Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Semua

Pidato Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-103. Serdang Bedagai, 20 Mei 2011.

Saudara-saudara yang saya hormati,

Hadirin yang saya muliakan.

Pertama-tama saya ingin mengajak semua hadirin untuk memanjatkan puji dan syukur ke hadapan Allah Yang Mahabesar. Atas izin dan berkah-NYA, bangsa Indonesia mampu terus bertahan, melangkah maju, serta memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang telah lebih satu abad, tepatnya 103 tahun.

Saya juga ingin memberikan apresiasi dan penghargaan kepada segenap pimpinan dan kader-kader SOKSI yang selama ini telah terbukti berperan sebagai salah satu tulang punggung Partai Golkar, serta telah membuktikan diri sebagai sebuah organisasi yang terus setia dan loyal kepada cita-cita pendirian Partai Golkar.

Saya yakin, di masa-masa mendatang, terutama menjelang Pemilu 2014, SOKSI akan semakin memberikan kontribusi positif dalam mencapai dua tujuan besar kita, yaitu mengembalikan kejayaan Partai Golkar, serta yang paling penting, membangun kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Pada momen yang berbahagia ini, tepat pada tanggal 20 Mei 2011, perkenankanlah saya untuk mengajak kita semua, mengenang dan menyegarkan kembali makna yang melekat pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, suatu momen sejarah yang diawali oleh generasi pelopor pergerakan kebangsaan Indonesia, seperti Dr Tjipto Mangunkusumo, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara dan Dr. Douwes Dekker.

Pada tahun 1908 generasi Dr. Tjipto menyatukan tekad untuk memulai sebuah perjalanan panjang pembentukan suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Mereka berani bermimpi, mereka berani berharap, bahwa suatu waktu kelak, lewat gerakan modern, Indonesia akan menjadi sebuah kesatuan besar, menjadi sebuah bangsa yang merdeka, maju dan sejahtera.

Keberanian untuk bermimpi dan keteguhan untuk bertekad seperti itulah yang harus terus kita warisi. Mimpi itu tidak akan pernah selesai. Kemajuan adalah sebuah konsep dinamis, bukan sebuah konsep yang statis.

Kondisi Indonesia sekarang jelas jauh lebih baik daripada kondisi pada awal atau pertengahan abad ke-20. Tetapi kita tidak pernah boleh berhenti melangkah. Masih begitu banyak hal yang perlu kita lakukan. Masih begitu banyak mimpi yang belum terwujud. Masih begitu besar potensi kita untuk menjadi sebuah negeri yang lebih maju lagi.

Saudara-saudara yang saya muliakan,

Hadirin yang saya hormati.

Setelah peletakan dasar-dasar negara kebangsaan di awal abad ke-20, Indonesia berhasil merebut kemerdekaan, merajut persatuan, sambil mendorong pembangunan ekonomi.

Dalam proses perjalanan panjang ini, kita telah bergerak dari satu tatanan ke tatanan lainnya, dari satu orde ke orde lainnya. Di awal abad ke-21 ini, kita telah memasuki zaman reformasi dan demokratisasi, mengikuti arus perubahan dunia yang terus mengglobal, bergerak cepat, serta menyajikan tantangan berikut peluang-peluang baru.

Dunia bergerak, kita bergerak. Zaman berubah, kita pun turut berubah bersamanya.

Dalam saat-saat seperti itulah, momen perayaan Hari Kebangkitan Nasional, seharusnya menyadarkan serta menyegarkan kembali pemahaman kita bahwa Indonesia harus melangkah maju, harus mengikuti arus perubahan sejarah, sambil terus mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai dasar serta jati diri kebangsaan kita, yang ditopang oleh semangat kekeluargaan, toleransi dan gotong royong, saling menghargai dan sikap yang loyal terhadap empat pilar kenegaraan kita, yaitu Pancasila, UUD45, NKRI dan semangat Bhineka Tunggal Ika.

Nilai-nilai dasar dan jati diri ini bukanlah prinsip-prinsip yang klise. Ia adalah kristalaisasi dari pengalaman satu generasi ke generasi lainnya dari himpunan manusia yang kita sebut sebagai manusia Indonesia. Ia adalah esensi dari kultur ke-Timur-an yang menjadi fondasi dari kehidupan bersama serta yang menjadi dasar nasionalisme Indonesia. Jati diri inilah yang menjadi penopang kebhinekaan kita, tempat kita bisa mengekspresikan perbedaan, bagaikan seribu bunga di pagi hari, tetapi pada saat yang sama tetap menjadi persatuan bangsa.

