengaruh di daerah?
Ada, bahkan ada yang menamakan kepengurusan tandingan, tapi kenyataannya tidak bergerak. Jadi, memang calon-calon yang kita ajukan itu, kesepakatan dari Tim 10 itu memang luar biasa. Dalam keadaan seperti itu tetap bisa mencalonkan, dan itu mengagetkan banyak pihak.
Ikatan Koalisi Merah Putih (KMP) di beberapa daerah sepertinya sangat kuat?
Dulu, kalau pilkada itu kepala daerah dipilih oleh DPRD (Undang-undang tentang Pilkada diputuskan bahwa kepala daerah dipilih DPRD), maka KMP atau KIH (Koalisi Indonesia Hebat) akan sangat berperan. Tetapi begitu diputuskan dipilih oleh rakyat, pemilih akan memilih orang-orang yang populer.
Kalau kita lihat pilkada (2009-2015), Partai Golkar itu memenangkan 59 persen, tetapi kalau kita lihat Pileg-nya hanya memenangkan 14 persen. Artinya, tidak ada hubungan langsung antara partai dengan orang. Jadi yang dipilih dalam pilkada adalah orang, bukan partai. Kita lihat, jauh sekali, kan. Kalau 59 persen dengan 50 persen masih dekat, atau 59 persen dengan 60 persen dekat, tapi 59 persen dengan 14 itu tidak ada koneksitas, tidak ada hubungan. Artinya apa, yang dipilih itu adalah orang, personal, rakyat memilih siapa yang dia sukai.
Karena itu, di beberapa daerah ada yang sama-sama Partai A dari Koalisi Merah Putih, Partai B dari Koalisi Merah Putih, Partai C Koalisi Merah Putih, berhadapan. Karena yang dipilih bukan partai, tapi orang. Juga ada, misalnya, Golkar dengan PDIP melawan partai lainnya. Mereka ada pendukungnya. Jadi yang berkompetisi di dalam pilkada bukan partai, yang berkompetisi di dalam pilkada adalah orang. Karena itu, kalau melihat pengaruh Koalisi Merah Putih di dalam Pilkada itu berbeda-beda di setiap daerah. Bali, Koalisi Bali Mandara, itu dasarnya partai dari Koalisi Merah Putih ditambah beberapa partai dari KIH. Kalau kita lihat di Kepulauan Riau, Ketua Partai Golkar maju calon wakil gubernur dan calon gubernurnya PDIP melawan yang lain.
Ada daerah yang terjadi penggumpalan (menyatu sangat kuat) KMP, di Surabaya, misalnya?
Bali Mandara juga sangat kuat, tidak semua daerah tidak seperti itu. Di Surabaya juga, PAN berada bersama Partai Demokrat. Kan, tidak juga. Karena, sekali lagi, banyak orang menyangka bahwa pilkada itu adalah persaingan antarpartai. Padahal tidak. Pilkada itu persaingan antarorang, bukan partai. Partai adalah pendukungnya yang menarik orang, pribadinya.
Perkembangan sejauh ini, ada laporan permasalahan atau kendala dari daerah?
Tidak. Sampai sekarang tidak ada laporan tentang kendala. Teman-teman dari pusat sudah ke daerah, mendampingi calon-calon di daerah, semuanya penuh semangat. Tidak ada hambatan apa-apa dalam pilkada.
Kalau tadi dibilang bahwa koalisi di daerah tidak terbatas hanya KMP, hal itu berimbas pada kesolidan koalisi di pusat?
Makanya mesti mengerti, sekali lagi saya katakan, persaingan dalam pilkada bukan persaingan partai karena yang dipilih rakyat. Persaingan bukan partai. Mau dia dari partai apa, mau dia dari independen bisa, bukan partai apa. Jadi, apakah KMP ataukah KIH, tidak relevan lagi di situ. Di pusat itu, KMP bicara policy-policy strategis.
Apa saja kebijakan strategis yang menjadi kesepakatan dan diperjuangkan KMP?
