Bang Ical yang Saya Kenal

Oleh : Indra J Piliang

Dewan Penasehat The Indonesian Institute

foto indra piliangAda banyak hal tentang judul di atas. Hanya saja, keterbatasan halaman membuat saya harus memilah-milah lagi. Apalagi, judul di atas mengandung subjektifitas tinggi, dan itu tak mudah.

Nama Aburizal Bakrie saya dengar ketika saya bekerja sebagai sekretariat, office boy, serta merangkap macam-macam, di Apartemen Taman Rasuna pada tahun 1999-2000. Ya, nama itu adalah “pemilik” apartemen itu. Majikan sayalah yang menceritakan segala sesuatu menyangkut sepak-terjang tetua di Grup Bakrie itu. Namun, saya tidak terlalu memikirkan, bahkan ketika saya masuk ke kehidupan sebagai seorang analis politik.

Nama Aburizal Bakrie muncul lagi, ketika Rizal Mallarangeng yang sempat bersama saya di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memutuskan membentuk Freedom Institute. Saya dengar bahwa donatur lembaga think tank baru itu adalah Aburizal Bakrie. Beberapa kali saya datang ke kantor Freedom Institute yang kala itu masih berada di Jalan Irian, mengikuti diskusinya dan berhubungan baik dengan banyak kaum intelektual, jurnalis dan aktifis. Menurut saya, inilah langkah penting pertama Aburizal “menjauhkan” diri dari persoalan bisnis atau ekonomi semata.

Datanglah waktu untuk saya berhubungan secara pribadi dengan Aburizal Bakrie, lalu saya panggil Bang Ical setelah itu. Momentumnya adalah konvensi nasional Partai Golkar dalam memilih calon presiden pada tahun 2003-2004. Sebagai analis politik di CSIS, sejak 1 Desember 2000, saya melibatkan diri secara “jauh”, yakni mengikuti perjalanan konvensi itu dari dalam. Kebetulan, sejumlah kawan yang saya kenal bergabung dengan tim Bang Ical. Keterlibatan mereka lebih sebagai partner diskusi, ketimbang pengatur strategi, pencari suara dan hal-hal teknis lainnya dalam belantara politik yang rumit.

Bepergian dengan Bang Ical

Dan itulah pengalaman pertama saya naik pesawat pribadi, ketika saya ikut bepergian. Saya ikut terbang ke NTB, NTT, Bali, Riau, Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Barat. Tentu bersama sejumlah rombongan lain, yakni para observer (pengamat) dan jurnalis. Di atas pesawat inilah saya berkenalan dengan banyak tokoh, terutama dari kalangan pengusaha nasional. Pernah saya tertidur di pesawat, lalu ketika bangun menemukan Bang Ical duduk persis di samping saya sambil tertawa-tawa dengan Bang Fuad Mansyur.

Tentu saya juga berdiskusi dengan Bang Ical. Yang saya ingat adalah petatah-petitih yang saya sampaikan dalam bahasa Minang, sebelum Bang Ical menyampaikan orasi di Padang, Sumatera Barat.

“Coba abang jawab dengan pepatah ini, apabila menjawab pertanyaan tantangan: kalau tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan!” kata saya.

“Apa artinya itu?” tanya Bang Ical.

“Sikap ikhlas, berani, apa adanya,” kata saya.

Dan benar saja, muncul pertanyaan dari peserta konvensi. Pertanyaan itu kira-kira: seandainya Pak Ical tidak terpilih menjadi Calon Presiden Partai Golkar, apakah Pak Ical akan legowo dan tetap di Partai Golkar?

“Saya memakai prinsip orang Minang. Baik diberi kepercayaan atau tidak, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan. Saya tetap akan membesarkan Partai Golkar!” begitu jawab Bang Ical.

Tepuk tangan bergemuruh. Bang Fahmi Idris yang menjadi pengawas konvensi, sampai mengirimkan sms yang isinya meledek saya sebagai “pembisik” Bang Ical. Dan yang saya tak lupa dengan sikap Bang Ical setelah pidatonya yang “berhasil” itu, yakni mengacungkan jempol jari ke saya. Sikap yang juga saya lihat dalam diri Pak Jusuf Kalla. Sederhana, tetapi bermakna.

Begitulah. Terjadi sejumlah manuver dalam konvensi. Pak Jusuf Kalla memutuskan berduet dengan Pak SBY, maju sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Dalam konvensi, muncul tiga besar, yakni Akbar Tandjung, Wiranto dan Aburizal Bakrie. Wiranto muncul sebagai pemenang, lalu diusung sebagai calon presiden Partai Golkar yang berpasangan dengan Solahuddin Wahid. Akhirnya kita tahu hasilnya, SBY-JK menang dalam pilpres.

Dua Tebakan

Dua hari menjelang pengumuman kabinet SBY-JK, diadakan diskusi di Club Rasuna. Saya hadir sebagai pembicara. Sekaligus juga peluncuran buku yang disusun Bang Lalu Mara dengan judul “Merebut Hati Rakyat, melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie”. Banyak sekali tokoh yang datang dalam diskusi itu, baik dari Partai Golkar yang “membangkang” kepada Akbar Tandjung, maupun tokoh lain. Usia saya masih 32 tahun waktu itu, sehingga wajar saya kalau saya hati-hati.

Ketika ada pertanyaan wartawan waktu itu, apakah Bang Ical layak menjadi menteri, saya menjawab tegas: “Menurut saya, Pak Ical layak menjadi presiden, bukan menteri!” Dan di buku itu juga saya menulis bahwa Bang Ical layak menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Itu semua terjadi pada bulan Oktober 2004.

Entah apa yang terjadi kemudian, saya mendengar pengumuman Presiden SBY bahwa Bang Ical diangkat menjadi Menko Perekonomian. Dalam reshuffle kabinet pada tahun 2006, Bang Ical beralih menjadi Menko Kesra.

Lalu saya tidak lagi berhubungan dengan Bang Ical. Sekalipun kantor Menko Perekonomian atau Menko Kesra bisa saya capai dengan berjalan kaki dari CSIS, tak pernah terbersit sedikitpun dalam hati saya untuk sekadar bertandang. Saya kembali menjadi analis politik, melakukan penelitian, terlibat dalam pelbagai tim pemerintah dan non pemerintah, menulis kolom-kolom politik dan pekerjaan harian lainnya sebagai peneliti bidang politik dan perubahan sosial. Selain itu, sejak tahun 2006, saya kembali kuliah S-2 di Universitas Indonesia. Saya hanya sempat bertemu dan bersalaman dengan Bang Ical ketika diadakan malam penganugerahan Penghargaan Ahmad Bakrie yang dilakukan Freedom Institute.

Lapindo dan Lumpur Sidoarjo

Saya baru ketemu Bang Ical lagi di rumahnya, untuk pertama kalinya saya ke sana, ketika bencana lumpur terjadi di Sidoarjo pada tahun 2007. Mau tidak mau, saya memerlukan informasi yang lebih dalam dari nara-sumber terpenting. Sebagai analis, terutama juga menjadi sosok yang diwawancarai oleh banyak pihak dari dalam dan luar negeri, saya tentu membutuhkan informasi yang lebih utama.

“Kenapa PT Lapindo Brantas tidak maju ke pengadilan, untuk menentukan siapa pihak yang bersalah dalam masalah ini?” tanya saya.

Jawaban Bang Ical bikin saya kaget: “Saya malah ingin kasus ini diselesaikan lewat pengadilan”.

Jawaban yang saya ingat juga adalah apabila PT Lapindo Brantas dinyatakan bersalah, lalu dibangkrutkan (pailit), maka uang yang dimiliki oleh PT Lapindo Brantas tidak akan cukup untuk membiayai area terdampak. Selain itu, PT Lapindo Brantas adalah perusahaan publik yang sahamnya dimiliki banyak pihak, di dalam dan luar negeri.

“Saya yakin, kasus lumpur di Sidoarjo ini akan digunakan untuk kepentingan pemilu 2009 nanti. Siapa lagi sasarannya, kalau bukan saya. Saya dijadikan tameng untuk menutupi kasus-kasus yang lain,” kata Bang Ical, terang-benderang.

Saya tidak terlalu dalam lagi mengikuti kasus itu lewat Bang Ical, melainkan lewat media massa. Setahu saya, ada pihak yang maju ke pengadilan, dengan putusan sebaliknya bahwa PT Lapindo Brantas tidak bersalah. Yang saya juga baca, keluarga Bakrie mengeluarkan dana trilyunan untuk korban lumpur, selain juga dana dari negara.

Dari diskusi itu juga saya tahu bahwa Bang Ical bukanlah pelaksana bisnis dan ekonomi keluarga. Apalagi, dia adalah seorang menteri terpenting dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Bang Ical lebih banyak muncul sebagai penasehat di keluarganya. Ada sosok yang lain yang menjalankan bisnis, yakni Indra Bakrie dan Nirwan Bakrie. Hanya saja, sebagai sosok yang dituakan, serta bersentuhan dengan publik sejak menjadi Ketua KADIN, nama Aburizal Bakrie selalu terhubung dengan aktivitas ekonomi keluarganya. Bang Ical sempat menjadi orang terkaya di Indonesia versi Majalah FORBES dan orang tentu tidak lupa. Padahal, sejak menjadi menteri, saya melihat Bang Ical sudah melangkah ke dunia pemerintahan yang mau tidak mau adalah dunia politik dalam arti yang sebenarnya.