Semua hal tersebut tidak pernah boleh kita lupakan. Justru dengan semakin kompleksnya dunia, justru dengan semakin cepatnya perubahan masyarakat, nilai-nilai dasar kebangsaan tersebut harus semakin kita pegang teguh dan menjadi jangkar yang semakin kokoh dan perekat bangsa Indonesia.

Tanpa perekat tersebut, demokratisasi dan reformasi hanya akan berakhir dengan kegamangan dan fragmentasi politik yang cenderung ekstrem.

Fragmentasi tersebut sangat menyulitkan dan menjadi beban yang menghambat jalannya pemerintahan yang efektif. Proses perumusan dan eksekusi kebijakan menjadi tidak pasti, terlalu kompleks, dengan begitu banyaknya percabangan serta permutasi kepentingan yang bersifat ad hoc, seketika, temporer, suatu interaksi politik yang lebih ditentukan oleh issues of the day, naik turunnya opini publik, maju mundurnya demonstrasi di berbagai kota, serta peristiwa-peristiwa yang muncul secara dadakan.

Kita harus menghindari semua itu. Dengan berpegang pada nilai-nilai dasar kebangsaan, kehidupan politik, kehidupan kepartaian, dinamika kepemimpinan dan persaingan elite, gerakan kemasyarakatan atau civil society: semua dapat berlangsung dan mencari bentuk serta mengejar kepentingan masing-masing. Tetapi semuanya secara sadar menjunjung kebersamaan, menjauhi sikap yang hanya mau menang sendiri.

Saudara-saudara yang saya muliakan,

Hadirin yang saya hormati.

Kalau saya menjelaskan soal pentingnya nilai dan jati diri bangsa, saya sesungguhnya tidak ingin menafikan sebuah kenyataan bahwa selain nilai-nilai dasar tersebut, ada berbagai hal yang juga penting untuk diperhatikan.

Salah satu hal penting tersebut adalah integritas serta ketegasan negara dan pemerintah. Negara kita adalah negara hukum, sebuah recht staat, bukan negara kekuasaan atau macht staat. Hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum adalah fondasinya kehidupan bersama.

Tanpa kepatuhan dan kepastian hukum, masyarakat akan menjadi anarkis, sebuah situasi yang menjadikan manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya, dan suatu kelompok menjadi ancaman bagi kelompok lainnya.

Karena itulah negara, serta aparat negara, diberi kewenangan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu di semua segi kehidupan, dengan tetap menjunjung tinggi asas-asas keadilan dan presumption of innocence.

Warga negara harus menghormati pemerintah dan penegak hukum. Tetapi kehormatan itu tidak boleh hanya berasal dari legitimasi formal semata. Negara, pemerintah, serta aparat pemerintah juga harus memperlihatkan bahwa authority goes along with integrity and respect. Otoritas formal akan semakin dihormati dan dipatuhi jika pemerintah serta penegak hukum bersikap dan bertindak penuh suri tauladan. Pemerintah akan semakin dihormati jika memperjuangkan keadilan, kemajuan, dan betul-betul memperlihatkan satunya kata dan perbuatan.

Pemerintah harus adil tetapi juga harus tegas. Pemerintah harus keras namun tetap berada dalam tatanan yang legal. Pemerintah harus berani dan tetap menjunjung tinggi kepatutan dan rasa kemanusiaan.

Itulah yang kini kita perlu terus perjuangkan. Kita harus bergerak cepat, sebab dalam dunia yang terus berubah, persaingan antar-bangsa semakin ketat. Pemerintah, serta seluruh masyarakat, harus menyatukan langkah, merajut kembali semangat persatuan dan kesatuan, mempertajam kembali prioritas nasional, agar perjalanan sejarah kita di kemudian hari menjadi lebih baik lagi.

Saudara-saudara yang saya muliakan,

Hadirin yang saya hormati.