KMP berkemauan di dalam deklarasinya adalah untuk menegakkan kembali Pancasila, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang, itu maunya KMP. UUD kita sudah diubah empat kali, dan kita lihat batang tubuh UUD kita sudah tidak lagi sesuai Mukadimah UUD yang edisi Pancasila. Dia tercabut dari akarnya karena saat itu ada desakan dari asing untuk mengganti UUD kita, tapi tidak berani kita mengubah Mukadimah.
Mukadimah tetap, batang tubuh berbeda, sehingga undang-undangnya sekarang sarat dengan undang-undang yang di dalamnya tidak sesuai prinsip daripada Pancasila. Bagaimana mengubahnya? Pertama, kita lakukan perubahan undang-undangnya dulu, kita mulai dari perubahan Undang-Undang Perbankan. Perbankan Indonesia sangat liberal. Di mana-mana orang asing hanya boleh 49 persen, di Indonesia boleh 100 persen. Kedua, mereka boleh mengambil uang dari Indonesia dari cabangnya di daerah-daerah, dan mengirim uangnya, karena sistem devisa bebas, ke negaranya.
Jadi, itu bertentangan. Karena itu, kita mau mengubah dan sudah kita buat Rancangan Undang-Undang Perbankan yang sudah kita periksa dalam Badan (Partai Golkar mempunyai badan pengkajian ideologi dan legislasi). Kedua, dalam jangka yang lebih panjang kita mendesak MPR untuk bersama-sama mengembalikan batang tubuh UUD agar sesuai Mukadimah-nya. Kita lihat sudah mulai ada gerakan ke arah situ.
Itulah satu kepentingan strategis dari pada KMP. Itu yang kepentingan strategis, bukan pilkada. Kepentingan strategis KMP mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara berlandaskan Pancasila.
Tapi, pilkada ini sudah benar atau salah?
Benar bagaimana?
Idealnya, partai politik itu pilar demokrasi, tetapi dalam pilkada ini hanya menjadi kendaraan (hanya pengusung kandidat kepala daerah)?
Sistemnya. Makanya, saya sebetulnya tadinya pemilihannya mengharapkan melalui DPRD. Terlalu banyak politik uang yang terjadi akibat pilkada langsung. Tapi akhirnya kita sepakati karena sebagian besar mau, kita sepakati pilkada langsung. Itu tidak sesuai prinsip yang terkandung dalam UUD 1945. Kalau ditanya bagus atau enggak. Menurut saya, tidak bagus, karena tidak sesuai yang terkandung dalam azas permusyawaratan dan perwakilan.
Berarti ini kompromi?
Terpaksa kompromi. Rakyat masih mau begitu, semua orang masih mau begitu. Tetapi, begitu kita berhasil mengubah UUD dan masuk ke dalam undang-undangnya -UUD yang diubah batang tubuhnya dikembalikan lagi- sekarang batang tubuhnya sudah bertentangan dengan Mukadimah UUD 1945. Itu prinsip.
Sampai kapan kompromi itu?
Sampai mungkin. Namanya politik.
Tapi kita sama-sama tahu itu enggak benar?
Iya. Tapi, misal, apakah semua setuju Pancasila? Apakah mengubah UU Perbankan ini bisa berhasil? Kalau seluruh (partai dalam) KMP dalam perubahan UU Perbankan itu solid, UU Perbankan bernafaskan Pancasila akan lahir.
Sedihnya, kalau lihat di daerah sekarang, dengan pemilihan seperti ini, masyarakat sangat pragmatis. Ada masyarakat yang pasang spanduk ‘Menerima dalam bentuk rupiah atau dolar atau euro’. Sangat pragmatis. Jadi, menurut saya, rasanya, mesti dipikirkan kembali sistem pemilu yang baik, meski Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pilkada tidak termasuk dalam rezim pemilu.
Meski demikian, kita mesti mencari sistem yang cocok untuk Indonesia. Apakah kita cocok bayar-bayar begini, apalagi keadaan seperti sekarang, keadaan yang sangat sulit.
