Indonesia, Garis Batas Pernyataan, dan Impian
Pidato Malam Penghargaan Achmad Bakrie ke-14, Jakarta, 20 Agustus 2016.
Assalamualikum Wr. Wb.
Salam sejahtera buat kita semua
Pertama-tama saya ingin mengajak seluruh hadirin untuk memanjatkan puji dan syukur ke hadapan Allah SWT. Hanya atas rahmat dan karunia-NYA maka kita berada bersama-sama pada malam yang berbahagia ini untuk mengikuti Malam Penghargaan Achmad Bakrie yang ke-14.
Perkenankanlah saya mengucapkan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada tokoh-tokoh yang pada malam ini menerima penghargaan, yaitu Mona Lohanda, Afrizal Malna, Danny Hilman Natawijaya, Rino R. Mukti, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Tokoh-tokoh dan lembaga penelitian ini telah memberikan dedikasi, dharma bakti, dan sumbangan positif dalam bidang ilmu dan pengabdian masing-masing. Dunia mereka bukanlah dunia yang gemerlap. Pengabdian dan profesi pada bidang penelitian, pemikiran dan penulisan bukanlah sebuah profesi yang bertaburan materi, kekuasaan dan tepuk tangan. Dunia mereka adalah dunia yang sepi.
Namun demikian, dalam segala keterbatasan yang ada, tokoh-tokoh yang menerima penghargaan Achmad Bakrie pada malam ini telah membuktikan bahwa Indonesia tetap memiliki putra dan putri terbaik, anak-anak bangsa yang bekerja dengan tekun dan penuh dedikasi, sehingga sanggup berkarya dengan pencapaian yang membanggakan kita semua.
Mereka telah memperkaya kebudayaan Indonesia modern, memperdalam pandangan kita tentang sejarah dan masyarakat kita sendiri, serta membuka horizon pengetahuan baru dalam berbagai kajian ilmu pengetahuan, serta dalam pengabdian dunia kesehatan dan kedokteran.
Karena itulah, kepada tokoh-tokoh dan lembaga yang menerima penghargaan pada malam ini sudah selayaknya seluruh bangsa Indonesia menyampaikan terimakasih dan apresiasi yang sedalam-dalamnya.
Khusus mengenai Sdr. Afrizal Malna yang tidak bersedia menerima penghargaan ini, sikap dan apresiasi kita terhadap beliau tidak berkurang sedikit pun. Sdr. Afrizal telah memberikan sumbangan penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Kita menghargai sumbangan penting ini, sambil terus mendorong agar kaum seniman dan kaum sastrawan Indonesia mencetak karya-karya yang membuka cakrawala serta mempertajam kepekaan manusia Indonesia atas diri dan lingkungannya.
Selain itu, saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada penyelenggara acara ini, yaitu Yayasan Bakrie untuk Negeri, Tvone dan ANTV, segenap Dewan Juri, Universitas Bakrie dan Freedom Institute. Tradisi penghargaan ini telah dimulai sejak tahun 2003. Tanpa terasa pada tahun 2016 ini kita sudah memasuki tahun ke-14, dengan daftar penerima penghargaan yang sudah cukup panjang, lebih dari 50 tokoh dan lembaga dalam berbagai bidang ilmu dan pengabdian. Insya Allah, tradisi pemberiaan penghargaan yang telah kita rintis ini dapat membawa manfaat, betapapun kecilnya, bagi kemajuan bangsa dan negara.
Sejak awal, sengaja saya berpesan bahwa acara Malam Penghargaan Achmad Bakrie selalu diadakan di seputar perayaan kemerdekaan 17 Agustus. Inilah bentuk keikutsertaan kita dalam memperkaya substansi perayaan Hari Proklamasi Republik Indonesia.
Kemerdekaan adalah sebuah rahmat, atau seperti kata Bung Karno: Kemerdekaan adalah sebuah jembatan emas untuk menuju pada suatu cita-cita mulia, yaitu sebuah bangsa yang maju dan modern, sebuah bangsa yang kuat jiwa dan raganya, serta sebuah bangsa yang adil serta makmur.
Salah satu favorit saya dari puisi yang dikumpulkan oleh ayahanda, Almarhum Achmad Bakrie, berbunyi sebagai berikut:
Freedom makes opportunities
Opportunities make hope
Hope makes life and future
Kemerdekaan membuka kesempatan, kesempatan membentangkan harapan, dan harapan menumbuhkan kehidupan serta mewujudkan masa depan.