Dalam konteks kebangsaan sekarang, Partai Golkar dapat mengambil peran strategis, sebuah peran yang mendorong keadilan, ketegasan, kepastian hukum serta kemajuan bangsa Indonesia. Jika dalam situasi kebangsaan terjadi guncangan, perbedaan yang tajam, serta disharmoni, maka Golkar harus mampu menjadi a moderating factor, kekuatan yang mempertautkan, bukan yang mempertajam perbedaan yang ada. Golkar juga harus mampu menjadi partai yang memberi solusi, meraih dan merangkul semua elemen bangsa untuk mencapai tujuan-tujuan besar di masa depan.

Dengan semua itulah maka Partai Golkar akan terus berdiri di garis terdepan sebagai kekuatan politik yang memberi makna kongkret bagi semangat kebangkitan nasional yang hari ini kita peringati dan rayakan kembali.

Selain itu, peran Partai Golkar juga penting dalam mengajak partai, kelompok, serta kekuatan politik lainnya untuk memperhatikan masalah pemberdayaan sosial.

Pembangunan politik nasional yang kokoh mempersyaratkan elemen-elemen sosial yang juga kokoh. Demokrasi dan sistem politik membutuhkan civil society serta individu-individu di berbagai komunitas yang mampu bertindak dan melakukan berbagai aktivitas secara mandiri, otonom, kreatif serta bertanggung jawab. Inilah elemen pendukung demokrasi yang tak pernah boleh kita lupakan.

Demokrasi bukanlah sebuah sistem yang berada di ruang hampa. Democracy doesn’t work in a vacuum. Amerika Serikat dan negeri-negeri di Eropa mampu bertahan dan selama lebih dua abad mengembangkan sistem demokrasi mereka karena adanya prasyarat semacam ini. Kita memang harus membentuk demokrasi dengan ciri khas kita sendiri, sebuah sistem demokrasi yang merupakan pencerminan nilai-nilai keindonesiaan. Namun kita bisa belajar dari negeri-negeri lainnya bahwa partisipasi yang mandiri, dedikasi dalam kegiatan kemasyarakatan, keinginan untuk terlibat dalam kehidupan sosial adalah unsur universal yang merupakan the necessary elements for a democracy to flourish.

Saya yakin, perjalanan sejarah Indonesia sudah menuju arah yang benar. Dalam 10 tahun terakhir, sejak masa reformasi, memang muncul berbagai tantangan dan kebimbangan. Namun, Indonesia telah tumbuh semakin dewasa, dengan sistem politik nasional yang semakin mencerminkan kematangan tersebut.

Tentu saja kita tidak boleh berpuas diri. Gejala konflik dan kerusuhan yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar kebangsaan kita harus terus diperkuat dan dirawat dengan baik. Hal ini tidak boleh terus berlanjut.

Selain itu, lewat berbagai survei, kita mengerti bahwa akhir-akhir ini cukup banyak masyarakat yang merindukan stabilitas, ketegasan, serta kecepatan pembangunan di masa lalu, khususnya di zaman Orde Baru. Kerinduan ini bisa kita pahami. Bahkan Partai Golkar sebenarnya merupakan bagian penting dari sukses masa lalu tersebut, dan karenanya jika diperlukan, akan sanggup mengulang kembali keberhasilan masa silam, tentu dengan menyerap semangat zaman dan mengakomodasi perkembangan baru yang lebih baik.

Tetapi kita harus ingat, masa lalu bukanlah tujuan perjalanan. Masa lalu adalah pelajaran, sumber inspirasi, dan pembanding sejarah. Kita hidup di masa kini dan harus bergerak ke masa depan.

Itulah tugas sejarah yang menjadi tantangan kita: dengan kearifan masa lalu, kita membangun masa kini, untuk merebut kejayaan bangsa di masa mendatang.

Membangun bangsa memang bukanlah pekerjaan satu dua generasi. Tetapi kita harus memastikan bahwa dari satu generasi ke generasi berikutnya, bangsa Indonesia harus terus maju dan berkembang, bukan mundur dan semakin terbelakang.

Sekali lagi, marilah kita peringati Hari Kebangkitan Nasional dengan penuh syukur. SOKSI, Golkar, serta seluruh komponen strategis bangsa harus mengawal kemajuan bersama. Jangan pernah lengah. Jangan pernah putus asa. Insya Allah, di masa-masa mendatang, Allah terus memberi ridho-NYA kepada kita semua untuk menjadi bangsa yang maju, tangguh, damai dan sejahtera.