Saya sempat menulis artikel di Jawa Pos waktu itu: “Seandainya Lumpur Sidoarjo Kering”. Asumsi saya adalah dengan adanya pembayaran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, maka otomatis seluruh area terdampak sudah menjadi “milik” PT Lapindo Brantas. Nah, bayangkan dalam beberapa tahun atau puluh tahun ke depan, lumpur berhenti dan lahan mengering, bukankah PT Lapindo Brantas memiliki hak kepemilikan atas lahan-lahan itu? Bukankah ganti rugi sudah dilakukan sejak awal, sekalipun belum terealisasi semua?

Bang Ical Sebagai Politikus

Singkat cerita, saya bertemu lagi dengan Bang Ical dalam acara-acara kepartaian, sejak memilih bergabung dengan Partai Golkar pada tanggal 06 Agustus 2008, tiga tahun lalu. Saya memberi-tahu Bang Ical via pesan pendek bahwa saya memutuskan menjadi caleg Partai Golkar. Bang Ical menjawab singkat saja, “Bagus”.

Sesekali, saya melihat Bang Ical dalam rapat-rapat partai, baik untuk kepentingan pileg 2009 maupun pilpres 2009. Namun, Bang Ical lebih sibuk dengan kegiatannya sebagai menteri, ketimbang sebagai salah satu politisi di tubuh Partai Golkar. Satu yang saya ingat adalah bagaimana Bang Ical datang ke Yahukimo, Papua, ketika kelaparan melanda daerah itu, dan berhasil mengatasinya.

Dalam proses pileg dan pilpres 2009, saya sama sekali tak pernah berhubungan dengan Bang Ical. Bahkan tidak ada bantuan yang saya terima ketika memutuskan menjadi calon anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumbar II. Saya juga tak ingat, kenapa tidak meminta bantuan kepadanya. Saya lebih banyak berkomunikasi dengan Pak JK dan Bang Fahmi Idris. Kedua nama terakhir ini membantu saya dalam hal pendanaan.

Tibalah giliran pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas di Pekanbaru, pada Oktober 2009. Saya sudah diberitahu jauh-jauh hari soal ini, terutama oleh Bang Fuad Mansyur. Saya juga diminta bergabung ke dalam tim sukses Bang Ical. Tapi, karena saya sudah deklarasi sebagai pengusung Yuddy Chrisnandi, saya tidak bergabung dengan tim sukses Bang Ical. Hal ini juga sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa dalam pilihan-pilihan politik pribadi, saya berhak memutuskan sendiri.

Dan Bang Ical terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar 2009-2015. Ya, sesuai dengan apa yang saya tulis pada tahun 2004 di dalam buku “Merebut Hati Rakyat”. Saya mengucapkan selamat kepadanya, di atas panggung, dalam suasana bergemuruh. Lalu saya menjauh lagi, terutama mengurus masalah gempa bumi di Sumatera Barat. Belakangan, saya baru memutuskan untuk menjadi bagian dari kepengurusan DPP Partai Golkar, setelah mendengarkan saran dari sejumlah orang dan berkomunikasi dengan Bang Rizal Mallarangeng. Inilah yang saya sebut sebagai karier: memulai sesuatu sesuai urutannya.

Beruntung, saya mengenal dengan dekat tokoh-tokoh di sekeliling Bang Ical. Bukan sesuatu yang istimewa kalau saya bisa diikut-sertakan dalam rombongan Ketua Umum Partai Golkar ini. Barangkali karena sudah menjadi bagian dari DPP Partai Golkar, lalu dapat keistimewaan terbang ke sejumlah daerah dengan Bang Ical, maka otomatis saya adalah “Orangnya Ical”. Begitu juga dalam kasus Bank Century, saya dilibatkan sebagai tim pengendali dari DPP Partai Golkar yang jumlahnya terbatas.

Saya sebetulnya tidak nyaman dengan sebutan itu, apapun konotasinya. Sebab, menurut saya, setiap individu dalam dunia politik itu memiliki independensi masing-masing. Namun saya juga sadar bahwa inilah politik. Saya mulai menerima persepsi itu, dalam pelbagai kesempatan disebut “Orangnya Ical” atau “Orangnya JK”.

Dalam setiap kali saya menemaninya, saya berusaha untuk menyampaikan pandangan-pandangan saya. Dan lebih banyak sebetulnya mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Saya pernah menemui Bang Ical yang masih mengenakan celana renang, di rumahnya, lalu mendiskusikan soal-soal yang berkembang di publik. Kalau tidak puas, saya biasanya mencoba minta waktu, lalu datang ke kantornya di Wisma Bakrie I. Jawaban demi jawaban yang saya peroleh, saya coba konfirmasi kepada pihak lain atau kepada data dan dokumen yang saya cari kemudian. Bagaimanapun, berhadapan dengan Bang Ical adalah berbicara dengan seseorang yang memiliki pengetahuan baik, detil, dan sekaligus spontan dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya.

Kondisi Terburuk Bang Ical

Karena selalu melihat Bang Ical dalam kondisi prima dan penuh canda, tentu perubahan sikap saya perhatikan dengan baik. Kondisi fisik terburuk yang pernah saya lihat dalam diri bang Ical adalah ketika menghadiri kampanye terbuka Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat pada 2010. Bang Ical sempat tidur di pesawat, lalu usai kampanye mandi di sebuah restoran. Itulah saat saya melihat kondisi fisiknya kurang fit.

Kesempatan kedua saya melihatnya sakit flu adalah ketika Rapat Koordinasi Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera, Jawa, Bali, NTB dan NTT. Kepada senior-senior yang hadir saya sampaikan bahwa mesinya Bang Ical tak hadir dalam acara itu. Bagaimanapun, di mata saya, Bang Ical harus tampil maksimal, apalagi di hadapan ketua-ketua DPD Partai Golkar yang datang dari pelbagai daerah.

Di luar itu, Bang Ical adalah sosok yang rapi dan sehat, mengingat olahraga rutin yang dilakukannya. Malah, di matanya, saya selalu berada dalam kondisi kurang sehat, juga berpikir terlalu rumit.

“Elu mesti olahraga. Ngapain sih memikirkan hal yang nggak perlu dipikirkan?” katanya, beberapa kali.

Mungkin pertanyaan yang saya ajukan kepadanya terlalu “enteng”, sementara saya ikuti di publik justru menjadi persoalan yang “berat”. Tapi, lagi-lagi, saya selalu memiliki pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Pembagian wilayah Jawa menjadi beberapa bidang pemenangan pemilu saya sampaikan ketika di Palangkaraya. Saya katakan, “Kalau daerah di luar Jawa diurus oleh empat orang, padahal hanya mewakili 35% pemilih, kenapa Jawa hanya diurus satu orang yang mewakili 65% pemilih?” Bang Ical menerima saran itu, tapi setahun kemudian benar-benar membaginya ke dalam tiga bidang.

Bang Ical bukanlah sosok yang sangar. Ia memperhatikan soal-soal kecil. Bagi saya, kalau seseorang itu sudah menanyakan sesuatu yang sederhana dan tidak ruwet, berarti orang itu benar-benar memperhatikan kita.

“Elu kenapa pakai jaket terus? Elu nggak kepanasan?” katanya, ketika saya salami pas buka puasa di DPP Partai Golkar. Saya gelagapan menjawabnya, karena saya lihat Bang Ical berkeringat dan mengipas-ngipas badannya.

“Kurang enak badan, bang. Batuk,” jawab saya. Benar, saya batuk beberapa hari. Tetapi pertanyaan Bang Ical tetap tak terjawab, sebetulnya. Mungkin yang ia maksudkan adalah seringnya saya “salah kostum” salam setiap kali acara partai. Nah, rumit lagi, kan, cara berpikirnya?

Kado Setengah Abad Partai Golkar

Kembali ke “tebakan” tahun 2004 lalu, Bang Ical ternyata terbukti jadi Ketua Umum Partai Golkar. Apakah Bang Ical bisa menjadi presiden, sebagaimana jawaban saya kepada wartawan pada tahun 2004 lalu? Yang berubah, saya menjadi bagian dari proses (mewujudkan) itu, kalau seandainya Partai Golkar memutuskan Bang Ical-lah yang diusung sebagai calon presiden pada tahun 2014 nanti. Keputusannya ada pada akhir tahun 2012. Ah, apakah memang rumit menjadi presiden? Saya kira, saya berada pada sisi yang terlalu dekat untuk melalui proses itu.

Tentu, dari semuanya itu, saya dihadapkan dengan dua hal yang terjadi di depan: apakah saya akan menyaksikan keadaan yang lebih buruk lagi dari sekadar kesehatan Bang Ical? Ataukah saya menyaksikan keadaan yang jauh lebih baik di tahun-tahun mendatang? Apa itu? Terpilihnya Bang Ical sebagai Presiden RI periode 2014-2019.

Yang selalu saya katakan kepada konstituen Partai Golkar adalah ada dua peristiwa penting pada tanggal 20 Oktober 2014 nanti. Pertama, hari itu adalah ulang tahun Partai Golkar ke-50 atau setengah abad. Kedua, hari itu adalah hari pelantikan presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Akankah ada peristiwa ketiga yang terjadi, yakni kado ulang tahun Partai Golkar ke-50 itu adalah berupa terpilihnya Ketua Umum Partai Golkar untuk pertama kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia?

Saya kira, bukan hanya saya yang berada dalam kondisi penantian atas jawaban pertanyaan itu, melainkan juga para kader dan simpatisan Partai Golkar lainnya. Namun, apapun yang terjadi, saya kira filosofi alam Minangkabau akan tetap terpakai: tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan. Yang jelas, Bang Ical bukan satu-satunya orang yang sedang disebut-sebut sebagai calon presiden, lengkap dengan kendala dan masalah yang dihadapi. Apapun itu, saya tetap yakin bahwa Bang Ical memang layak menjadi presiden.Wallahu ‘Alam.

