Haji dan Korupsi

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam dan Indonesia merupakan dua hal yang seolah tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Karena itu, segala macam wacana yang menyangkut Islam atau kaum muslim akan menjadi sebuah wacana yang penting. Salah satu wacana yang cukup penting terkait dengan umat Islam di negeri ini adalah persoalan ibadah haji.

Setiap tahun jutaan jamaah haji Indonesia berangkat ke tanah suci. Yang mengantre untuk berangkat juga tidak kalah banyak. Tak hanya jamaahnya saja yang banyak, persoalan terkait penyelenggaraan ibadah haji ini pun juga masih banyak.

Untuk mencari solusi terkait masalah sistem penyelenggaraan haji ini, Senin pagi, 5 Maret 2012, Fraksi Partai Golkar (FPG) membuat seminar terkait hal itu dengan tajuk “Membangun Sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Baik, Profesional, dan Amanah”. Saya sendiri hadir memberikan pidato kunci dalam acara yang dihadiri banyak ahli dari cendekiawan muslim, Kementrian Agama, BPK, dan sebagainya.

Masalah penyelenggaraan ibadah haji masih cukup banyak. Misalnya yang umum dikeluhkan adalah soal pemondokan. Pemondokan jamaah dikeluhkan karena masih jauh dari Masjidil Haram dan tidak mungkin ditempuh dengan jalan kaki. Akibatnya banyak jamaah harus mencari angkutan, namun angkutan ini juga sulit ditemukan. Ketua FPG Setya Novanto bahkan mengatakan banyak jamaah yang menggunakan mobil bak terbuka yang sangat membahayakan keselamatan jiwa para jamaah. Dia juga mengatakan ada tenda di Maktab 71 (Mina-Arafah) yang seharusnya ditempati jamaah kita justru diserobot oleh jamaah dari negara lain. Akibatnya sekitar 2.500 jamaah kita tidak terlayani secara maksimal. Dia mengusulkan untuk mengatasi masalah pemondokan ini, perlu dibangun sebuah pemondokan yang permanen agar jamaah bisa tenang beribadah.

Soal kuota, saat ini juga masih menjadi masalah yang krusial dalam sistem penyelenggaraan haji kita. Saat ini kuota hanya 1,6 juta jiwa sementara pendaftar terus membludak setiap tahunnya. Panjangnya antrean bahkan membuat seorang calon jamaah haji harus rela menunggu antara 5 sampai 12 tahun, namun tetap saja harus menyetor setoran awal biaya haji.

Dengan jumlah jamaah yang begitu besar, dana haji yang terkumpul hingga saat ini telah mencapai kurang lebih sekitar Rp35,3 triliun. Namun jumlah dana yang besar itu, saat ini belum menyentuh perbaikan pelayanan haji. Padahal jika dikelola dengan baik keuangan haji itu, bisa dimanfaatkan untuk mensubsidi biaya haji, sehingga biaya haji menjadi lebih terjangkau. Dana besar itu juga bisa dikelola dan digunakan untuk program-program pemberdayaan masyarakat.

Terkait dengan dana haji ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini juga mengeluarkan wacana terkait hal itu. KPK mewacanakan moratorium pendaftaran haji, karena jika pendaftaran haji terus dibuka, jumlah dana haji yang saat ini berkisar Rp35,3 triliun itu akan terus mengelembung dan jika tidak dikelola secara tidak transparan dan akuntabel akan berpotensi dikorupsi.

Saya pribadi rasanya setuju dengan wacana moratorium itu. Mungkin dicoba tiga tahun, lalu nanti dibuka lagi, namun dengan catatan orang berusia lanjut didahulukan. Misalnya yang usianya 60 tahun ke atas. Karena jika harus lama menunggu, kalau harus lama mengantre, mereka belum tentu masih ada umur untuk pergi ke Tanah Suci.

Selain itu, wacana yang ramai diperbincangkan terkait penyelenggaraan ibadah haji adalah wacana memisahkan regulator dan operator. Kedua fungsi ini harusnya dilakukan oleh institusi yang terpisah. Seharusnya Kementerian Agama bertindak sebagai regulator yang berfungsi sebagai penentu kebijakan dalam penyelenggaraan Ibadah haji. Sedangkan yang bertindak sebagai pelaksana atau operator adalah institusi yang terpisah yang diisi oleh PNS karier dan tenaga profesional, dalam hal ini bisa berbentuk badan yang langsung di bawah Presiden.

Saya juga mewacanakan bagaimana jika swasta dilibatkan sehingga ada kompetisi dengan pemerintah. Kompetisi ini perlu, karena terbukti dengan adanya kompetisi, layanan menjadi lebih baik dan harga menjadi lebih murah. Lihat saja buktinya di sektor telekomunikasi.

Bandingkan dengan di sektor listrik yang tidak ada kompetisi. Tanpa kompetisi, tanpa pesaing, tidak akan ada keinginan untuk memperbaiki layanan, atau menurunkan harga, karena tidak ada persaingan. Mungkin pemerintah perlu mencoba dulu kompetisi ini. Tak perlu banyak-banyak dulu. Cukup dicoba 10 persen dulu ke pihak swasta untuk berkompetisi dan dilihat hasilnya.

Dalam sistem penyelenggaraan ibadah haji, perlu juga diatur reward dan sanksi, termasuk sanksi pidana. Ini untuk memaksa pelayanan diberikan dengan lebih baik. Yang tak kalah penting adalah ganti rugi bagi jamaah haji yang dirugikan.

Semua permasalahan haji di atas akan dibahas dan dicari solusinya oleh FPG khususnya Poksi VIII. Saran dan solusi yang ada nantinya akan menjadi masukan FPG untuk diperjuangkan dalam pembahasan revisi Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Pada prinsipnya Partai Golkar tidak mencari-cari kesalahan dalam masalah haji ini. Kita ingin yang sudah baik dibuat lebih baik lagi. Keluhan-keluhan dan masalah yang ada kita perbaiki. Prinsipnya adalah seperti yang diajarkan Nabi: hari esok harus lebih baik dari hari ini.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.