Wabillahitaufiq Walhidayah,

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Mempererat Kerjasama Indonesia – Korea

Keynote Speech Aburizal Bakrie, Ketua Dewan Pembina SOKSI dan Ketua Umum DPP Partai Golkar dalam acara Indonesia–Korea Forum: Green Partnership. Rabu, 11 Mei 2011.

Honorable Vice Minister Jung Ho Moon of South Korean Ministry of Environment,

Honorable Mr Ade Komarudin, Chairman of SOKSI,

Honorable Prof Dr Suhardiman, SOKSI Founder,

Honorable Ministers, Members of Parliaments, Distinguished Delegates,

Good morning, Annyeonghaseyo!

Selamat Pagi, Apa kabar!

Ini adalah suatu kehormatan Mr Jung Ho Moon, Wakil Menteri Lingkungan Korea Selatan, berada di antara kita hari ini untuk forum kerja sama lingkungan. Selama paruh kedua abad ke-20, Korea Selatan telah berhasil mengembangkan negaranya menjadi salah satu negara industri terkemuka di dunia. Rakyat Korea Selatan terkenal dengan semangat yang tinggi dan etika kerja yang kuat. Indonesia bisa belajar banyak dari Korea Selatan.

Tahun lalu, Ade Komarudin, Ketua Soksi, pernah berkunjung ke Korea Selatan untuk membahas kerja sama di bidang lingkungan dengan Kementerian Lingkungan dan pengusaha. Sekarang dengan kunjungan balasan kehormatan oleh Wakil Menteri Lingkungan Korea Selatan di Indonesia–Korea Forum, kami berharap dapat meningkatkan kerja sama yang lebih baik antar dua negara negara di berbagai sektor seperti industri, ekonomi dan lingkungan.

Saat ini, Indonesia bekerja keras untuk mengembangkan potensinya. Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara. Pertumbuhan ekonomi kita adalah 6,5 persen di kuarta I 2011; dengan PDB mencapai US$714 miliar pada tahun 2010, untuk sementara kami berhasil meningkatkan pendapatan per kapita untuk penduduk 234 juta orang.

Dari perspektif Korea Selatan, pasar konsumen yang berkembang di Indonesia tentu menarik. Indonesia juga menjadi salah satu sumber bahan baku untuk Industri di Korea Selatan. Sebagai timbal baliknya, Indonesia juga memerlukan investasi Korea Selatan (terutama di infrastruktur seperti jalur kereta api, jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik) dan teknologi. Korea Selatan juga merupakan tujuan penting untuk ekspor Indonesia.

Memang, peningkatan yang signifikan dalam hubungan Indonesia-Korea Selatan tercermin dengan baik melalui perkembangan pesat perdagangan bilateral antara kedua negara. Pada tahun 2010, misalnya, perdagangan bilateral antara kedua negara melonjak menjadi U$20,27 miliar, meningkat 57 persen dari U$12,88 miliar pada tahun 2009. Korea Selatan merupakan satu dari 10 investor terbesar di Indonesia. Pada tahun 2010 saja, investasi Korea Selatan di Indonesia mencapai U$328 juta.

Ini merupakan potensi pasar besar bagi kerja sama ekonomi dan lingkungan bagi kedua negara di masa mendatang. Potensi yang belum dimanfaatkan masih banyak lagi. Dan sekarang kita bertemu di forum ini untuk membahas tentang hal itu.

Dalam konteks regional, Indonesia dan Korea harus bekerja sama lebih baik lagi dalam membentuk masa depan wilayah tersebut. Tiga agenda utama yang perlu ditelusuri. Pertama, Indonesia dan Korea Selatan harus bekerja lebih dekat lagi dalam mendorong demokrasi sebagai agenda strategis di Asia. Fakta bahwa Indonesia dan Korea Selatan menjadi Pemimpin Bersama dalam Bali Democracy Forum (BDF) telah memberikan landasan yang kuat bagi kedua negara untuk mengelola momentum tersebut.

Kedua, Indonesia dan Korea Selatan harus bekerja lebih dekat sama dalam membentuk masa depan arsitektur kawasan. Kedua negara harus memastikan bahwa Asia Timur akan menjadi sebuah situs untuk kerja sama, bukan teater untuk persaingan strategis di antara negara-negara besar. Kedua negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa abad ke-21 benar-benar satu abad kerja sama Asia Timur.