Jakarta, 15 Agustus 2011.

Tentang Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi

Beberapa bulan lalu, Juru Bicara saya, Lalu Mara datang menemui saya, dan mengatakan ingin menerbitkan kembali atau relaunching buku saya. Buku yang ingin direlaunching itu berjudul “Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie”. Buku yang disusun oleh Lalu Mara dari tulisan-tulisan saya ini, pertama terbit pada tahun 2004, dan lebih dekenal dengan judul “Merebut Hati Rakyat”.

Atas usulan Mara itu saya katakan; “buku ini kan diterbitkan tahun 2004, sementara sekarang sudah 2011. Apa masih relevan tulisan saya, apa sudah tidak kadaluarsa?”. Apalagi, buku ini berisi pemikiran saya sejak tahun 1994 sampai 2004, kebanyakan ketika saya masih menjabat Ketua Umum KADIN. Namun Mara meyakinkan bahwa pemikiran saya di buku itu masih relevan sampai saat ini.

Saya pun terpaksa membaca kembali buku itu dan memang masih relevan, dan akhirnya saya setuju untuk direlaunching. Akhirnya acara relaunching itu dilaksanakan pada 18 Agustus kemarin, di Garasi 66 Perdikan, Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan. Acaranya sendiri diatur oleh Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma), dan dihadiri oleh para politisi, dosen, mahasiswa, wartawan, dan undangan lainnya.

Sebelumnya, saya ingin menjelaskan mengenai judul bukunya. Judul “Merebut Hati Rakyat” banyak dicurigai dibuat karena saya mau jadi presiden. Ini jelas salah, relaunching buku ini tidak ada kaitannya dengan hal itu. Judul itu sudah ada sejak diluncurkan pertama kali tahun 2004. Pada saat itu, jangankan menjadi calon presiden (capres), menjadi ketua umum Partai Golkar seperti sekarang saja tidak terpikirkan.

Saat itu, hanya satu orang yang memprediksi saya suatu saat akan menjadi ketua umum Partai Golkar, dia adalah Indra J Piliang. Indra yang saat itu masih menjadi pengamat politik, menulis hal itu dalam pengantar di buku saya itu. Ternyata prediksinya benar. Mungkin Indra, yang sekarang jadi kader Partai Golkar, punya kemampuan melihat masa depan.

Buku saya tersebut isinya berbagai macam topik mulai soal globalisasi, industri, teknologi, otonomi daerah, politik, dan lain sebagainya. Namun sebenarnya intisari atau garis besarnya adalah tiga hal yaitu nasionalisme, demokrasi, dan pembangunan ekonomi. Tiga hal itu juga yang saya paparkan kepada para hadirin yang mayoritas mahasiswa dan anak muda saat acara relaunching.

Soal nasionalisme, sering kita melihat bahwa bangsa Indonesia ini kelihatan dikecilkan oleh berbagai bangsa di luar negeri. Bermacam-macam penyebabnya, misalnya karena kita banyak mengirim tenaga-tenaga tidak terdidik ke luar negeri. Bahkan kalau di Malaysia kita dipanggil sebagai Indon. Jadi bukan lagi Indonesia tetapi Indon yang konotasinya orang atau bangsa dengan pengetahuan yang rendah dan bukan bangsa yang besar.

Selain itu, juga karena banyak orang Indonesia yang menjelekkan negeri sendiri di luar negeri. Sejak 1994 sampai 2004 masih saya dengar banyak orang Indonesia sendiri yang meramalkan atau menyatakan bahwa Indonesia akan pecah seperti negara-negara Balkan. Ramalan ini muncul karena dinilai tidak ada lagi rasa nasionalisme di kalangan generasi muda, juga karena ekonomi yang carut-marut.

Namun ternyata itu semua tidak benar dan kita bisa bangkit. Kita tidak pecah dan kita melihat bangsa Indonesia yang satu dari sabang sampai merauke. Nasionalisme harus terus dipupuk karena ini modal utama kita sebagai bangsa. Dalam menghadapi globalisasi, nasionalisme juga dibutuhkan. Kita tidak mungkin tidak ikut dalam globalisasi. Globalisasi tak bisa dihindari, tapi kita harus pandai memperkuat pilar-pilar ekonomi kita sesuai kepentingan kita.

Misalnya dalam pejanjian ekonomi dengan negara lain, jangan sampai itu merugikan kepentingan nasional kita. Jangan sampai perjanjian itu menyebabkan deindustrialisasi karena banyaknya barang dari luar negeri masuk ke Indonesia dengan bea masuk nol persen. Juga masuknya pakaian bekas dan hal-hal lain yang merugikan industri dalam negeri. Sakitnya adalah bahwa barang murah dari luar ini masuk, tanpa mereka perlu membuat lapangan pekerjaan buat rakyat Indonesia. Artinya kita membayar lapangan pekerjaan di luar negeri.

Seharusnya impor hanya untuk industri atau produk-produk yang secara natural memang tidak bisa bersaing. Ini semua terkait dengan nasionalisme. Nasionalisme ini perlu selalu kita kedepankan dalam segala hal termasuk perjanjian ekonomi.

Soal demokrasi, saya jelaskan bahwa masalah demokrasi ini kita mengalami kemajuan. Di masa lalu, di zaman Orde Baru, kita tidak punya kebebasan berserikat, kita tidak punya kebebasan bercakap, kita tidak punya kebebasan menyampaikan pikiran kita. Meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi ada ketidakpuasan karena tidak ada kemampuan kita menyampaikan pendapat secara bebas.

Kita sebagai manusia tidak hanya berbicara mengenai perut. Selain berbicara soal sandang, pangan, papan, kita bicara kesehatan dan pendidikan. Setelah itu, kita perlu bisa menyampaikan pendapat tanpa terganggu orang lain. Nah, ini ada dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang hakiki, selain kita punya hak orang lain juga punya hak. Sementara kita justru sering lupa orang lain juga punya hak, kita sering lupa bahwa hak dan tanggungjawab adalah hal yang harusnya selaras.

Terakhir masalah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tujuannya untuk dapat mensejahterakan kehidupan rakyat. Kesejahteraan rakyat ini penting, rakyat tidak akan bangga menjadi bagian bangsa kalau perutnya kosong. Bahkan dalam agama Islam disebutkan bahwa orang yang fakir bisa berpotensi menjadi kafir. Kebanggaan tidak akan ada tanpa kesejahteraan dan kesejahteraan tidak akan ada tanpa pembangunan ekonomi.

Untuk lebih langkapnya mengenai bahasan ketiga hal tersebut bisa membaca di buku saya dengan banyak topik. Mudah mudahan buku ini bisa jadi sumbangan pemikiran bagi negeri tercinta ini. Semoga buku saya itu juga bisa menjadi tambahan ilmu, khususnya bagi para mahasiswa dan generasi muda. Karena di tangan merekalah terletak masa depan bangsa.

Dirgahayu Negeriku

Pidato Politik Peringatan HUT Proklamasi RI. Jakarta 16 Agustus 2011

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air

Hadirin yang saya cintai

Marilah kita panjatkan puji dan syukur kahadirat Allah SWT. Kita diberi berkah yang mahabesar, diberikan amanah untuk merawat sebuah negeri yang indah, sebuah negeri yang menjadi zamrud khatulistiwa.

Kini Indonesia memasuki usia 66, sebuah perjalanan yang sudah cukup panjang, dalam suka duka, naik turun, terkadang terombang-ambing di antara harapan dan kecemasan. Indonesia telah berjalan cukup jauh dan alhamdulillah, sejauh ini bangsa kita mampu bertahan, bahkan dari waktu ke waktu menunjukkan adanya kemajuan, dan patut kita syukuri.

Secara jujur, harus kita akui bahwa sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini, tujuan dan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 masih belum terwujud sesuai yang diharapkan. Bahkan, meskipun Indonesia telah berjalan cukup jauh, tetapi masih “sangat jauh” dari capaian cita-cita proklamasi.

Pembangunan yang dilaksanakan belum merata, bahkan belum menyentuh sebagian besar masyarakat pedesaan, sehingga masih sangat terasa adanya ketimpangan dan kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi, yang sewaktu-waktu dapat memicu terjadinya konflik sosial, seperti terjadi pada kasus-kasus sebelumnya di beberapa daerah.

Karena itulah, dalam momen perayaan kemerdekaan saat ini, bertepatan malam Nuzulul Qur’an, perkenankanlah saya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar untuk menghimbau semua pihak, pemerintah, parlemen, partai politik, dan seluruh elemen bangsa : marilah kita melangkah bersama, melupakan perbedaan, mempererat persamaan serta jalinan persaudaraan untuk mengisi kemerdekaan, mendorong kemajuan bangsa yang kita cintai ini.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air

Hadirin yang saya cintai

Secara khusus, saya ingin mengajak kita semua untuk lebih meningkatkan simpati kepada saudara-saudara kita yang masih tergolong dalam kategori “rakyat kecil”, yaitu mereka yang masih relatif tertinggal, masih berada di garis batas kemiskinan, serta rakyat kita yang masih menanggung beban hidup yang berat. Jumlah mereka mencapai 30 juta jiwa lebih, sebuah jumlah yang amat besar, sebesar tanggung jawab dan kewajiban kita untuk melakukan berbagai upaya agar beban hidup mereka tidak semakin berat.