Karena itulah, lewat pemberian penghargaan ini, kita ingin menitipkan pesan agar bangsa Indonesia terus membuka kemungkinan baru, terus mengembangkan cakrawala dalam berbagai bidang ilmu, agar cita-cita mulia yang lahir lewat Proklamasi Kemerdekaan memang dapat tercapai.
Dalam mengisi kemerdekaan, perjalanan bangsa Indonesia sudah cukup jauh. Kemajuan telah berhasil dicapai, betapapun masih banyak kekurangan di sana-sini. Kita juga sudah semakin matang dalam berdemokrasi, tanpa mengorbankan kemajemukan yang memang menjadi ciri khas kita.
Dalam perjalanan di tahun-tahun mendatang, kita perlu memberi catatan bahwa kemajuan bangsa akan semakin terkait dengan kemampuan kita dalam mengolah pikiran, dalam mengembangkan kreatifitas untuk menjawab berbagai kebutuhan praktis manusia.
Sejak awal abad ke-21 hampir semua inovasi terbaru yang mempengaruhi cara hidup manusia sekarang ini berasal sebuah daerah kecil di Pantai Barat Amerika Serikat, dengan koridor wilayah tidak lebih 150 km, yang membentang dari San Francisco ke San Jose, melewati gugusan lembah dan perbukitan agak gersang yang lebih dikenal sebagai Silicon Valley, Lembah Silikon.
Revolusi personal computer, dunia digital, internet, smartphone, Facebook, Google dan berbagai inovasi lainnya telah mengubah cara hidup manusia, baik dalam bekerja, berbisnis, hingga dalam kehiduipan sosial dan dalam mencari ilmu pengetahuan. Bahkan Elon Musk, yang kini menjadi ikon terbesar Silicon Valley setelah Steve Jobs, sedang berada dalam tahap akselerasi untuk mengubah sama sekali metode konvensional dalam transportasi, energi, dan eksplorasi angkasa luar.
Dalam soal yang terakhir ini, yaitu eksplorasi angkasa luar, Elon Musk telah melahirkan sebuah revolusi lagi, yang oleh NASA sekalipun gagal dilakukan selama tiga atau empat dekade terakhir, yaitu penciptaan roket yang mampu mendarat kembali setelah melepaskan muatannya ke angkasa luar. Semua ini dilakukan oleh Elon Musk sebagai tahapan awal untuk mewujudkan mimpi masa kecilnya, yaitu untuk mendaratkan dan membuat koloni manusia di Planet Mars.
Luar biasa. Kita tidak tahu apakah kaum pionir seperti Elon Musk pada akhirnya akan berhasil atau tidak dalam mewujudkan mimpinya. Dia seperti Christopher Columbus dan Ferdinand Magellan di abad ke-15. Garis batas cakrawala manusia seperti mereka jauh melampaui imajinasi kita.
Paling jauh kita bisa berharap bahwa kaum sastrawan, kaum penulis dan kaum intelektual lainnya sanggup memahami perubahan dan membuat karya-karya besar dalam dunia fiksi, juga dengan imajinasi yang jauh, tentang kemungkinan-kemungkinan baru tersebut.
Julius Verne di abad ke-19 melakukannya lewat berbagai novel yang masih dibaca sampai hari ini, seperti 20.000 Leagues under the Sea, serta Around the World in 80 Days. Demikian pula, di pertengahan abad ke-20, dengan imajinasi yang agak kelam, George Orwell menghasilkan sebuah karya besar, 1984, yang menggambarkan nasib yang menanti manusia di ujung perkembangan sejarah.
Singkatnya, Silicon Valley dan kaum pionir seperti Steve Jobs dan Elon Musk telah membuka begitu banyak kemungkinan baru, baik dalam dunia penulisan, penelitian, bisnis, produksi, transportasi, hiburan, dan sebagainya. Dunia berubah begitu cepat, begitu serempak, dan sekarang kita menganggapnya sebagai sesuatu yang memang sudah semestinya.
Terus terang, saya tidak pernah berhenti mengagumi serta terheran-heran: bagaimana bisa daerah sekecil Silicon Valley menyebabkan perubahan dunia yang begitu besar? Bagaimana bisa, dengan anak-anak muda yang begitu informal, dengan blue jeans, T-shirt, dan sepatu Nike, melahirkan gelombang perubahan dunia susul-menyusul tanpa henti selama dua dekade terakhir?
