Saya Bangga Jadi Warok

Rabu malam, 20 Juni 2012, saya sampai di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Malam itu saya sampai di Bumi Reog, setelah melakukan serangkaian perjalanan safari dari Ngawi, Megetan, dan Madiun. Di Ponorogo, saya menghadiri acara yang sangat special, karena malam itu saya dikukuhkan sebagai warga kehormatan Warok Ponorogo.

Warok merupakan bagian dari kesenian Reog, yang juga merupakan sesepuh masyarakat Ponorogo. Warok bagi masyarakat Ponorogo, seperti jawara bagi Masyarakat Banten. Mereka tidak hanya menguasai ilmu beladiri atau kanuragan, tapi juga ilmu kebatinan atau spiritual.

Karena kompetensinya itu, terutama aspek spiritualitasnya, warok mendapat tempat yang cukup strategis di masyarakat. Apa yang dikatakannya selalu didengar dan menjadi acuan. Mereka menjadi tempat meminta nasehat, dari rakyat sampai pejabat.

Ini sesuai dengan asal kata warok yaitu wewarah yang artinya petunjuk dan pengajaran. Jadi seorang warok itu adalah orang yang mampu memberi petunjuk dan pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.

Warok yang biasa kita jumpai saat pertunjukan Reog, memiliki penampilan yang khas: wajahnya merah garang dengan jenggot panjang. Dia memakai baju serba hitam dan blangkon atau ikat kepala hitam juga. Tak ketinggalan, dia selalu membawa tali putih besar, atau kolor wasiat, yang menjadi senjata andalannya.

Malam itu, prosesi pengukuhan dipimpin langsung oleh sesepuh warok Ponorogo, Ki Achmad Thobroni, disaksikan sembilan sesepuh warok lainnya, dan Bupati Ponorogo, Amin. Saya menjalani sejumlah ritual, di antaranya, membasuh tangan, kaki dan wajah, dengan air khusus yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh para warok. Kemudian Ki Achmad Thobroni membacakan semacam surat pengangkatan sebagai warga kehormatan warok Ponorogo, baru kemudian dipakaikan pakaian serba hitam khas warok, berserta kolor wasiatnya.

Saya sangat senang dan bangga atas pengukuhan ini. Saya berterima kasih sekali untuk para sesepuh warok dan masyarakat Ponorogo atas penghargaan ini. Bagi saya pengukuhan ini sekaligus pemberian tugas baru bagi saya, sebab dengan ini saya harus ikut bertanggung jawab melestarikan kebudayaan dan kesenian Jawa, khususnya kesenian Reog.

Reog adalah kesenian asal Ponorogo yang mempertunjukkan tarian topeng singa dengan burung merak di atas kepalanya. Topeng ini dikenal dengan nama Dadak Merak yang tingginya sekitar dua meter dengan berat mencapat 50 kilogram. Para penari kuda jathilan, Bujang Ganong, dan sebagainya ikut memeriahkan pertunjukan yang diiringi dengan musik khas dan nuansa magis ini. Tak ketinggalan warok tua dan warok muda juga hadir dalam pertunjukan.

Banyak versi sejarah Reog, ada yang mengatakan cerita Reog yang juga sempat dikenal dengan nama Singa Barongan ini diambil dari kisah Raja Ponorogo yang akan melamar Putri Kediri. Di tengah perjalanan rombongan raja ini dicegat oleh Raja Singabarong yang berpasukan singa.

Namun versi lain mengatakan Reog merupakan bentuk sindiran Ki Ageng Kutu terhadap Raja Majapahit yaitu Kertabumi yang juga disebut Prabu Brawijaya. Sang raja dinilai terlalu disetir oleh permaisurinya. Kepala harimau atau singa Reog melambangkan sang raja, sementara burung merak yang bertengger di kepalanya melambangkan sang permaisuri.

Kesenian Reog ini sangat terkenal, tidak hanya di dalam negeri saja, namun juga sampai ke mancanegara. Bahkan, sempat ramai diberitakan Malaysia mengklaim kesenian ini, yang tentu menimbulkan protes keras Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Ponorogo.

Seperti peninggalan budaya lainnya, Reog tentu mengalami tantangan jaman. Jika tidak dilestarikan, maka budaya ini akan punah tergerus jaman. Karena itu, saat mendengar bahwa Pemerintah Kabupaten Ponorogo melakukan langkah pelestarian, saya sangat gembira. Bupati menjelaskan, pihaknya memfasilitasi sekaligus membiayai pagelaran Reog yang diselenggarakan di Alun-alun Ponorogo pada setiap bulannya. Pagelaran ini diikuti secara bergantian oleh seluruh sanggar seni Reog yang ada.

Ini penting untuk menjaga kelangsungan hidup sanggar Reog dan para senimannya. Bahkan tak hanya itu, Pak Bupati mengatakan akan dibuat juga tempat khusus untuk pagelaran Reog, yakni Bantar Angin.

Sekali lagi hal seperti itu penting dilakukan. Ini tentu akan membantu melestarikan Reog sebagai budaya bangsa dan mencegah jangan sampai Reog Ponorogo ini diklaim oleh bangsa lain. Kalau kita sendiri tidak mau melestarikan kesenian dan budaya kita, maka tidak mustahil jika kemudian mati di negeri sendiri, dan berkembang di negeri lain. Kalau sudah begitu, jangan salahkan jika orang lain mengklaim itu sebagai budaya mereka.

Dengan kita melestarikannya, apalagi di tempat sendiri, tidak ada alasan apa pun bagi negara mana pun untuk mengatakan bahwa Reog itu dari negara tersebut. Reog Ponorogo adalah dari Ponorogo. Reog Ponorogo itu adalah asli kesenian Indonesia, bukan kesenian dan kebudayaan negara lain.

  1. No comments yet.

  1. No trackbacks yet.