Saya ingin mengingatkan, bahwa disamping gemerlap perkotaan dan pembangunan gedung-gedung yang tinggi, sebagian besar rakyat Indonesia masih bekerja sebagai petani, nelayan, buruh, pegawai kecil, pedagang dan pekerja di sektor informal. Kita tidak pernah boleh lupa pada mereka. Jangan tinggalkan mereka. Justeru semua upaya pembangunan yang kita laksanakan, justru semua prioritas kebijakan yang bisa kita lakukan, harus ditujukan pada perbaikan nasib mereka.

Rakyat kecil harus mampu terus berharap bahwa suatu waktu kelak, nasib anak-anak mereka akan jauh lebih baik dari nasib yang sekarang mereka alami. Rakyat kecil harus bisa melihat, bahwa kaum pemimpin memang memikirkan nasib dan penderitaan mereka, bukan pemimpin yang hanya memikirkan nasib dan kesenangan diri serta kelompoknya.

Itulah tugas yang sangat mulia. Itulah harapan yang perlu kita sambut dengan kerja keras, dengan dedikasi, serta dengan jiwa yang tulus dan ikhlas.

Jangan biarkan rakyat terus berada dalam kemiskinan. Tekanan hidup yang terlalu berat akan mengikis kebanggaan sebagai warga negara. Demikian pula, kesenjangan yang semakin tajam antara yang kaya dan yang miskin, antara kota dan desa, termasuk mereka yang berada di daerah perbatasan dan daerah-daerah yang terpencil: kesenjangan ini niscaya akan mengikis rasa nasionalisme dan menggoyahkan pilar-pilar persatuan Indonesia.

Karena itulah, dalam momen perayaan kemerdekaan ini, marilah kita sekali lagi memperbaharui tekad bersama, merealisasikan semangat nasionalisme secara konstruktif dengan panduan ideologi Pancasila dan pemikiran-pemikiran yang cerdas dengan sepenuh hati, jika perlu dengan memberi pengorbanan sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Do not ask what your country can do for you. Ask what you can do for your country. Jangan meminta, tetapi bangkit dan berusahalah memberikan kontribusi bagi kemajuan bersama seluruh bangsa Indonesia.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air

Hadirin yang saya muliakan

Kepada pemerintah, Partai Golkar menghimbau agar mempertajam prioritas kebijakan pembangunan yang didukung politik anggaran yang memihak kepada rakyat. Sehingga, penciptaan jutaan lapangan kerja memang sungguh terjadi, melalui percepatan pembangunan infrastruktur, prioritas penggunaan produksi dalam negeri, perluasan perdagangan, kebijakan fiskal, insentif perbankan, dan semacamnya. Program bantuan langsung kepada rakyat, program pemerataan dan perlindungan yang adil, pengurangan biaya pendidikan, stabilisasi harga-harga: semua ini perlu kita dorong dengan lebih intensif lagi.

Selain itu, pemerintah juga masih perlu meningkatkan kinerja dalam menciptakan kepastian hukum, menjaga integritas NKRI, serta menciptakan birokrasi yang bersih dan berwibawa. Sudah terlalu lama kita mendengar seruan tentang pemerintahan yang bersih dan berwibawa – pemerintahan yang berwibawa karena sungguh-sungguh jujur dan melaksanakan amanat rakyat, pemerintahan yang mengerti bahwa rakyat merindukan pimpinan yang tegas tapi adil, kuat tapi ramah, dan pemimpin yang berani karena benar.

Insya Allah, dalam waktu tidak terlalu lama lagi, kerinduan rakyat semacam itu akan segera terjawab. Insya Allah, Pemerintah Republik Indonesia mendengarkan suara rakyat, dan berusaha semakin giat lagi di hari-hari mendatang.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air

Hadirin yang saya muliakan

Kepada partai politik dan kekuatan politik lainnya, baik di parlemen maupun di luar parlemen, kita juga menghimbau bahwa dalam momen perayaan 17 Agustus ini, marilah sejenak kita melupakan warna masing-masing. Saya tidak akan pernah bosan untuk mengingatkan bahwa, jika negara dan bangsa membutuhkan, maka tidak boleh ada kuning, merah, biru, hijau atau putih. Yang ada adalah merah putih. Kita semua berada dalam perahu yang sama. Kita memiliki kepentingan yang sama, yaitu kemajuan Indonesia, kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.

Itulah tujuan politik besar kita. Saat ini ada beberapa indikasi bahwa rakyat semakin jenuh dan apatis dengan politik dan partai politik. Kita harus jujur dan melakukan refleksi diri. Memang, demokrasi kita sudah semakin matang, tetapi masih cukup banyak kelemahan yang terlihat dari hari ke hari. Kekuasaan seperti candu, sering membuat kita lupa diri, mabuk, kehilangan keseimbangan, menghalalkan segala cara untuk kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan lagi sebagai alat bagi pencapaian kemajuan bersama.

Karena itu, melalui momen 17 Agustus ini, marilah kita bertekad untuk mengembalikan politik ke jalannya yang benar. Politik adalah wilayah perjuangan dan pengabdian, sebuah tempat di mana kita menggagas dan merealisasikan mimpi dan cita-cita bersama, yaitu politik bermartabat yang dipandu oleh ideologi politik, bukan bersandar pada pragmatisme politik.

Politik bukan sekedar kekuasaan, dan pemerintahan bukan semata kedudukan dan jabatan. Kekuasaan dan jabatan adalah amanah, tugas dan tanggung jawab, bukan sekedar kehormatan, bukan sekedar keistimewaan dan yang pasti bukan fasilitas. Dalam politik dan pemerintahan terkandung azas-azas moral yang bermuara pada kepentingan bersama. Karena itulah, mereka yang berada pada profesi dan bidang politik, dituntut untuk melaksanakan amanah mulia ini, sebuah mission sacre bagi putra dan putri terbaik bangsa ini.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air

Hadirin yang saya muliakan

Kepada seluruh elemen bangsa, saya ingin mengingatkan bahwa pada saat bangsa kita memperingati hari kemerdekaannya yang ke-66 ini, hal yang sangat memprihatinkan adalah masih terasa adanya krisis kepercayaan antar-sesama anak bangsa. Interaksi sosial lebih diwarnai sikap saling curiga, sulit bekerjasama, mudah diadu domba, berita negatif lebih disukai ketimbang berita positif, serta, tidak suka melihat orang maju dan senang melihat orang susah. Sehingga, apapun yang dilakukan, bahkan hal-hal yang baik dan bermanfaat sekalipun, tidak dipercaya dan selalu direspons negatif. Kesemuanya itu, menjadi pertanda esensi persatuan terkoyak dan keropos.

Karena itu, marilah kita kembali merajut rasa percaya di antara kita, trust building. Kita harus senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai dasar kehidupan bangsa, memperkuat modal historis dan modal sosial yang dimiliki bangsa kita, memupuk kembali rasa senasib sepenanggungan, meperkokoh solidaritas, mengembalikan harapan dan cita-cita bersama, mengembangkan empati dan toleransi, menguatkan ikatan batin antar-sesama anak bangsa. Sehingga, dalam kehidupan kebangsaan, kita istiqomah, satu kata dan perbuatan, serta tidak ada dusta di antara kita.

Lebih dari itu, kita harus mempertegas komitmen untuk mengakhiri transisi politik dan memperkuat konsolidasi demokrasi. Konsekuensinya, kita harus mengakhiri fase transisi politik yang penuh dengan politicking, intrik-intrik, bahkan fitnah-fitnah politik, menggantinya dengan mengedepankan tradisi perdebatan konseptual dan persaingan kualitatif.

Dalam kerangka memperkuat konsolidasi demokrasi itulah, kita harus konsisten dalam melakukan penataan sistem kehidupan kebangsaan menuju Negara Kesejahteraan yang didasarkan pada konstitusi, tidak lagi melakukan pembongkaran-pembongkaran yang tambal sulam seperti yang terjadi selama ini.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air

Hadirin yang saya cintai

Dengan melangkah bersama, banyak hal yang bisa kita capai. Dunia sekarang memberikan begitu banyak kesempatan bagi bangsa yang kreatif, tekun, dan sanggup bekerja keras. Bangsa yang maju adalah bangsa yang tidak gampang mengeluh. Bangsa yang maju adalah bangsa yang tahan ditempa oleh tantangan seberat apapun, sebuah bangsa yang oleh Bung Karno disebut sebagai bangsa berotot baja dan bertulang besi.

Dalam hal ini, Partai Golkar ingin menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang memang berotot baja dan bertulang besi, yang menyambut hari esok dengan penuh optimisme dan tangan yang terbuka.

Dunia sekarang terus bergerak cepat, dengan perkembangan teknologi yang tidak pernah berhenti, dengan pergerakan finansial, barang, jasa, dan pergerakan manusia yang semakin mudah dan terbuka. Those who refuse to compete will die, mereka yang tidak mampu berkompetisi akan hilang ditelan zaman atau melangkah terseok-seok di pinggir sejarah.

Sebaliknya, bangsa-bangsa yang kreatif, kompetitif serta sanggup bekerja keras akan mampu melangkah cepat, hanya dalam satu generasi, keluar dari jebakan kemiskinan dan ketertinggalan untuk berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air

Hadirin yang saya cintai

Syukur alhamdulillah, Indonesia sejauh ini tidak termasuk sebagai negara yang terseok atau negara yang gagal. Golkar akan menjaga, Golkar bertekad agar Indonesia tidak akan pernah dimasukkan ke dalam kategori yang malang ini. Pertaruhannya adalah nasib jutaan anak-anak kita di seantero Tanah Air.

