Papua Butuh Pendekatan Kesejahteraan, Bukan Keamanan

Dalam berbagai acara, saya sering ditanya mengenai masalah Papua. Apalagi beberapa waktu lalu saat terjadi gejolak di Papua, banyak yang bertanya kepada saya, baik di acara maupun secara pribadi, bagaimana saya melihat Papua dan bagaimana menyelesaikan masalah yang ada di sana.

Karena itu, melalui blog ini, saya akan kembali mendiskusikan mengenai Papua, baik menyangkut pengalaman, maupun cara pandang saya terkait solusi permasalahan di sana. Sebenarnya di blog ini, saya juga sudah menulis mengenai Papua, yaitu cerita pengalaman saya selama tinggal di sana saat menangani kelaparan di Yahukimo.

Saat saya menjadi Menko Kesra, alhamdulillah, bisa dibilang tidak ada kekerasan dan kerusuhan di Papua. Ini karena saya lebih memilih pendekatan kesejahteraan dibandingkan dengan pendekatan keamanan. Pengalaman saya di sana membuktikan hal itu.

Saya masih ingat betul saat pertama kali pergi ke pegunungan Yahukimo, pada saat itu Asintel Pangdam melarang saya ke sana dengan alasan keamanan karena di sana ada pasukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dikhwatirkan membahayakan keselamatan saya. “Pak, kami tidak ada pasukan di situ. Bagaimana keamanannya? Nanti saya dipecat,” katanya.

Namun saya tetap memaksa untuk tetap ke sana dan mendarat di pegunungan itu. Mengenai bagaimana kondisi alam dan susahnya mencapai daerah itu saya sudah ceritakan di tulisan sebelumnya. Saya mengatakan kepada Asintel Pangdam itu: “Saya tetap mendarat di sana dan tanggung jawab saya ambil alih.”

Maka mendaratlah saya ke daerah pegunungan Yahukimo. Setelah saya mendarat di sana, kekhawatiran akan adanya penyerangan atau gangguan keamanan tidak terbukti. Yang saya temui justru sebaliknya. Bukannya diserang, saya justru malah dipeluk-peluk dan diberi hadiah dua ayam jago.

Dua ayam itu relatif mahal bagi mereka. Karena itu, saat diberi saya sempat kaget, terharu, dan sempat menolak, karena pasti lebih berguna bagi mereka. Namun, mereka bilang bahwa hadiah itu tidak boleh ditolak, karena menolak sama saja dengan menghina. Lalu saya terima ayam itu dan mulai berbaur dengan penduduk untuk mencari solusi mengatasi masalah kelaparan di sana.

Singkat cerita, akhirnya kerja keras berbulan-bulan di Yahukimo membuahkan hasil. Kelaparan bisa diatasi dengan mengajarkan mereka cara bercocok tanam yang efektif dan cara hidup sehat. Tidak hanya itu, saya di sana juga membangun infrastruktur dan sarana umum bagi warga. Ada sekolah, puskesmas, dan lain sebagainya.

Pembangunan itu rupanya menjadi berita dari mulut ke mulut, sampai diketahui oleh pasukan OPM yang ada di gunung-gunung. Mendengar ada pembangunan dan perbaikan kesehatan atas saudara-saudara mereka, mereka turun gunung dan menyerahkan senjata. Yang menyerah pertama kali 15 orang, senjata apinya ada tiga, lalu disusul 60 orang, kemudian 100 orang, dan seterusnya.

Kabar baik ini saya sampaikan kepada Presiden, dan oleh Presiden saya diminta untuk menerima mereka. Saya sebagai Menko Kesra yang menerima mereka, karena ini hasil dari pendekatan kesejahteraan yang diterapkan selama menangani masalah Yahukimo.

Kalau sekilas melihat tentara OPM, penampilan mereka memang seram-seram. Namun, saya tidak melihat penampilan luarnya, saya meyakini pada dasarnya semua manusia itu sama–jika kita baik pada dia, maka dia juga akan baik pada kita. Terbukti, saudara-saudara kita yang dulunya melawan dengan bergabung di OPM, karena kita berbuat baik pada mereka, mereka mau kembali ke NKRI tanpa paksaan.

Selama berada di sana, bahkan ketika bertemu para pimpinan militer OPM saya tidak pernah menggunakan pengawalan pasukan, saya juga tidak pernah memakai rompi anti peluru. Buktinya saya aman-aman saja. Tidak ada yang memanah saya, tidak ada yang menembak saya. Mereka tidak membenci orang, mereka cuma memperjuangkan kesejahteraan untuk daerah mereka.

