Kuliah Kewirausahaan di Kampus Ganesha ITB

Saya kembali menginjakkan kaki di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sabtu pagi, 15 Oktober 2011, saya menghadiri acara di sana. Tempat itu tidak asing bagi saya, sebab di kampus ITB, 30 tahun silam, saya menimba ilmu menjadi salah satu mahasiswanya. Sudah banyak yang berubah di bekas kampus saya itu. Meski demikian, saya tidak mengalami kesulitan untuk mengenalinya. Mungkin karena kampus ini menyimpan banyak kenangan bagi saya, terutama karena di situlah saya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya.

Dulu, setiap pagi saya datang ke kampus ITB untuk kuliah. Sabtu lalu, saya juga datang untuk kuliah, namun bukan saya yang kuliah, namun saya yang memberikan kuliah umum kepada para mahasiswa di sana. Seperti halnya dengan kuliah umum saya di beberapa kampus lainnya, saya memberikan kuliah umum tentang kewirausahaan.

Untuk di ITB, kuliah umumnya bertema “Kewirausahaan untuk Mempercepat Kebangkitan Bangsa”. Menurut Rektor, Bapak Akhmaloka, para mahasiswa yang mengikuti kuliah umum tersebut juga akan mendapatkan nilai, sebagaimana kuliah biasanya. Tapi saya tidak tahu dihitung berapa SKS materi kuliah saya.

Acara yang diselenggarakan di Aula Barat itu, sesungguhnya merupakan rangkaian kegiatan Pembukaan Sekolah Pengusaha Muda ITB. Ada 300 mahasiswa yang mengikuti sekolah tersebut. Saat memulai kuliah umum, saya mengutip sebagian pidato mendiang Steve Jobs, pendiri Apple, tentang kematian.

Jobs berpesan kepada kaum muda bahwa “waktu kalian terbatas, jadi jangan menyia-nyiakannya dengan bergantung pada kehidupan orang lain.” Sebenarnya maksud Jobs adalah jangan mudah terbawa pengaruh orang lain. “Paling penting, yakinlah akan suara hati dan intuisi kalian, karena mereka sudah tahu apa yang kalian cita-citakan,” kata Jobs.

Dengan mengutip Jobs, saya menyampaikan pesan kepada para mahasiswa yang masih muda-muda itu agar jangan menyia-nyiakan waktu yang terbatas. Lakukanlah apa yang disukai, dan jangan mengikuti kata-kata orang. Sebab, ketika kita dalam keadaan susah, hanya kita sendiri yang mampu mengubah keadaan: bangkit atau sebaliknya.

Ibarat bayangan: ketika kita di tempat gelap, dia akan hilang. Bayangan hanya setia kalau kita berada di tempat terang. Begitu pula dengan teman atau sahabat yang paling setia, mereka bisa pergi meninggalkan kita kala kita sedang dalam keadaan susah.

Dalam berwirausaha, seperti yang sering saya alami, pasti terjadi proses jatuh-bangun; gagal-sukses; untung-rugi, dan sebagainya. Tetapi, yang paling penting dari itu semua adalah kegagalan tidak boleh membuat kita menyerah. Jangan takut, jangan menghindar dari kenyataan, tetap hadapi dan ikuti terus keyakinan kita untuk selalu berusaha bangkit.

Saya mengingat betul pernyataan ayah saya, Achmad Bakrie, ketika saya memulai belajar berwirausaha, dan saat itu pula saya gagal, juga banyak utang. Ayah justru mentertawai saya, lalu berkata: “Ayah senang kamu gagal, karena kalau tidak pernah gagal, kamu tidak akan pernah sukses.”

Saya bercerita demikian bukan karena saya mengetahuinya dari orang lain, melainkan saya mengalaminya langsung. Saya ceritakan–seperti telah ditulis pada artikel sebelumnya–bahwa saya berulang kali mengalami kegagalan, bahkan pernah pula jadi lebih miskin daripada pengemis karena utang saya lebih banyak dibanding harta yang saya miliki, terutama ketika Indonesia dilanda krisis moneter pada 1998.

Tetapi kepada mereka saya tekankan, bahwa yang paling penting bukan kegagalannya, melainkan bagaimana cara kita berusaha bangkit dari kegagalan tersebut. Anak muda tidak boleh menyia-nyiakan waktu dengan menyerah kepada keadaan. Waktu yang terbatas, seperti dikatakan Jobs, tidak boleh digunakan untuk bergantung pada kehidupan orang lain.