Saat KMP mewacanakan kepala daerah dipilih DPRD, sebenarnya banyak yang menyambut positif, dan mereka kecewa setelah adanya kompromi seperti itu. Bagaimana pandangan Anda?
Memang, tapi itulah politik. You mau dihujat masyarakat atau tidak dihujat masyarakat. Kalau kita sudah pasti, kita bisa menang, kita lakukan terus.
Ada satu kalimat yang membuat kita gamang, soal UU Perbankan, ”kalau KMP solid”. Berarti belum tentu goal?
Belum tentu. Kekuatan uang. Itu bisa memengaruhi segalanya. Jabatan bisa memengaruhi segalanya. Saya tidak akan heran, dalam upaya mengubah undang-undang menjadi sesuai dengan batang tubuh UUD 1945, tiba-tiba nanti yang mendukung bisa berbeda, bukan KMP atau KIH, tapi gabungan di sini dengan gabungan di sana (sebagian partai politik dalam KMP mendukung dan sebagian yang lain menolak, atau sebaliknya pada KIH).
Ada yang masuk angin, berubah sikap politik?
Ada yang masuk angin, ada yang pindah.
Ada yang belok?
Itu kemungkinan sangat besar. Bicara Pancasila, PDIP akan sama dengan KMP. Bu Mega (Ketua Umum PDIP Megawawati Soekarnoputri, mewacanakan/mengusulkan) mengembalikan GBHN, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, kemudian semua sistem ketatanegaraan kita ubah, itu sama antara KMP dengan Bu Mega.
Sekarang perjuangannya mengembalikan sistem ketatanegaraan sesuai Pancasila. Ketua timnya di MPR itu Golkar. Tim pengkajiannya itu dari Golkar, saudara Rully Chairul Azwar. Golkar punya Visi Indonesia 2045, yang tidak ada partai lain punya, cuma Golkar yang punya.
Kita harapkan di dalam pengkajian itu nanti berakhir pada satu perubahan UUD yang mengarah pada penyesuaian terhadap Mukadimah-nya, sesuai Pancasila. Nanti, bisa saja sebagian yang setuju anggota KIH dan KMP.
Target amandemen terlaksana kapan?
Perubahan UUD 1945 kembali kepada Mukadimah-nya harus selesai sebelum 2019. Kita punya waktu empat tahun untuk melakukan hal itu. Kita punya kuncinya. Sebab, kita dalam era globalisasi seperti sekarang, kita akan berhadapan lebih banyak dengan kepentingan-kepentingan pemilik modal. Apakah mudah mengubah UU Perbankan. Apakah mudah mengubah UU Migas. Sementara sudah telanjur, asing dengan kekuatan luar biasa menguasai 90 persen atau 85 persen aset perbankan Indonesia. Sekarang mau kita kembalikan, bisakah kita mengembalikan itu. Itu perjuangannya.
Jadi, kalau pilkada bukan strategis, yang strategis di pileg. Kenapa pileg strategis, karena dia menentukan parlemen. Di situlah strategisnya pileg. Pilkada tidak. Meski begitu, support tetap kita berikan kepada daerah.
Tapi, kan, ada strategisnya juga pilkada langsung, karena bisa saja nanti hasilnya kepala daerah yang kurang baik. Kalau kepala daerah kurang baik, berbahaya juga buat kepentingan bangsa?
Kepala daerah atau kepala negara? Kepala negara enggak? Sama saja. Ke depan saya mengharapkan UU Pileg nanti menjadi sistem proporsional tertutup, sehingga kewenangan dari partai besar, karena partai tahu siapa yang sudah mempunyai kapasitas atau belum. Apakah itu tidak bisa terjadi dalam skala nasional, bisa saja terjadi.
