Tas Plastik dan Pendekatan Kesra untuk Papua

Ini kisah sewaktu saya menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Banyak daerah yang telah saya kunjungi dan banyak pengalaman yang saya dapat dari kunjungan itu. Namun, ada satu kunjungan ke daerah yang sangat saya ingat dan memberikan pengalaman tak terlupakan pada diri saya. Daerah itu adalah Yahukimo.

Yahukimo adalah daerah di Provinsi Papua yang ditetapkan sebagai kabupaten pada 11 Desember 2003. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Nama Yahukimo berasal dari nama empat suku yang bermukim di sana, yaitu Yali, Hubla, Kimyal, dan Momuna.

Cerita dari Yahukimo ini berawal di bulan November 2005. Saat itu terjadi bencana kelaparan yang menimpa sekitar 70.000 dari 200.000 penduduk Yahukimo. Bancana ini terjadi akibat gagal panen tanaman umbi-umbian. Akibatnya, pada kurun waktu 11-17 November 2005 tercatat ada 55 orang meninggal dunia akibat bencana kelaparan yang melanda 17 distrik.

Sebagai Menko Kesra saat itu, saya mewakili pemerintah dan mendapat tugas memimpin penanggulangan bencana tersebut. Saya segera terbang ke Yahukimo, yang sedemikian terpencil. Yahukimo berada di puncak pegunungan. Medannya cukup berat. Ke sana hampir tidak mungkin melalui jalur darat. Maka kita harus lewat udara dengan menggunakan pesawat terbang dan dilanjutkan dengan helikopter.

Untuk melanjutkan perjalanan dengan helikopter tidak mudah, sebab kita juga harus menunggu awan naik. Saya ingat, ketika itu kami baru saja mendarat dan mau naik helikopter, tapi awan tiba-tiba turun. Tidak ada pilihan lain, saya dan rombongan menunggu sampai awan naik kembali. Sekitar tiga jam saya manunggu.

Sesampainya di pemukiman penduduk, saya melihat kondisi warga Yahukimo sangat memprihatinkan. Di zaman modern ini mereka masih hidup seperti di Zaman Batu. Lalu saya lihat apa bahan makanan yang mereka tanam dan makan. Ternyata di sana mereka menanam ubi yang kecil, besarnya cuma seukuran ibu jari orang dewasa. Ubi ini juga tidak tahan cuaca sehingga sering gagal panen. Ditambah lagi, mereka tidak pandai bertani. Inilah yang menyebabkan mereka kelaparan.

Lalu saya putuskan untuk mencari bibit ubi yang bagus. Saya pergi ke Wamena yang berjarak 20 km dari Yahukimo. Di Wamena, ada bibit ubi yang cukup bagus dan tahan cuaca. Saya bawa bibit itu ke Yahukimo. Saya juga bawa pacul dan alat pertanian. Bersama tim, kami ajari mereka bertani, bercocok tanam yang baik.

Percaya atau tidak, itulah untuk pertama kalinya mereka mengenal pacul dan alat pertanian modern. Biasanya, seperti manusia zaman batu, mereka bertani dan menggali tanah dengan kayu. Saat saya ajari mereka pakai pacul, mereka senang sekali.

Saya juga mengajarkan mereka gaya hidup sehat. Saya minta Ibu Mutia Hatta, Menteri Pemberdayaan Perempuan yang berada dalam lingkup koordinasi saya, mengajari mereka gosok gigi. Awalnya mereka sempat bingung apa itu gosok gigi. Mereka juga saya ajari bagaimana memasak air, bagaimana mandi, pakai sabun, dan lain sebagainya.

Ke puncak gunung itu, saya juga membawa dokter, penyuluh, dan lainnya untuk menangani berbagai masalah kesehatan. Warga Yahukimo berhak divaksin, mereka berhak hidup sehat. Anak-anak yang baru lulus jadi dokter, yang umurnya baru 22 sampai 23 tahun, saya minta ditugaskan ke sana.

Semua perlengkapan, baik alat pertanian, bibit, dokter, penyuluh, dan lain-lain kita terbangkan. Dalam enam bulan, ada sekitar 800 kali penerbangan ke Yahukimo.

Setelah kami lakukan penanganan di sana, saya minta Bapak Presiden untuk langsung datang ke sana. Saya katakan pada Beliau, “Bapak harus melihat rakyat Bapak di sana.” Saat itu orang-orang tidak setuju. Mereka menilai terlalu berbahaya jika presiden datang langsung ke daerah yang begitu terpencil.

Hal itu memang cukup beralasan, mengingat gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) masih sangat kuat. Selain itu letak geografisnya juga berbahaya. Beliau harus pakai helikopter dan kalau dilempar batu saja helikopter itu bisa jatuh. Belum lagi, lokasi pendaratan hanyalah suatu pelataran, medannya sangat terbuka. Jadi kalau ada yang menembak dari atas tidak bisa apa-apa, tidak bisa lari ke mana-mana.