Kita, bangsa Indonesia, membutuhkan banyak wirausaha, terutama dari kalangan muda. Sebab, saat ini kita saksikan betapa lambatnya kebangkitan wirausaha di Indonesia, khususnya dari kalangaan muda. Indonesia dengan segala sumber daya alam yang dimiliki ternyata hanya memiliki wirausaha tidak lebih dari 0,18 persen dari total penduduknya yang berjumlah 230 juta jiwa. Ini jumlah yang cukup jauh dibandingkan angka ideal wirausaha yang disarankan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni sekitar 2 persen dari jumlah penduduknya. Untuk negara maju, bahkan jumlah wirausaha umumnya sudah di atas 5 persen dari penduduknya.

Pertumbuhan wirausaha di dalam negeri harus dipercepat. Harus ada upaya serius untuk menciptakan orang-orang yang mampu mengambil peluang yang ada, dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk dirinya maupun untuk orang lain. Lembaga pendidikan dan perguruan tinggi seperti ITB bisa berperan lebih banyak lagi untuk menumbuhkan semangat kewirausahaan dan membentuk orang-orang yang tahan banting dengan segala kesukaran yang dihadapi untuk membangun kemandirian.

Tanpa semua itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar yang besar bagi produk dan korporasi asing. Kekayaan berupa potensi sumber daya alam akan lebih banyak dinikmati bangsa lain, sementara bangsa sendiri cukup puas mengonsumsi karya bangsa lain. Jika demikian, anak bangsa ini hanya akan menjadi penonton pembangunan di negeri sendiri.

Saat ini, kepemilikan asing di tiga sektor ekonomi strategis Indonesia dimiliki secara mayoritas oleh asing. Perbankan nasional, 80 persennya dikuasai asing. Sektor energi dan pertambangan, 90 persennya juga dikuasai asing. Sementara, sektor telekomunikasi yang merupakan sektor strategis juga dikuasai 90 persen oleh asing. Ini adalah ironi Indonesia saat ini.

Kewirausahaan, menurut seorang penulis, adalah suatu proses penciptaan sesuatu yang baru yang berbasis kreasi dan inovasi. Tujuannya adalah tercapainya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi masyarakat. Wirausaha mengacu pada orang yang melaksanakan proses penciptaan kesejahteraan dan nilai tambah, melalui peneluran dan penetasan gagasan, memadukan sumber daya, dan merealisasikan gagasan tersebut menjadi kenyataan.

Wirausaha seperti itulah yang seharusnya ditumbuhkan dan dikembangkan di Indonesia, supaya menjadi negara maju. Maka, perlu partisipasi dan sinergi dari pemerintah-pendidikan-bisnis-masyarakat. Sinergi ini diharapkan dapat menjadikan kewirausahaan sebagai sebuah kesadaran baru kebangkitan bangsa.

Di samping itu, perlu juga mengubah paradigma masyarakat agar peduli akan kewirausahaan dan mempunyai pola pikir kewirausahaan. Perubahan mindset ini tentu tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi perlu proses dan dukungan dari banyak pihak.

Sering kali kita saksikan, tanpa kita sadari, kecilnya keberpihakan publik terhadap kemunculan pengusaha yang berasal dari anak bangsa sendiri. Keberpihakan yang kecil itu ditandai dengan banyaknya cibiran, kritik, ketidakpercayaan, dan memandang sebelah mata kepada para pengusaha nasional.

Ironisnya, kita senang dengan sebuah pertumbuhan ekonomi yang tinggi meski aktor pelakunya adalah pengusaha asing. Namun sebaliknya, sekali lagi tanpa disadari, kita kerap mempersoalkan, mengritik bahkan menyerang jika aktor pelaku dan pemenang perekonomian nasional adalah pengusaha anak bangsa sendiri.

Kita seolah sulit menerima jika ada pengusaha nasional tumbuh kuat, sukses dan besar serta mampu bersaing secara kompetitif dengan kekuatan-kekuatan ekonomi global. Padahal, tidak sadarkah kita bahwa keberadaan pengusaha nasional yang kuat yang didukung oleh segenap kekuatan nasional akan mampu mendorong dan membela kepentingan nasional, kepentingan rakyat Indonesia, tidak hanya di negeri sendiri tapi juga dalam percaturan ekonomi global.

Sekolah Pengusaha Muda, seperti yang digagas ITB, harus jadi momentum untuk membangkitkan wirausaha Indonesia. Gerakan kewirausahaan bisa mulai kita gencarkan ke seluruh penjuru negeri, merasuki dan menginspirasi kaum muda Indonesia. Dengan demikian, ke depan akan semakin banyak wirausahawan sukses di negeri ini. Dengan banyaknya wirausahawaan yang turut berkontribusi bagi pembangunan bangsa, maka kebangkitan bangsa pasti akan cepat dicapai.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.