Toleransi di Komunitas Jalan Sapi

Di sela-sela kunjungan ke Tiongkok untuk memenuhi undangan Partai Komunis Tiongkok (PKT), saya menyempatkan berkunjung ke komunitas muslim di sana. Selasa pagi, 19 April 2011 lalu, saya dan rombongan datang ke Komunitas Niujie, atau dalam bahasa Indonesia: Komunitas Jalan Sapi, di Beijing.

Saya mengunjungi kantor pusat Komunitas Jalan Sapi ini sebelum memulai kunjungan ke PKT. Saya tiba di sana pukul 10 pagi waktu Beijing, langsung diajak melihat-lihat pusat pelayanan sosial di komunitas ini. Di sana, tampak ramai petugas sedang melayani masyarakat yang membutuhkan layanan sosial, mulai dari urusan pencarian kerja, kesehatan, layanan untuk orang cacat, dan sebagainya.

Pimpinan Komunitas Jalan Sapi, Hou Rongli menjelaskan pada saya bahwa kawasan ini merupakan pusat bangsa minoritas di Beijing. Kawasan tersebut luasnya sekitar 144 hektar. Kebanyakan suku yang tinggal adalah suku Hui yang berbaur bersama 23 suku Tiongkok lainnya. Meski mayoritas yang ada di kawasan Komunitas Jalan Sapi ini adalah muslim, namun yang bermukim di sana sangat majemuk.

Warga muslim Komunitas Jalan Sapi, tidak melarang umat lain membangun tempat ibadah. Makanya, selain masjid, juga ada kuil atau klenteng, dan tempat ibadah lainnya. Toleransi sangat dijunjung tinggi di sini. Selain saling menghormati keyakinan masing-masing, komunitas Muslim Jalan Sapi juga memberikan pelayanan sosial bagi warga non muslim. Semua yang meminta pelayanan sosial ke Komunitas Jalan Sapi dilayani dengan baik dan tidak dibeda-bedakan, baik mereka muslim maupun non muslim.

Kerukunan di sini sangat jelas menonjol. Sejak komunitas ini berdiri sampai sekarang belum pernah ada konflik antara suku yang ada di dalamnya. Bahkan, dalam tayangan video yang ditunjukkan pada saya terlihat kegiatan sehari-hari komunitas ini yang beragam, mulai dari soal kuliner, olahraga beladiri, sampai salat berjamaah bagi warga muslim.

Komunitas muslim ini memiliki tujuan mulia, yaitu mendorong kemajuan dan persatuan budaya di kawasan tersebut. Mereka berusaha untuk mengembangkan ekonomi, memperluas komunitas, meningkatkan pelayanan dan memperbaiki hidup masyarakat. Semua itu dilakukan dalam suasana yang harmonis antar penduduk di komunitas itu.

Setelah melihat pusat pelayanan sosial di Komunitas Jalan Sapi, saya dan rombongan diantar untuk melihat langsung masjid komunitas ini. Masjid ini letaknya tidak jauh dari pusat pelayanan sosial tadi. Masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok ini merupakan masjid tertua, dibangun sekitar abad 10 masehi. Islam sendiri masuk ke Tiongkok sekitar abad 7 Masehi.

Menurut Ali, pengurus masjid, banyak orang Indonesia yang datang ke Masjid Jalan Sapi ini untuk beribadah. Dia mengajak saya melihat-lihat ke dalam masjid, dan menjelaskan sejarah masjid. Saya juga diajak ke makam para imam masjid. Di sana ada makam Imam Ali Marzuki, sesepuh komunitas muslim Tiongkok. Lalu saya melihat museum yang ada di sana. Banyak barang bersejarah disimpan di sana, seperti kitab berbahasa Persia, sampai sebuah guci berukir kaligrafi, hadiah Kaisar Tiongkok untuk komunitas muslim.

Saya senang sekali bisa berkunjung ke komunitas ini. Saya sangat terkesan sekali dengan toleransi yang diperlihatkan di sana, baik oleh komunitas maupun pemerintah Tiongkok. Kita tahu bersama bahwa Tiongkok adalah negara komunis, namun komunitas muslim yang minoritas diberi kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah dengan tenang.

Ini pelajaran yang berharga bagi kita orang Indonesia. Sebagai negara yang berketuhanan, memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan berpenduduk muslim terbesar di dunia, kita harus lebih toleran dari Tiongkok. Maka, aksi-aksi intoleransi, pemecah belah kerukunan umat beragama, dan aksi-aksi negatif lainnya yang mulai marak belakangan ini, harus segera kita hentikan. Mari pupuk kembali toleransi demi kehidupan bersama yang lebih baik.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.