Sebaliknya, marilah kita manfaatkan potensi bangsa kita, serta peluang yang dibuka oleh globalisasi dunia saat ini dan di masa mendatang, untuk mengukir prestasi gilang gemilang, menciptakan universitas terbaik, meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah, membangun fasilitas umum, membuka lapangan kerja, dan sebagainya.

Saya yakin, dengan melangkah bersama, dengan menyatukan segenap potensi bangsa, kita mampu, kita sanggup mencapai semua itu.

Tidak ada gunung yang terlalu tinggi. Tidak ada sungai yang terlalu lebar. Tidak ada laut yang terlalu dalam: sejauh tekad kita bulat, sejauh jiwa kita kuat, sejauh langkah kita sama, Insya Allah, dengan restu Allah yang Maha Besar, bangsa Indonesia akan sanggup mencapai cita-cita mulia menuju hari esok yang lebih cerah.

Dirgahayu Republik Indonesia

Maju Terus Negeriku…..

Amanat rakyat jadi panduan……

Rahmat Tuhan jadi kekuatan……

Mari berkarya dalam pembangunan….

Mewujudkan cita-cita proklamasi…..

Hidup Bangsa Indonesia…..

Wabillahitaufiq walhidayah

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Tentang Ilmu, Cinta, dan Kemajuan

Pidato Penghargaan Achmad Bakrie ke-9. Jakarta, 14 Agustus 2011.

Hadirin yang saya muliakan

Saudara-saudara yang saya hormati

Assalamualaikum WR. WB.

Salam sejahtera buat kita semua

Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran saudara-saudara semua pada malam Penghargaan Achmad Bakrie yang ke-9 ini. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Freedom Institute, kepada antv, tvOne, VIVAnews, Yayasan Bakrie untuk Negeri, serta kepada begitu banyak pihak yang telah membantu suksesnya acara ini.

Penghargaan Achmad Bakrie setiap tahun sengaja diadakan menjelang acara peringatan 17 Agustus. Kemerdekaan adalah sebuah rahmat. Dan dengan Malam Penghargaan ini, kami ingin memberi pesan, terutama kepada generasi muda Indonesia, bahwa pengabdian pada dunia ilmu, teknologi, kesusastraan, kedokteran dan pemikiran sosial adalah kunci kemajuan yang tak pernah boleh kita lupakan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus mendorong agar pengabdian dan dedikasi di bidang-bidang yang penting tersebut terus berkembang dan berlanjut, dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya.

Oleh karena itu, sejak tahun 2003, dan kemudian di kembangkan secara bertahap, Penghargaan Achmad Bakrie diberikan kepada tokoh-tokoh Indonesia yang memang telah menghasilkan karya dan mengabdikan hidup dan kehidupan mereka dalam pengembangan dunia keilmuan, sastra, pemikiran sosial, kedokteran, teknologi dan penelitian dasar.

Saya berharap bahwa dalam sisa hidup saya, saya masih diberi kebanggaan untuk melihat salah seorang putra atau putri Indonesia terpilih menjadi pemenang Hadiah Nobel yang bergengsi itu. Insya Allah.

Saudara-saudara yang saya muliakan

Hadirin yang saya hormati

Pada malam yang berbahagia ini, mewakili keluarga besar kami, saya ingin mengucapkan selamat dan menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para tokoh dan anak bangsa terbaik Indonesia yang terpilih memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie 2011. Tokoh-tokoh ini telah memberikan dedikasi, pengabdian, serta prestasi dalam berbagai bidang penting kehidupan. Mereka adalah adalah pembuka jalan, men and women on the frontiers of progress.

Pada malam yang berbahagia ini, walau dalam suasana yang cukup meriah, kita juga ingin menyampaikan duka yang dalam atas berpulangnya salah satu pemenang Penghargaan Achmad Bakrie 2011.

Almarhum Adrian B. Lapian, yang baru saja meninggalkan kita beberapa minggu yang lalu, adalah sejarawan maritim yang tanpa henti mengingatkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara maritim yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara pulau yang dikelilingi laut. Beliau juga mengingatkan kita, bahwa laut bukanlah pemisah, tetapi penghubung serta pemersatu gugusan pulau yang berada di zamrud khatulistiwa ini.

Nh. Dini telah menjalani hidup yang panjang sebagai seorang sastrawan. Dalam karya-karyanya selama lebih 60 tahun, ia telah memperkuat realisme, merintis gagasan anti-patriarkhi, serta mendalami novel autobiografis dalam sastra Indonesia. Novel-novelnya telah menjadi inspirasi bagi penulis perempuan dalam sastra Indonesia kontemporer.

Satyanegara yang telah lama melakukan kajian imunologis tumor otak, menemukan protein dan antibodi spesifik tumor otak. Ia merupakan pelopor yang menentukan standar rumah sakit di Indonesia berdasarkan riset-riset kedokteran terbaru di dunia, dan juga penulis dari satu-satunya buku teks ilmu bedah saraf dalam bahasa Indonesia.

Jatna Supriatna, yang memperteguh pentingnya Wallace Area dengan menjadikan Sulawesi sebagai laboratorium alam untuk mendeduksi proses evolusi. Primata hibrida yang ditemukannya menarik perhatian dunia, sementara gerakan konservasi yang dilakukannya berhasil membuat sejumlah kawasan menjadi taman nasional, semacam “Bahtera Nabi Nuh Baru” bagi berbagai makhluk yang terancam punah.

FG Winarno meletakkan dasar sekaligus mengembangkan ilmu dan teknologi pangan di Indonesia. Ia adalah ilmuwan Asia pertama yang menjadi presiden Codex Alimentarius Commission, yang didirikan oleh FAO dan WHO di Roma. Selain membuat standar pangan dunia untuk beberapa makanan Indonesia, FG Winarno juga menulis ratusan makalah ilmiah, buku, serta tengah menyelesaikan ensiklopedia pangan Indonesia.

Hokky Situngkir yang lahir 7 Februari 1978, telah melakukan banyak penelitian menarik. Ia dengan sadar memanfaatkan perkembangan terbaru dalam ilmu dan teknologi modern, khususnya teori sistem kompleks. Hokky memprakarsai pembuatan Ensiklopedi Budaya Nusantara yang penting dalam merawat dan mengembangkan hazanah budaya Indonesia.

Kepada mereka semua (kepada AB Lapian, Nh Dini, Satyanegara, Jatna Supriyatna, FG Winarno, dan Hokky Situngkir) kepada mereka kita harus berterima kasih. Sebagai bangsa, kita bangga kepada mereka. Semoga anak-anak bangsa kita dari Sabang hingga Merauke mampu belajar dan tumbuh berkembang lewat contoh dan tauladan yang telah diberikan oleh berbagai tokoh seperti AB Lapian, Nh Dini, Satyanegara, Jatna Supriyatna, FG Winarno, dan Hokky Situngkir.

Saudara-saudara yang saya muliakan

Hadirin yang saya cintai

Pada momen seperti ini, menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus, adalah sangat tepat jika kita kembali merenungkan esensi kemerdekaan serta tujuan perjalanan bangsa kita.

Kepada kita semua, dalam momen seperti ini, saya ingin mengulang kembali salah satu ungkapan favorit saya yang pernah dikatakan oleh pahlawan Perang Dunia II, Jenderal Omar Bradley: set your course by the stars, not by the lights of every passing ships. Tetapkan tujuanmu berdasarkan bintang-bintang di langit, bukan pada kerlap-kelip lampu kapal yang datang dan pergi.

Tujuan-tujuan besar, serta keteguhan dan semangat kita untuk terus berusaha mewujudkannya: itulah yang tidak pernah boleh dilupakan dalam upaya bersama kita untuk mengisi dan memberi makna bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Tantangan dan cobaan akan datang silih berganti. Tetapi justru dari tantangan dan cobaan yang berat, justru dalam menghadapi ujian-ujian besar, kita akan tumbuh sebagai bangsa yang lebih kuat lagi. Seperti kata penyair dan filsuf Friedrich Nietzsche, that which does not kill us, makes us stronger.

Karena semua itulah, dalam mencapai tujuan-tujuan besar bangsa Indonesia, kita membutuhkan banyak hal, seperti kepastian hukum, toleransi sosial, pelembagaan demokrasi, dan pembangunan ekonomi. Selain semua hal penting tersebut, hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah muncul dan berkembangnya gagasan-gagasan yang cemerlang, ide-ide yang memperluas cakrawala pengetahuan, dedikasi terhadap ilmu dan teknologi.

Satu-satunya faktor yang konstan dalam memajukan peradaban manusia sejak 500 tahun terakhir adalah gagasan dan ilmu pengetahuan. Francis Bacon, Galileo Galilei, Isaac Newton dan Albert Einstein: mereka bukan sekadar pemikir, ilmuwan, dan penemu. Mereka mengubah cara pandang kita dalam memahami alam semesta, membuka horizon baru tentang kemungkinan pencapaian manusia, seperti pengembangan teknologi dan industrialisasi, serta dengan itu memungkinkan terciptanya peradaban baru umat manusia yang lebih maju lagi.

Dengan mengatakan semua itu tentu saja saya tidak berkata bahwa kemajuan, kesejahteraan dan martabat sebuah bangsa hanyalah ditentukan oleh pencapaian sains, teknologi, atau kemajuan material secara umum. Kita memang membutuhkan pemikiran dan terobosan di bidang natural sciences, tetapi kita juga sangat membutuhkan munculnya kaum penyair dan sastrawan, kaum pemikir sosial dan dokter-dokter yang kreatif dan penuh dedikasi dalam mengabdi pada bidang masing-masing.