Kalau saya waktu itu santai saja. Saya tidak memikirkan hal-hal seperti itu. Saya fokus membantu mereka. Di sana saya hanya memakai baju putih tanpa rompi anti peluru, tanpa protektor. Jika ada yang memanah, ya mati. Saya hanya yakin Allah SWT masih melindungi saya.

Untuk meyakinkan Presiden, saya tempuh berbagai cara. Bahkan di suatu sidang kabinet saya tidak malu-malu membawa tas plastik. Tas itu berisi contoh ubi Yahukimo dan bibit ubi pengganti, saya tenteng-tentang saja sampai banyak teman sesama menteri yang tertawa geli. Saya cuek saja.

Akhirnya Presiden memutuskan berkunjung langsung ke Yahukimo. Saat itu mereka sudah bisa menggunakan cara-cara bertani dan bercocok tanam modern yang telah kami ajarkan sebelumnya. Ubi yang saat saya pertama kali datang hanya sebesar ibu jari, saat kunjungan Presiden sudah sebesar paha, bahkan lebih besar dari paha saya.

Selain soal pangan, penanganan Yahukimo ternyata juga bisa membantu menyelesaikan persoalan integrasi nasional. Saat berada di sana dan menyelami permasalahan yang ada, saya semakin memahami dan meyakini bahwa pemberontakan OPM terjadi karena kesejahteraan masyarakat di sana begitu rendahnya. Akibatnya, mereka lalu memilih opsi disintegrasi.

Karena itu saya memberikan saran kepada Bapak Presiden dan meminta izin agar persoalan ancaman disintegrasi di Papua jangan lagi ditangani dengan pendekatan keamanan. Tidak lagi dengan cara perang, menembak, dan sebagainya. Karena, jika itu yang dilakukan, masalahnya tidak selesai dan diplomasi kita di internasional akan runtuh. Masyarakat internasional akan semakin mendukung OPM dan menyalahkan kita.

Sebagai gantinya, saya menyarankan supaya upaya penyelesaian Papua dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan rakyat. Beliau setuju dan lalu memerintahkan saya menggunakan pendekatan Kesra. Saya dan jajaran di bawah koordinasi saya, kemudian mengimplementasikannya.

Saya tunjuk Sdr. Rizal Mallarangeng, staf khusus saya, untuk jadi ketua tim. Sempat datang protes dari orang kementerian. Mereka bilang tidak bisa Rizal sebab yang memimpin harus pegawai negeri. Saya tanya, “Mana peraturan yang menyatakan bahwa harus pegawai negeri?” Mereka bilang, “Tidak ada, Pak, hanya konvensi.” Lalu saya katakan, “Kalau tidak ada peraturannya, berarti boleh.” Saya tunjuk Rizal dan saya taruh dia di sana selama empat bulan. Kami mendirikan rumah-rumah untuk rakyat di seluruh wilayah pegunungan tengah. Saya juga membuka kebun untuk mereka bercocok tanam, membangun pembangkit listrik bertenaga matahari dan air.

Pendekatan Kesra ini tidak sia-sia. Akhirnya banyak anggota OPM yang kembali dan bersumpah setia untuk kembali ke pangkuan RI. Saya peluk mereka yang baru keluar dari dari hutan. Mereka berikan senjata-senjata mereka pada kami. Beberapa kali saya memimpin dan menghadiri acara penyerahan diri dan sumpah setia itu. Bahkan, sampai di daerah perbatasan Papua Nugini juga ada penyerahan senjata. Saat itu, beberapa panglima menyerah, hingga tinggal dua saja panglima OPM yang belum menyerah.

Saat itu bisa dikatakan sayap militer OPM sudah bisa diatasi, tinggal sayap diplomasinya. Untuk sayap diplomasi waktu itu ada Nicolas Youwe, 85 tahun, salah satu pendiri OPM yang masih hidup dan tinggal di negeri Belanda. Saya kirim orang menemui dia dan meminta dia datang ke Indonesia.

Saya juga mengusulkan supaya Bapak Presiden menemui dia. Akhirnya Nicolas jadi Warga Negara Indonesia (WNI). Setelah jadi WNI dia mengatakan ke anggota jaringannya di luar negeri dan dunia internasional bahwa OPM sudah selesai.

Cerita dari Yahukimo ini mengajarkan kepada kita bahwa pendekatan entrepreneur bisa diterapkan di mana saja, termasuk di pemerintahan. Pendekatan entrepreneur tidaklah cuma untuk bisnis. Pendekatan entrepreneur adalah pendekatan out of the box, pendekatan dengan metoda berfikir besar, think big; tahu permasalahannya, tahu apa yang dikerjakan dan yang akan dicapai.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.