Ketiga, Indonesia dan Korea Selatan juga harus memperkuat kembali visi mereka untuk suatu komunitas Asia Timur, dan mendorong negara-negara kawasan untuk ke arah sana. Korea Selatan adalah negara yang pertama kali mengambil peran aktif dalam mendorong kawasan menuju arah tersebut. Dengan bekerja sama dengan Indonesia, dan lain-lain di kawasan ini, visi ini akan berfungsi sebagai jalan panduan untuk mencapai Asia Timur yang stabil dan makmur.

Dalam konteks global, Indonesia dan Korea Selatan dapat bekerja sama untuk memberikan solusi untuk masalah-masalah global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan energi. Sementara kedua negara telah bekerja sama erat pada beberapa masalah ini, ide-ide baru dan inisiatif tentang bagaimana mereka dapat memainkan peran yang lebih besar dalam konteks global masih diperlukan. Melihat keadaan hubungan bilateral saat ini, ada alasan untuk percaya bahwa Indonesia dan Korea Selatan berada dalam posisi yang baik untuk menerima tantangan yang lebih besar lagi.

Oleh karena itu, kami berharap bahwa Indonesia dan Korea Selatan dapat melanjutkan kerja sama di berbagai sektor. Kita semua percaya bahwa kita akan menemukan beberapa kendala dalam perjalanan untuk mencapai tujuan bersama, tapi kita juga harus yakin bahwa kita dapat menyelesaikan apa pun tantangan tersebut. Pepatah Konfusius mengatakan: “Sebuah perjalanan ribuan mil selalu dimulai dengan langkah awal” Sebagai Ketua Dewan Penasihat SOKSI, saya mengharapkan diskusi ini berjalan dengan sukses dan lancar.

A Stronger ASEAN in An Advancing Free World

100127_aburizal-bakrie-di-singapura_300_225Welcoming Speech Chairman of the 8th Asean Leadership Forum. Jakarta, 8 Mei 2011.

HE Vice President Beodiono

HE Prime Minister Dato Sri Mohamad Nadjib

Senior Minister Cham Prasidh

Ministers, Chairman of Kadin, distinguished guests

Ladies and Gentlemen

Assalamualaikum Wr. Wb.

May peace be upon all of us

I would like to use this opportunity to express our sincere appreciation and grateful to His Exellency Bapak Boediono, His Excellency Dato Sri Mohamad Nadjib and Honorable Senior Minister Champ Pradish (who is representing the Prime Minister of Cambodia) for participating and agreeing to address this Forum.

I am proud that the Asean Leadership Forum is held in Jakarta for the 2nd time. I am also honored to be given this opportunity to be the Chairman of the Forum, which is organised by ASLI and co-organised by the Asean Secretariat and the Indonesian Chamber of Commerce or KADIN.

This Forum brings together government, business, civil society and opinion leaders to review the proggress toward the Asean Community by 2015. We are here also to discuss several strategic topics, namely the issues of enhancing Asean connectivity, the promotion of Asean green growth, and the voices of Asean younger generation.

Besides all that, the Forum will also look beyond 2015. We are going to see what more Asean can achieve in the next one or two decades.

All of these topics are particularly relevant after the conclusion of the 18th Asean Summit, hosted by Indonesia.

It is a timely oppportunity to reflect strategic challenges facing the region in the near future, as China and India are advancing rapidly toward progress, as the world is more deeply globalised, as geopolitical elements, cultures, movement of peoples, and money are shifting, moving, changing in a new pattern and behaviour that quite often cannot be easily understood.

Asean must grow stronger in a rapidly changing world. Asean is founded upon a big idea that a friendly partnership, a bond tied by mutual respect of nations in the region, is our prerequisite for economic and social progress. With peaceful and mutual respect, with the support of our governments, we endorse the basic stuff to take care of itself: free flow of capital, free flow of goods, and free flow of services.

So far, we have been moving in the right direction. But let us not forget the more crucial issue, which I think will bring more complex political consequences, namely the issue of free movement of people, including workers and job seekers. There has been some irony here, because we have been quite advance in moving toward free trade and services, but we have yet to do something significant in guaranteeing and protecting the free movement of people. We seem to like the money, but not the people.