Hanya dengan semua itulah kita dapat menjadi sebuah bangsa yang oleh Bung Karno dikatakan sebagai bangsa yang “maju raganya, maju jiwanya.”

Dengan sains dan teknologi kita dapat lebih memahami kenyataan alamiah dan hukum-hukum yang mengaturnya, serta menggunakan pemahaman ini untuk menciptakan alat dan instrumen yang mempermudah dan membantu kehidupan manusia.

Dengan sastra dan kesusastraan, serta dengan perkembangan dunia pemikiran sosial, kita akan memiliki pemahaman yang lebih baik atas masyarakat serta lebih mampu untuk melampaui sebuah proses yang oleh filsuf Immanuel Kant disebut sebagai a self-imposed immaturity.

Lebih jauh lagi, dengan semua ini kita dapat memperkaya kehidupan, mengenal dimensinya yang lebih subtil dan indah, meluaskan cakrawala kita, serta pada akhirnya mendorong kita untuk menghargai kehidupan itu sendiri.

Kepada saya, almarhum Achmad Bakrie pernah berpesan dengan sebuah puisi:

Those who think about money are beggars

Those who think about love are kings

(Mereka yang terus berpikir tentang uang dan harta adalah pengemis

Mereka yang senantiasa mencari cinta akan meraih tahta kehidupan.)

Sastra dan kesusastraan memberi kita cinta, mengenalkan sisi kehidupan yang penuh makna, membentangkan harapan dan kekecewaan, dan karena itu menjadi cermin bagi kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Saudara-saudara yang saya muliakan

Hadirin yang saya hormati

Kita patut bersyukur bahwa dengan segala masalah yang ada, Indonesia tetap masih terus berusaha mengembangkan dunia pendidikan yang lebih baik, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, serta, dengan demokrasi yang lebih terlembaga, memberi ruang yang semakin leluasa bagi kaum penulis untuk berkarya.

Tetapi tentu saja, kita berharap bahwa di masa-masa mendatang, upaya mulia ini akan terus dikembangkan dengan lebih baik lagi, sehingga universitas kita dapat menyamai mutu universitas-universitas terbaik di luar negeri, anak-anak SMA kita menikmati buku dan fasilitas yang semakin baik, serta kaum pemikir dan penulis kita memperoleh lingkungan serta fasilitas penelitian yang lebih maju lagi.

Insya Allah, dalam sisa usia dan jalan pengabdian hidup saya di tahun-tahun mendatang, saya beserta seluruh keluarga besar Achmad Bakrie akan memberi kontribusi sejauh mungkin agar anak-anak Indonesia semakin memperoleh fasilitas belajar yang lebih baik sehingga mereka dapat mencari ilmu setinggi mungkin serta mengasah kepekaan jiwa mereka sehalus mungkin.

Akhirnya, saya berterima kasih atas kehadiran saudara-saudara semua dalam acara ini. Sekali lagi saya ingin menghaturkan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2011.

Semoga anak-anak bangsa Indonesia terus mengukir prestasi yang cemerlang di masa-masa mendatang.

Wabillahi taufiq walhidayah

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Bergaul Luas dan Menjaga Persahabatan

Oleh: H. Azkarmin Zaini

Wartawan, Sahabat Lama

Dng Aburizal Bakrie 1Semasa di SMA 3/Teladan B Negeri, Setiabudi – Jakarta (1961-1964), sebagai teman di sekolah dan sahabat di luar sekolah, ada beberapa hal yang menonjol pada Aburizal Bakrie atau sering dipanggil Ical. Yang paling menonjol adalah, ia selalu menjadi bintang kelas karena nilai rapornya selalu bertengger di atas. Menjadi bintang kelas juga merupakan “trade mark” ketiga adik Ical, yaitu Roosmania (Odi), Nirwan (Iwan), dan Indra.

Ical sangat bersungguh-sungguh dalam belajar. Kalau dia punya pekerjaan rumah (PR), apalagi kalau besok ada ulangan, jangan harap Ical mau diajak bepergian. Andaikata kurang puas dengan hasil ulangan, dia terlihat kesal. Tapi kekesalan itu dilampiaskannya dengan lebih keras lagi belajar mata pelajaran itu.

Kami bersahabat berenam, yang sebagian di antaranya, termasuk saya, seangkatan tapi tidak sekelas dengan Ical. Namun di luar kelas selain bermain sehari-hari, kami juga sering belajar bersama. Kadang kami belajar di rumah Ical di Jalan Mataram I/1 Kebayoran Baru, kadang di rumah teman lain. Menjelang ujian akhir SMA, kami belajar bersama di rumah peristirahatan Keluarga Bakrie di Cibulan, Puncak. Dalam belajar bersama,Ical biasa menjadi tempat bertanya, jika ada pelajaran yang kami tidak mengerti.

Aburizal juga terkenal banyak teman. Ical disukai kawan-kawannya, baik pria maupun kawan wanita. Selain pintar, ia “anak orang kaya” yang rendah hati, tidak sombong, bahkan luwes bergaul.Karena itu pergaulannya luas sekali. Di sekolah maupun di luar sekolah, Ical, saya, dan 4 kawan lagi, jadi kami berenam, bersahabat baik. Kami bermain bersama, jalan bersama, nonton bersama, belajar pencak silat bersama, bermain badminton bersama.

Kami pernah bermain band bersama, meski cuma sekadar untuk tampil pada acara perpisahan sekolah. Nama band kami The BE’s, singkatan dari “Basket Eyes” hehe. Ical memegang lead guitar. Band The BE’s dibentuk spontan hanya sekitar dua mingguan menjelang acara perpisahan sekolah. Kami berlatih Cuma beberapa kali, lalu tampil saat acara perpisahan sekolah. Ternyata sambutan para hadirin atas penampilan kami cukup membuat kami senang. Tapi setelah tampil di perpisahan itu, band The BE’s mati begitu saja. Niat kami memang bukan membentuk band permanen.

Semasa SMA dulu, kalau hari Jumat pulang sekolah, saya sering ke rumah Ical. Lalu kami pergi sembahyang Jumat bersama. Adik laki-laki Ical, yaitu Iwan dan Indra, juga ikut. Ayah Ical, Haji Achmad Bakrie, juga biasa pergi sholat Jumat bersama anak-anak. Dari rumahnya depan pom bensin Jalan Mataram, kami berjalan kaki bersama menuju Masjid Agung Al Azhar yang jaraknya hanya sekitar 200 meter. Pak Achmad Bakrie, Ical, Iwan, Indra, dan saya. Kadang kalau waktu sudah mepet, kami pun naik mobil.

Setelah tamat SMA, meski Ical tidak lagi di Jakarta, sampai beberapa tahun kemudian kalau hari Jumat saya masih sering singgah di rumah Jalan Mataram I/1. Lalu saya pergi sembahyang Jumat ke Masjid Agung Al Azhar dengan Iwan dan Indra, kadang juga bersama Pak Haji Achmad Bakrie.

Pak Haji Achmad Bakrie pernah saya tanya, mengapa kalau hari Jumat tengah hari beliau sering ada di rumah. Katanya, beliau sengaja memerlukan pergi bersembahyang Jumat bersama anak-anak untuk mendidik mereka bahwa sholat Jumat itu wajib hukumnya, sebagaimana juga sholat lima waktu. Pak Haji Achmad Bakrie memang biasa mendidik anak-anaknya dengan memberi contoh tauladan.

Meski saya bersama teman-teman The BE’s bersahabat akrab, kami semua menyadari bukan cuma kami saja sahabat Ical. Ada sejumlah teman lain yang juga menjadi sahabat Ical, baik teman sekelasnya dan juga yang tidak sekelas. Selain itu, ia juga tetap setia membina persabahatan dengan teman-teman sekolah masa kecilnya. Saya pun terbawa berteman dengan beberapa teman masa kecil Ical.

Semasa mahasiswa pun saya tahu ia punya sejumlah sahabat. Beberapa di antara sahabat mahasiswanya juga saya kenal karena kadang saya ikut Ical ke Bandung dan ikut bergaul dengan teman-teman mahasiswanya. Setelah lulus, di kemudian hari, banyak sahabatnya menjadi pengusaha, juga pegiat berbagai organisasi. Demikian juga Aburizal Bakrie sudah menjadi pengusaha besar yang bahkan sempat dijuluki “orang terkaya di Indonesia”, dan sekarang sudah menjadi tokoh nasional dan salah satu pemimpin bangsa ini.

Namun, persahabatan Ical dengan saya, dengan teman-teman masa SMA-nya yang lain, bahkan dengan teman-teman masa TK-SD-SMP-nya, dengan para sahabatnya yang lain dari berbagai masa dan kalangan, tak pernah putus. Sekali-sekali, Ical yang supersibuk masih menyisihkan waktu untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Entah itu para sahabat masa SMA, masa kecil, ataupun sahabat dari berbagai masa dan kalangan. Dan kalau sudah berkumpul dengan para sahabat, Ical betul-betul melepas segala atribut yang tersandang di pundaknya. Ia larut dalam obrolan santai, ia bercanda, ia tertawa terpingkal-pingkal saat bercerita lucu atau mendengar cerita yang lucu menggelikan.

Pada setiap bulan Ramadan misalnya, keluarga Aburizal Bakrie biasa mengundang berbuka puasa dan shalat tarawih banyak kalangan. Di antara yang diundangnya pasti terdapat banyak sahabatnya, sahabat sekarang maupun sahabat lama.