Sejak Prof. William Shockley menemukan prinsip semikonduktor di Universitas Stanford dan memenangkan Hadiah Nobel Fisika pada tahun 1956, daerah kecil yang dijepit oleh Gurun Pasir Nevada dan Lautan Pasifik itu terus menjadi kawah candradimuka yang meramu dan mempertemukan pure curiosity, kreatifitas anak-anak muda, inovasi teknologi, dengan kesempatan bisnis dan akumulasi kapital yang luar biasa, baik dalam kecepatan maupun skalanya.
Barangkali jawaban semua itu terletak pada kombinasi beberapa hal, seperti kebebasan dan sistem universitas yang sangat baik, yang dibingkai oleh peran pemerintah dan peran swasta yang tepat. Selain itu, satu faktor ini juga tidak boleh dilupakan, yaitu peran anak-anak muda yang berjiwa enterpreneur dengan kemampuan keilmuan yang piawai, seperti Robert Noyce dan Gordon Moore (pendiri INTEL), Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, Sergey Brin, dan pionir-pionir semacamnya.
Apapun sebab dan faktor-faktor yang melahirkan kondisi seperti di Silicon Valley, Indonesia harus segera belajar dan mencoba mengikutinya, tentu dengan konteks dan metode yang sesuai dengan kemampuan kita.
Yang penting, jangan sampai kita tertinggal terlalu jauh. Harus kita akui, beberapa negara Asia lainnya, seperti Cina, India, dan Korea Selatan sudah berjalan di depan kita. Mereka sudah melahirkan beberapa tokoh, perusahaan, serta produk-produk kelas dunia.
Indonesia barangkali masih atau sedang menggeliat. Kalau mengutip puisi penyair Chairil Anwar, mungkin kita bisa berkata bahwa Indonesia saat ini sedang berada “di garis batas (antara) pernyataan dan impian.” Kita sudah cukup maju, but we are not quite there yet. Kita punya banyak potensi, namun realisasinya belum sungguh-sungguh terwujud.
Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, baik tokoh maupun perusahaan, lembaga pemerintah, lembaga swasta, serta lembaga pendidikan, terutama universitas besar seperti ITB, UI, UGM, dan lain sebagainya, berhasil menciptakan kawah candradimuka yang menjadi pusat-pusat baru pendorong kemajuan bangsa kita.
Dalam mencapai semua itu, kita jangan terlalu membuang waktu. Walau demokrasi adalah sebuah rahmat, kita jangan sering ribut sendiri, mencari-cari kesalahan orang lain. Kita harus melangkah bersama merebut kemajuan di masa depan.
Jika semua itu terjadi, saya yakin Indonesia akan tumbuh sebagai sebuah negeri yang semakin membanggakan kita. Bahkan bukan tidak mungkin, dalam merayakan Hari Proklamasi yang ke-100 kelak di tahun 2045, yang tinggal satu generasi lagi, anak-anak muda Indonesia dapat dengan bangga berkata bahwa merekalah yang saat itu berdiri di garis terdepan kemajuan umat manusia.
Saat itu kita juga berharap bahwa Indonesia sudah melepaskan predikat sebagai negeri berpendapatan menengah, tetapi sudah naik kelas menjadi negeri yang maju sepenuhnya.
Tentu, saya dan generasi saya tidak akan lagi merasakan momen kebanggaan tersebut. Kami pasti sudah akan menjadi bagian dari masa lalu. Tapi terus terang, berpikir dan bermimpi tentang saat yang membanggakan tersebut saat ini sebenarnya sudah sangat membesarkan hati saya.
Indonesia yang maju. Indonesia yang gagah, terbuka dan merangkul semua, dengan kepercayaan diri yang besar turut serta memberi arti dan sumbangan positif bagi perkembangan peradaban dunia.
Insya Allah semua itu akan segera terwujud. Amiien.
Akhirnya, sekali lagi kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya acara Malam Penghargaan ini, dari lubuk hati yang tulus saya mengucapkan terima kasih.
Demikian pula, kepada para penerima Penghargaan Achmad Bakrie tahun 2016 (Mona Lohanda, Afrizal Malna, Danny Hilman Natawijaya, Rino R. Mukti, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman), sekali lagi saya mengucapkan selamat dan apresiasi yang sebesar-besarnya. Semoga karya dan dedikasi saudara-saudara menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda Indonesia dalam menempuh hidup dan kehidupan ini.
Wabillahi taufiq walhidayah
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
No comments yet.