Soal Golkar dan Tikus

Akhir-akhir ini ramai pemberitaan Partai Golkar dan analogi tikus. Wacana tikus ini muncul dari pemberitaan di media yang mengutip pidato saya saat membuka Rapat Koordinasi Partai Golkar Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Minggu, 4 Juli 2010 lalu.

Saya tidak menduga analogi tikus ini menjadi wacana sangat ramai. Dalam pemberitaan dan tanggapan dari berbagai pihak, tergambar seolah-olah saya meminta supaya kader Partai Golkar menjadi seperti tikus yang selama ini identik dengan simbol koruptor. Nah, melalui blog ini saya ingin menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya.

Bila Anda mendengar pidato saya secara langsung saat itu, pasti tidak akan menangkap kesan negatif soal tikus. Sebenarnya saat itu saya justru bermaksud memotivasi kader Golkar bahwa dalam berjuang di berbagai bidang, termasuk politik, ada tiga prinsip untuk sukses. Prinsip yang pertama berfikir cerdas, kedua bekerja keras, dan yang ketiga kita bermain taktis.

Saya katakan pada mereka, ini prinsip perjuangan dalam hidup saya, dan sudah terbukti banyak membawa keberhasilan. Maka saya ingin kader Golkar mengamalkan tiga prinsip tersebut. Nah, dalam kaitan politik dan pemenangan Pemilu atau Pilkada yang dibahas dalam Rakornis itu saya meminta prinsip bermain taktis itu harus dijalankan.

Maka saya pun menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan ‘bermain taktis.’ Agar mudah dipahami, saya memakai analogi tikus. Karena kebetulan hewan itu menurut saya memiliki sifat taktis. Analogi itu diajarkan ayah saya sewaktu Beliau masih hidup, untuk menjelaskan pentingnya sikap taktis dalam berbisnis.

Saat itu saya katakan pada kader Golkar begini: “Dalam bermain kita harus taktis. Jangan dalam bermain itu kita gigit terus. Saya ingin menyampaikan satu hal yang penting yang disampaikan saat ayah saya masih hidup. Ayah saya mengatakan hidup itu meski memakai ilmu tikus. Katanya kalau dia tidur di bale-bale, pagi-pagi kaus kakinya sudah bolong, bagian jempolnya bolong digigit tikus, tapi tidak terasa. Kenapa begitu? Karena tikus itu sebelum menggigit dia mengendus dulu, lalu digigit sedikit. Endus lagi, gigit sedikit lagi. Terus begitu. Kalau dia langsung menggigit, dia langsung dipentung mati. Saya kira Partai Golkar juga mesti begitu,”.

Itulah yang saya katakan pada waktu itu. Kebetulan saya ada rekamannya. Rupanya dalam pemberitaan hanya disampaikan sepenggal-penggal saja. Seolah saya meminta supaya kader Golkar mencontoh tikus yang diidentikkan dengan koruptor. Padahal yang saya maksud bukan sifat tikus yang rakus, tapi sifatnya yang taktis.

Soal menggigit, yang saya maksud adalah saat saling serang di pilkada atau politik, hendaknya kita melakukannya secara santun. Dengan demikian serangan tidak terasa menyakitkan dan tidak menimbulkan perpecahan.

Menganggap tikus jelek itu adalah persepsi. Semua mahluk diciptakan Allah dengan kekurangan dan kelebihan. Dari mereka kita selalu bisa belajar hal-hal positif yang ada pada perilaku mereka. Itu yang selama ini saya lakukan.

Makanya soal analogi atau filosofi, saya punya banyak. Bukan cuma tikus. Dalam berbagai hal, juga di hadapan kader Golkar, saya sering mengajarkan filosofi melalui analogi hewan atau tumbuhan. Misalnya saya sering memakai analogi kepiting untuk menganalogikan persaingan internal terkait pilkada.

Dalam pidato saya di daerah, saya selalu mengatakan janganlah kita seperti kepiting. Kalau lima kepiting kita taruh di baskom, mereka akan berusaha naik dan lari. Tapi biasanya kalau ada satu yang naik, di bawah empat kepiting yang lain menarik temannya supaya gagal naik. Dalam persaingan internal menuju pilkada juga sering begitu. Satu calon dihambat yang lain karena iri. Maka saya minta agar mereka tidak begitu, tidak memakai cara kepiting. Mereka harus fair dan harus mendukung calon yang sudah diputuskan partai.

Selain itu, saya juga memiliki filosofi hidup seperti pohon dan rumput. Dalam berbagai pidato saya saya juga sering mengatakannya. Jika kita perhatikan sebuah pohon, semakin tinggi dia tumbuh, maka semakin besar angin yang menerpanya. Demikian pula dalam perjuangan, baik dalam hidup maupun dalam politik, semakin kita menanjak maka akan semakin besar gangguan dan rintangan.

Kepada kader Golkar dan siapapun yang mendengar pidato saya, saya selalu mengatakan agar kuat menghadapi rintangan dan cobaan. Kalau kita memegang filosofi itu, maka kita akan melihat rintangan itu sebagai sesuatu yang wajar dan harus dihadapi. Kita tidak boleh lemah dan menyerah dengan rintangan. Karena semakin tinggi posisi kita, semakin besar rintangannya. Kalau kita tidak mau menghadapi rintangan, kalau kita takut dengan cobaan, maka kita tidak pantas ada di posisi tinggi. Kita jangan jadi pohon jika tidak mau diterpa angin kencang, cukup jadi rumput saja.

Rumput menempati tempat yang rendah. Tentu saja angin yang menerpa rumput tak sebesar angin yang menerpa pohon yang tinggi. Tapi ingat, siap jadi rumput juga harus siap dengan konsekuensinya, yaitu diinjak-injak orang.

Analogi hewan dan tumbuhan itu sering sekali saya katakan di mana-mana. Maksudnya tidak lain selain untuk memotivasi kader saya dan siapa saja. Jika kemudian ada persepsi lain, atau ada persepsi negatif yang sengaja dibangun dan dibuat untuk menyerang saya, itu wajar saja. Saya biasa menghadapi serangan-serangan seperti itu. Semua itu saya anggap angin yang menerpa pohon. Makin tinggi pohon, makin kencang anginnya.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.