Silaturahmi tetap terjaga sampai kami sama-sama berusia “kepala 6″ sekarang. Aburizal Bakrie orang yang sangat menghargai dan menjaga persahabatan.

Rebut Kembali Kawasan Timur

Kawasan Timur Indonesia selama ini dikenal sebagai lumbung suara Partai Golkar. Dalam sejarah pemilihan umum (pemilu), kawasan ini menyumbangkan suara yang signifikan bagi Partai Golkar. Karena itu, Kawasan Timur Indonesia memiliki arti penting bagi Partai Golkar. Pada tahun 1999 lalu, di saat kepercayaan publik terhadap Partai Golkar menurun, bahkan banyak suara yang mendesak agar Partai Golkar dibubarkan, Kawasan Timur Indonesia masih menunjukkan kepercayaannya. Terbukti, di pemilu tahun itu Golkar mengantongi 45,1 persen suara.

Namun, yang terjadi berikutnya adalah sebaliknya. Dalam 10 tahun terakhir, tiba-tiba suara Partai Golkar di kawasan ini menurun drastis. Catatan pemilu 2004 dan 2009 menunjukkan suara Partai Golkar menurun di Kawasan Timur Indonesia. Pada pemilu 2004 suara Golkar tergerus hingga hanya membukukan suara sebesar 32,6 persen. Tahun 2009 kondisinya lebih parah lagi, suara Golkar di kawasan ini hanya memperoleh 20 persen.

Kehadiran partai-partai baru tak dibantah ikut andil dalam penurunan suara ini. Dari tiga pemilu, lima partai baru berhasil mendulang suara sebesar 32 persen dari total suara di Kawasan Timur Indonesia.Sementara itu, Partai Golkar mengalami penurunan hingga 25 persen. Ini adalah kemunduran yang menyedihkan. Ini adalah tamparan serius bagi Partai Golkar yang selama ini dikenal punya basis kuat di kawasan itu. Ini bisa juga dibaca bahwa kepercayaan rakyat di kawasan itu mulai berkurang.

Masalah ini harus segera diatasi. Karena itu, Jumat, 29 Juli lalu, saya mengumpulkan pengurus Partai Golkar yang ada di Kawasan Timur Indonesia. Mereka kami kumpulkan dalam Rapat Koordinasi dan Konsolidasi Partai Golkar wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta. Dalam pertemuan ini hadir para pengurus Golkar di Kawasan Timur, dan Fadel Muhammad, yang baru saja kami lantik menjadi Wakil Ketua Umum Partai Golkar yang bertanggung jawab atas kawasan ini.

Kepada mereka saya amanatkan agar melacak sumber-sumber penurunan suara Partai Golkar. Selanjutnya, kami akan menentukan langkah-langkah koreksi guna meraih kemenangan di pemilu 2014. Mereka bertekad melakukan hal itu dan merancang strategi untuk merebut kembali suara di kawasan tersebut. Karena itu mereka membuat slogan perjuangan: “Ayo Bung Rebut Kembali!” Bahkan mereka juga menyadur lagu Halo Halo Bandung yang diubah liriknya menjadi lagu perjuangan merebut kembali suara kawasan ini.

Besar harapan saya kepada kader di Kawasan Timur Indonesia ini. Saya yakin dengan kerja keras dan strategi yang bagus, suara di kawasan ini bisa direbut kembali. Maka kepada mereka saya memberikan target yang tinggi yaitu 40 persen suara. Target ini lebih besar jika dibandingkan target yang saya berikan untuk Kawasan Barat Indonesia yaitu 30 persen. Ini karena saya percaya bahwa Kawasan Timur Indonesia merupakan basis Golkar dan kader-kader di sana akan bisa merebut kembali kepercayaan rakyat yang sempat menurun.

Jika dua target itu, baik di Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia bisa tercapai, maka target nasional 33 persen suara Partai Golkar pasti akan tercapai. Jika itu terjadi maka bisa dipastikan Partai Golkar akan kembali menjadi pemenang. Partai ini akan kembali merebut kejayaan seperti yang selama ini kita impikan.

Kader harus optimis. Penurunan itu memang membuat kami sedih. Tapi, dengan semangat maju dan optimis, hal itu bisa dilihat sebagai peluang. Ini peluang yang baik dan kesempatan bagi para kader untuk membuktikan darmabaktinya kepada partai yang kita cintai ini, melalui karya nyata. Buktikan dengan karya nyata bahwa kita bisa merebut kembali Kawasan Timur Indonesia.

Kepada kader di Kawasan Timur Indonesia ini saya mengatakan ada tiga hal yang harus dilakukan.Pertama, kader Partai Golkar harus mampu mengelola isu yang menjadi fokus perhatian masyarakat. Kedua, memberikan solusi untuk masalah yang dihadapi masyarakat. Dan yang ketiga, kader harus menunjukkan kisah sukses Golkar dalam membawa aspirasi masyarakat yang tentunya dengan disertai bukti karya nyata mereka. Jika itu dilakukan dengan baik, maka simpati masyarakat akan kembali datangdan suara mereka akan bisa kita rebut kembali.

Selamat berjuang. Mari Bung rebut kembali!

Berbagi Pengalaman dengan Partai Demokrat Timor Leste

Partai Partai Golkar yang saya pimpin, terus melebarkan sayap kerjasamanya dengan partai politik di manca negara. Setelah sebelumnya menindaklanjuti kerjasama dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT), Partai Demokrat Liberal Jepang dan United Malays National Organisation (UMNO) Malaysia, kini giliran Partai Demokrat di Timor Leste.

Senin, 11 Juli 2011 lalu, Partai Demokrat Timor Leste berkunjung ke Kantor DPP Partai Golkar, di Slipi, Jakarta. Ketua Umumnya Fernando La Sama de Araujo datang bersama rombongan antara lain Joao Azevedo (Penasihat), Marcia Correia de Lemos (Sekretaris), Benevides Correia Baros dan Marcelino Ximenes Magno. Sedangkan saya ditemani beberapa petinggi DPP Partai Golkar antara lain Theo L. Sambuaga (Wakil Ketua Umum), Idrus Marham (Sekretaris Jenderal) dan Iris Indira Murti (Ketua Bidang Kerja Sama Internasional).

Pertemuan ini berlangsung cukup hangat. Bertemu dengan saudara-saudara kita dari Timor Leste ini seolah bukan bertemu dengan orang dari negara lain saja. Secara kebudayaan, kita masih relatif sama. Maklum saja, kita masih berada dalam wilayah geografis yang sama, dan dulunya juga pernah menjadi satu negara, saat Timor Leste masih menjadi salah satu propinsi di Republik Indonesia dengan nama Timor Timur.

Bahkan sampai saat ini mereka masih memakai Bahasa Indonesia, termasuk saat berbincang dengan saya. Timor Leste memiliki dua bahasa resmi, yaitu Bahasa Tetun dan Bahasa Portugis. Selain itu, dalam konstitusinya disebutkan pula bahwa Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dijadikan bahasa kerja. Dalam praktek keseharian, masyarakat banyak menggunakan bahasa Tetun Portugis sebagai bahasa ucap. Bahasa Indonesia banyak dipakai untuk menulis. Misal, anak sekolah di tingkat SMA masih menggunakan bahasa Indonesia untuk ujian akhir. Banyak mahasiswa dan dosen lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan menulis karangan ilmiah.

Jadi, dalam pertemuan yang berlangsung selama sekitar satu jam itu kami merasa seperti pertemuan saudara. Banyak hal yang kami bicarakan. Namun, intinya kami membahas secara spesifik tentang upaya kerja sama kedua parpol di masa mendatang. Partai Demokrat Timor Leste yang usianya masih relatif muda, seperti halnya usia negaranya, melihat Partai Golkar adalah partai yang sangat mapan, baik dari segi struktur maupun pengalaman. Karena itu mereka ingin agar bisa bekerjasama, di mana Partai Golkar mau berbagi pengalaman dengan mereka tentang metode dan proses kaderisasi partai.

Selain itu, Fernando yang juga Presiden Parlemen Timor Leste itu juga meminta bantuan Partai Golkar untuk menjadi pemantau dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Timor Leste pada tahun 2012 mendatang. Dalam pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota parlemen itu, Partai Demokrat ingin memastikan bahwa pesta demokrasi tersebut berlangsung secara demokratis, jujur dan adil.

Menjawab hal itu, saya katakan pada Fernando bahwa Partai Golkar akan dengan senang hati bekerjasama dengan siapa saja. Partai Golkar yang memang secara usia lebih senior, tentu sangat senang untuk membantu. Karena itu, DPP Partai Golkar segera

menindaklanjuti rencana kerja sama tersebut. Misal, menyiapkan kurikulum atau silabus kaderisasi yang dimiliki Partai Golkar, yang mungkin dapat sebagiannya diadopsi oleh Partai Demokrat Timor Leste. Jika memang diperlukan juga, Partai Golkar bakal menyiapkan tim asistensi. Tetapi, sebelum itu, masing-masing Sekretaris Jenderal dari kedua partai akan bertemu untuk membahas secara teknis hal-hal yang perlu dikerjasamakan.

Mengenai pemilu, saya menyambut baik permintaan tersebut. Saya katakan kepada Fernando bahwa Partai Golkar akan menyiapkan sebuah tim untuk melakukan pemantauan proses Pemilu di Timor Leste. Sekjen, Idrus Marham, yang akan menindaklanjutinya pada tingkat teknis operasional.