Persoalan lain di penghitungan suara. Sistem yang sekarang cenderung tidak adil. Banyak orang, calon legislator/caleg, yang misal mendapat suara lebih besar tetapi tidak terpilih. Ada yang dapat suara seratus ribu, karena suara sisanya dibagi dengan caleg yang lain, itu yang dapat yang lain. Padahal dia seratus ribu, yang terpilih justru caleg yang 70 ribu suara.
Usulan untuk sistem proporsional tertutup itu pileg. Pilkada ini nanti kita lihat. Meski tadi saya katakan, menurut MK, pilkada tidak masuk rezim pemilu, pada dasarnya sama, yaitu pemilihan langsung. Supaya rakyat tahu, apakah pemilihan itu hanya berdasarkan senang atau pragmatisme.
Semangat merevisi UU Pilkada sempat mengemuka lagi saat muncul calon tunggal di sejumlah daerah. Golkar akan menyuarakan revisi dalam waktu dekat?
Dimatiin kan, dimatiin partai-partai lain.
Tapi, dari banyaknya lubang atau kelemahan itu, usulan revisi bisa didorong lagi?
Iya, tapi tidak sekarang, sudah tidak ada waktunya.
Bisa saja nanti buat Pilkada 2017 dan selanjutnya?
Itu bisa saja, tergantung partai-partai mau ke mana. Sikap KMP jelas. Sebetulnya gampang mengubah UU Pilkada, termasuk soal Pemilu. Kalau kita melihat Amerika Serikat misalnya, itu tidak murni pemilihan langsung?
Masalahnya, dan tentu banyak lagi berpikir bahwa UU seperti sekarang, sangat menguntungkan pemilik modal. Jadi, pemilik modal yang sangat berkepentingan itu akan melakukan terobosan-terobosan dengan modalnya untuk memenangkan pilkada. Itu bahaya.
Soal situasi aktual nasional belakangan ini, Indonesia kepayahan menghadapi terus terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, bahkan sudah mendekati level Rp15.000 US$1. Bagaimana tanggapan Anda?
Sebetulnya, kalau kita perbandingkan antara tahun 1998, tahun 2008, dengan sekarang, fundamental ekonominya jauh lebih baik. Kita punya defisit cuma 2,3 persen, jauh lebih baik dari negara-negara di mana pun di dunia. Kenapa? Pertama, ada satu anggapan asing bahwa ada satu ketidakpercayaan kepada pemerintah. Anggapan ini yang mesti kita perbaiki.
Kedua, kita (KMP dengan KIH) bisa berbeda pendapat. Misalnya, KMP saat mau membuat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, kita katakan bahwa harus ada perimbangan tentang tujuan pembangunan: growth dengan pemerataan. Tidak boleh juga berat pada pemerataan. Kita lihat sekarang ada satu ruang untuk pemerataan, tapi lebih banyak untuk infrastruktur.
Dengan meng-create menggalakkan program-program infrastruktur, apa yang sebenarnya di-create pemerintah? Domestic economy. Kita tidak bisa mengandalkan ekspor karena harga-harga produk ekspor kita, harganya turun, dan pasar terbesar produk ekspor kita, China, mengalami perlambatan ekonomi. Maka kebutuhan-kebutuhan batu bara, sawit, turun semua.
Indonesia dengan penduduk 250 juta orang adalah pasar. Jangan terlalu tergantung dengan ekspor. Jepang, Korea, Singapura, Malaysia iya, karena mereka enggak ada domestic economy, kita punya domestic economy. Nah, ini sadar atau tidak sadar, dikerjakan pembangunan infrastruktur, yang akan membuat Indonesia lebih bagus pada empat tahun mendatang. Problemnya, what happen with this four years, empat tahun ini.
Sebenarnya kan resep pertumbuhan ekonomi dari sejumlah lembaga ekonomi dunia sudah dijalankan pemerintah Jokowi, misalnya, memangkas subsidi BBM lalu dialihkan untuk anggaran pembangunan infrastruktur?
Ya, itu bagus. Saya sudah mengawali. Saya maunya memang begitu. Pada waktu saya jadi Menko, BBM saya naikkan 113 persen. Sekarang sudah bagus. Sekarang bahkan subsidinya sudah tidak ada. Sudah bagus. Dengan membuat infrastruktur itu maka ekonomi berkembang.