Pernah juga saya bawa Sekretaris Dewan Presidium Papua (PDP) M. Thaha Al Hamid naik pesawat saya ke Jakarta. Di Jakarta, ada yang bertanya mengapa saya membawa dia. Saya katakan inilah pendekatan yang baik. Saya memilih mendekati OPM dan menjelaskan komitmen untuk membangun Papua dengan pendekatan kesejahteraan.

Bahkan tokoh pencetus Organisasi Papua Merdeka (OPM), Nicholas Jouwe, satu-satunya yang masih hidup dan tinggal di Belanda, saya bujuk datang ke Indonesia. Saya kirim orang untuk membujuk Nicholas yang sudah berumur 85 tahun serta telah menetap dan menjadi warga negara Belanda selama lebih kurang 40 tahun.

Akhirnya Nicholas kembali ke Indonesia bersama kedua putra putrinya, yaitu Alexander Jouwe dan Nancy Leilani Jouwe. Nicholas yang tinggal di pengasingan Belanda sejak 1950 tak hanya ke Jakarta, dia juga ke Papua untuk melihat sanak-saudara dan pembangunan di sana.

Saat Nicholas sampai di Indonesia, dia sempat tidak mau memakai bendera Merah Putih dan lambang Garuda. Pada saat itu banyak rekan saya di kabinet marah dan menilai dia tidak perlu dipertemukan dengan Presiden. Padahal, saya berpendapat dia perlu bertemu Presiden untuk dijelaskan mengenai masalah Papua.

Saya bilang ke Presiden waktu itu: “Pak, saya kalah voting, tapi Bapak sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan, ada baiknya menerima Nicholas Jouwe ini.” Akhirnya, Presiden bersedia menemui Nicholas di Cikeas. Pada saat itu dia mengatakan: “Bapak Presiden, saya akan kembali menjadi warga negara Indonesia dan membantu pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah Papua.”

Lalu Nicholas tinggal di Papua. Saya masih ingat Nicholas sering mengatakan bahwa dia ingin pemerintah Indonesia juga membangun Papua. Jangan dibiarkan tidur terus, buatlah sama dengan daerah lainnya di Indonesia, seperti Jakarta, agar semua bisa tinggal bersama dengan harmonis, berdampingan, dan saling hormat menghormati.

Itu semua jelas menunjukkan bahwa kunci masalah Papua adalah masalah kesejahteraan.

Lalu bagaimana dengan OPM yang masih tersisa? Kalau kita lihat pemimpinnya yang bersenjata sekarang tinggal sekitar tiga orang lagi, salah satunya Goliat Tambuni. Jika kita bisa meyakinkan dan membuktikan bahwa kita punya komitmen membangun dan mensejahterakan Papua, mereka pasti mau turun. Adapun pemimpin politik mereka masih ada beberapa dan tinggal di luar negeri. Maka, perlu juga untuk terus memberitahukan kepada berbagai pihak di luar negeri bahwa kita sebetulnya terus membangun Papua.

Memang, dalam membangun atau melakukan pendekatan kesejahteraan ada banyak problem. Misalnya saja soal penyimpangan dana otonomi dan lain sebagainya. Bahkan ada pejabat yang bangga mendepositokan dana, padahal harusnya uang itu dibelanjakan untuk pembangunan.

Semua kekurangan itu harus kita perbaiki. Namun yang jelas, pendekatannya harus pendekatan kesejahteraan. Seperti juga saat kita menyelesaikan masalah di Aceh. Pasca tsunami, pendekatan kesejahteraan juga terbukti menyelesaikan masalah. Jangan mengutamakan pendekatan keamanan, karena Papua butuh pendekatan kesejahteraan. Bukan berarti pendekatan keamanan sama sekali tidak diperlukan. Tetapi, yang harus diutamakan adalah pendekatan kesejahteraan.

Menjadi tugas kita bersama saat ini untuk memastikan pendekatan kesejahteraan dijalankan di Papua. Kita harus mengawasi pelaksanaan otonomi khusus di sana, kita dorong pembangunan infrastruktur di sana, dan sebagainya. Kita harus yakinkan dan buktikan bahwa komitmen pemerintah pusat pada Papua sama besar terhadap daerah lainnya. Jika jalan itu yang ditempuh, saya yakin masalah Papua akan bisa kita selesaikan dengan baik.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.