Dalam berbagi pengalaman dua partai ini, bukan berarti hanya Partai Demokrat Timor Leste yang belajar dari Partai Golkar. Partai yang saya pimpin pun perlu melakukan hal yang serupa. Pasti ada hal yang bisa dipelajari dari kerjasama kedua partai. Pengalamannya pasti berbeda. Kondisi atau situasi politik di negara masing-masing tentulah tidak sama. Maka, berbagi pengalaman di antara keduanya pasti akan banyak manfaatnya, baik bagi kedua partai, maupun bagi kedua negara yang bertetangga ini.

Kegelisahan HMI dan Dominasi Asing

Selasa sore, 12 Juli lalu, saya menerima kunjungan anak-anak muda yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Rombongan pengurus HMI yang dipimpin Ketua Umumnya, Noer Fajriensyah, ini berkunjung dalam rangka silaturahmi ke tokoh-tokoh partai politik. Selain ke tokoh parpol, rencananya mereka juga akan bertemu kalangan cendekiawan dan pimpinan media.

Dalam pertemuan tersebut, Fajri menyampaikan bahwa dalam silaturahmi ini mereka bermaksud menyampaikan berbagai kegelisahan atas masalah bangsa. Dia menyampaikan bahwa saat ini dominasi politik terlalu tinggi, sehingga masalah hukum dan masalah pembangunan terabaikan. Mereka juga mengeluhkan Pancasila yang mulai terlupakan, dan kurang menjiwai kehidupan kita sebagai bangsa.

Selain itu, juga dikeluhkan soal pendidikan tinggi yang kian mahal dan tak terjangkau. Bahkan, perguruan tinggi negeri yang dulu dikenal murah, sekarang semakin tak terjangkau. Mereka berharap Golkar dan parpol lainnya ikut mencari solusi masalah ini. Mereka mengajak semua elemen, termasuk parpol, memikirkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Terus terang, saya gembira dapat bertemu dan berdialog dengan anak-anak muda di HMI ini. Apalagi mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki kepedulian terhadap masalah bangsanya. Ini mengingatkan saya waktu masih muda dulu. Saya dulu juga seperti mereka. Saya dulu aktivis gerakan mahasiswa tahun 60an. Kepada mereka saya katakan, saya sendiri juga gamang melihat keadaan yang ada sekarang. Koreksi dan perbaikan memang harus dilakukan.

Mengenai persoalan ekonomi, saya mengungkapkan kepada mereka bahwa saat ini dominasi asing terlalu kuat atau terlalu besar. Saya menggambarkan bagaimana sektor perbankan kita terlalu banyak dikuasai oleh asing.Pada sektor perbankan di negara lain, misalnya di Malaysia, asing hanya boleh menguasai maksimal 49 persensaham. Sedangkan di Indonesia, investor asing boleh menguasai perbankan hingga 100 persen. Perbankan Indonesia asal uangnya kan dari rakyat Indonesia. Karena itu, harusnya kita pertahankan kepemilikannasional sehingga maksimal asing bisa memiliki 49 persen saja. Yang ada saat ini, yang dikuasai asing mencapai70 persen.

Ini sudah masuk dalam situasi yang bisa membuat pembangunan ekonomi Indonesia diatur oleh asing. Ini tidak boleh dibiarkan dan harus ada perbaikan. Belum lagi kalau kita lihat masalah energi dan sumber daya alam. Sektor minyak bumi dan gas, dan pertambangan lainnya, banyak dikuasai asing. Apalagi perusahaan yang besar-besar, semua dikuasai asing.

Harusnya ada transfer pengetahuan dari asing ke kita, agar rakyat Indonesia bisa mendidik putra-putrinyauntuk bisa mengelola sendiri sumber daya alamnya, bukan hanya jadi penonton. Itu baru dua contoh.

Belum lagi contoh bagaimana pengaruh IMF kepada Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan IMF yang merugikanterhadap industri pesawat terbang nasional, IPTN. Saat krisis tahun 1998 dan negara ini nyaris bangkrut, IMF mau membantu dengan salah satu syarat: IPTN kebanggaan kita itu harus ditutup. Akibatnya, terjadilaheksodus besar-besaran ahli-ahli pesawat terbang kita keluar negeri, seperti Brasil, Malaysia, dan Kanada. Akibatnya, industri pesawat terbang kita kini kalah dengan Negara-negara tersebut. Padahal, dulu Brasil dankita sama-sama mulai membangun industri ini.

Kita start-nya sama, tetapi Brasil sekarang jauh lebih maju. Mereka sudah bisa membuat private plane sendiri, pesawat tempur, dan pesawat komersial sendiri. Sementara Indonesia, tetap begitu-begitu saja. Bahkan,sekarang kita hanya mampu membuat satu bagian dari pesawat terbang. Ini kasus yang membuat saya sangat kecewa dan menunjukkan bahwa pembangunan kita meninggalkan aspek teknologi dan aspek kebangsaan sama sekali.

Saya berkeyakinan dalam pembangunan kita jangan hanya fokus pada pertumbuhan atau economic growth saja. Bisa saja economic growth kita tumbuh 10 persen per tahun, tapi yang menjalankan adalah asing atau golongan tertentu saja. Pertumbuhan 10 persen saja tidak cukup. Harus dijamin bahwa yang menjalankanroda ekonomi harusnya adalah orang-orang kita sendiri. Karena itulah Partai Golkar mengkonsepkan bahwapembangunan Indonesia harus dimulai dari desa. Karena di sana, di desa, ada orang-orang kecil yang mampu asal dibukakan akses. Waktu saya jadi Menko Kesra, terbukti mereka yang diberikan kredit mampu mengembangkan usaha dan berhasil mandiri.

Jangan salah paham, saya tidak anti asing. Kita tidak boleh menafikan pentingnya modal asing. Kita ambil contoh Malaysia. Mereka juga tidak anti asing. Namun mereka mengontrol agar asing tidak terlalu dominan, sehingga di sana kepemilikan asing tetap dikontrol di angka 49 persen.

Masalah hukum juga merupakan masalah penting yang harus diselesaikan. Masalah hukum yang buruk juga bisa menjadi penghambat investor masuk ke Indonesia. Salah satu contohnya adalah masalah Bank Century. Partai Golkar sangat concern terhadap masalah ini. Pansus Century DPR telah memberikan rekomendasi untuk ditindaklanjuti secara hukum, tapi setelah setahun KPK belum bisa menyatakan bahwa apakah benar atau tidak, telah terjadi penyelewengan dalam kasus ini. Jadi, masalah Century itu secara politik sudah dinyatakan ada kesalahan, namun saat diproses secara hukum sudah setahun lebih belum juga ada kesimpulan apakah ada kesalahan atau tidak. Karena itu, Partai Golkar mengharapkan KPK untuk memberikan jawabannya sebelum tanggal 30 September 2011, agar semuanya menjadi jelas.

Mengenai masalah pendidikan di perguruan tinggi yang makin lama makin mahal, saya sendiri juga sangat tidak setuju. Solusinya menurut saya pemerintah memberikan bantuan lebih pada pendidikan tinggi. Kita perlu banyak lulusan perguruan tinggi agar SDM kita meningkat kualitasnya. Karena itu hendaknya dana pemerintah jangan hanya bertitik berat untuk pendidikan dasar. Sebaiknya, SD dan SMP biayanya ditanggung oleh Kabupaten/Kota, sedangkan SMA oleh Provinsi, dan Pendidikan Tinggi oleh Pusat. Dengan demikian pendidikan tinggi bisa turun biayanya.

Dalam kunjungan saya ke daerah, banyak orang yang mengaku tidak terlalu membutuhkan bantuan dana di tahap pendidikan dasar. Mereka masih mampu membiayai. Namun, kebanyakan dari mereka tidak mampu meneruskan anaknya untuk bersekolah di perguruan tinggi. Pendidikan tinggi ini penting untuk meningkatkan daya saing, karena saya percaya persaingan nanti tidak dilakukan oleh negara-negara, tidak oleh perusahaan-perusahaan, tapi oleh manusia-manusia. Karena itu manusia-manusia Indonesia harus berkualitas.

Semua problem tersebut harus diselesaikan agar bangsa ini selamat. Semua problem pembangunan itu menurut saya utamanya adalah karena ketidaktegasan. Kita memerlukan pemimpin yang tegas dan berani untuk membangun negara ini di atas kepentingan rakyat. Pemerintahan yang tegas akan membangun tanpa kegamangan, akan maju terus, dan tidak jalan di tempat. Meskipun ada satu, seratus, seribu orang yang menyatakan tidak setuju, tapi pemerintah harus bersikap tegas dan jalan terus.

Contohnya negara Tiongkok yang sangat tegas dan selalu konsisten dalam membangun, kini jauh menyalip kita. Padahal, dahulu kita mulai membangun jalan tol 20 tahun lebih awal dari mereka. Namun, kini kita ketinggalan jauh. Jalan tol kita belum ada 100 km, sementara itu Tiongkok sekarang sudah punya 79.000 km jalan tol. Ini membuktikan kita punya masalah kelambatan dan ini harus diatasi.

Kepada anak-anak muda itu saya mengatakan memang saat ini ada banyak kesulitan. Persoalan kita begitu besar. Namun semua itu harus kita hadapi dengan optimistis. Kita harus optimistis bahwa ke depan kita akanmenjadi lebih baik. Jika kita pesismistis, masa depan niscaya bakal semakin parah. Tak ada pilihan lain bagi kitaselain bersikap optimistis dan terus berusaha keras membangun bangsa ini.