Sekarang tiga tahun-empat tahun mendatang ini bagaimana. Kenapa rupiah begitu. Enggak ada yang bisa menjelaskan kenapa, termasuk saya. Pada waktu era SBY turun 2,4 persen sampai 2,5 persen, tidak apa-apa.
Saya pada waktu itu minta ada semacam pusat krisis. Tidak harus namanya krisis, tapi bisa saja namanya pusat pengendalian dampak negatif, atau apalah namanya. Pusat krisis itu harus satu komando, yang diberikan wewenang penuh oleh Presiden untuk memutuskan.
Dasarnya adalah yang paling penting ada satu komando. Komandannya ini yang membuat matriks (merumuskan tugas dan wewenang): misalnya, Rizal Ramli kerjakan apa, Menteri ESDM kerjakan apa, dan lain-lain, bikin matriksnya seperti dulu saya kerjakan tahun 2005.
Dulu saya bikin matriksnya, waktu itu ada 27 atau 28 item yang mesti dikerjakan oleh menteri-menteri. Menteri Keuangan kerjakan apa, menteri lain kerjakan apa, detail, satu bulan selesai. Lalu kita ambil keputusan menaikkan harga BBM 113 persen.
Sekarang yang mesti kita minta adalah adanya satu kesatuan tindak dari pemerintah. Kesatuan tindak ini hanya bisa terjadi apabila ada seorang kepercayaan Presiden yang diberikan wewenang penuh untuk mengkoordinasikan semua gerak ekonomi. Itu yang sekarang enggak ada, seperti bekerja sendiri-sendiri.
Tadi Anda bilang kalau dengan pembangunan infrastruktur ini, empat tahun lagi Indonesia jadi bagus?
Pasti bagus, karena syarat negara maju itu infrastruktur, infrastruktur, infrastruktur. Karena itulah, dulu saya 2005 itu menggerakkan Infrastruktur Summit.
Tapi dalam jangka pendek ini, bagaimana?
Makanya saya bilang, yang mesti dilakukan adalah adanya satu kesatuan langkah, ada satu komandan. Mereka suruh berpikir, tapi satu hal yang ini kerja ini, kalau ini ke kanan dan itu ke kiri, enggak akan jadi.
Komisi XI DPR kan sudah membahas RUU JPSK yang tampaknya mengakomodasi soal Pusat Krisis tadi. Fraksi Golkar mendukung?
Komisi XI, ketuanya Golkar (Fadel Muhammad). Ya, kadang ada perbaikan-perbaikannya.
Artinya, Golkar mendukung RUU itu disahkan menjadi UU?
Kalau kita pasti golkan itu. Karena waktu pertama dibikin, JPSK, kan, ide pertamanya ARB. Kita pasti golkan, bentuk detail seperti apa, saya tidak tahu.
Hubungan PAN dengan KMP sekarang bagaimana?
Ya, tanyakan PAN. Dia (Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN) bilang sama kita, kalau bicara program pemerintah, mereka bersama Pemerintah, kalau bicara program kepartaian bicara sama-sama dengan KMP.
Waktu bertemu di sini (di gedung Bakrie Tower) apa yang diobrolkan, pamitan?
Enggak pamit. Kalau pamit, kan, keluar dari KMP. “Saya tetap berada di dalam KMP,” begitu katanya. Setelah itu pergi ke (kantor pusat) PKS, silaturahmi dengan pimpinan KMP. Pak Zulkifli Hasan datang, dan dia bilang tetap berada di dalam KMP.
Komposisi Parlemen berubah kalau PAN bergabung dengan KIH, selisih sedikit jumlah total kursi KMP dengan KIH. Apa pendapat Anda?
Pindah bagaimana, enggak ada. Hanya kalau ngomong APBN, mereka bersama Pemerintah.
Sumber: VIVA.co.id
No comments yet.