Here the issues of migration, of cultural understanding, of mutual respect among our people are becoming the real test for Asean. So, the spirit of Asean community should not only become the lip service of our leaders, but should be implemented with all our heart and our best effort.

We cannot advance very far into the future if our own people do not treat and relate to each other well, or if Asean governments fail to protect Asean migrants and workers in a respectful and lawful manner. Business cannot thrive if the people do not feel secure and peaceful. Industries cannot long exist if workers are restless and discontended.

I therefore sincerely hope that we can soon commit ourselves to the implementation of the 2007 Cebu Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. We need to include this declaration as one of our cornerstones in our effort to truly build a stronger Asean society in the global community of nations.

Asean needs to transform itself to become more dynamic, effective, creative, and therefore relevant for all of us. The Cold War is long gone. The balance of power is shifting, the world’s political architecture is being re-drawn, and our region is becoming more important.

At the same time, science, technology, capital and information are creating new opportunities as well as new challenges almost every day. With unmatched intensity, we are forced to adapt, almost mercilessly – but if we do our best we will enjoy almost unlimited promises in the future.

So we have to be prepared and move fast enough. I therefore believe that our discussions in this Forum over the next two days will be interesting, productive, with lots of new ideas and far reaching insights.

In closing, I wish to thank ASLI and its CEO Dato Michael Yeoh for giving me the opportunity to address this forum as its Chairman. I wish you are all very well. Let us strive to think Asean, to act Asean, and to build our region that our peoples can be proud of.

Wabillahitaufiq walhidayah

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Jangan Terjebak Transisi, Saatnya Membangun Ekonomi

Saat ini, rakyat Afrika Utara dan Timur Tengah, seperti di Tunisia, Mesir, dan berbagai negeri lainnya, sedang berusaha mendorong agar negeri mereka menjadi negeri demokratis. Usaha ini tidak mudah, namun dengan perlahan, mereka terus berusaha melakukannya.

Kita patut bersyukur bahwa kita telah melampui semua itu. Sudah lebih 10 tahun Indonesia menjadi sebuah negeri yang demokratis. Kita sekarang menjadi salah satu negeri demokrasi terbesar di dunia. Semua ini kita capai bukan dengan mudah, namun dengan perjuangan dan dorongan dari rakyat kita, khususnya kaum muda dan mahasiswa di ujung kekuasaan Orde Baru.

Keberhasilan kita yang terbesar adalah kita berhasil membangun demokrasi dengan tetap menjaga keutuhan NKRI, mempertahankan Pancasila dan prinsip pluralisme sebagaimana yang terkandung dalam semboyan kita: Bineka Tunggal Ika, serta mempertahankan UUD 45 dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Selain itu, kita mengembangkan otonomi daerah serta membuktikan bahwa Islam dan demokrasi bukanlah dua hal yang saling berlawanan.

Saya menyampaikan hal itu di hadapan para generasi muda dalam acara “Serial Kuliah Tamu: Kepemimpinan dan Kebangsaan bersama Aburizal Bakrie” di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, akhir pekan lalu. Karena yang hadir saat itu adalah mahasiswa yang merupakan kaum muda, maka apa yang saya paparkan adalah konsep politik, demokrasi, pembangunan, dan sebagainya dalam kerangkan peran generasi muda.

Kepada para mahasiswa yang hadir, saya mengatakan; dengan semua keberhasilan tersebut, sekarang negeri kita tidak boleh lagi menganggap bahwa kita masih berada dalam situasi transisi. Indonesia sekarang sudah memasuki tahap konsolidasi. Karenanya, kita harus mulai meninggalkan paradigma transisi, yang sering digunakan sebagai pembenaran bagi kelemahan dan kesalahan yang kita buat sendiri. Sering dikatakan: “Kita gagal karena ini kan masih transisi”. No, tidak boleh begitu.

Kita tidak boleh lagi terjebak pada transisi. Politik sudah selesai. Sekarang saatnya membangun ekonomi. Yang harus kita kerjakan sekarang adalah memantapkan elemen-elemen dasar sistem politik, ekonomi, sosial, serta sistem hukum agar semua pencapaian kita menjadi semakin kuat dan berlanjut. Di atas semua itu, demokrasi kita harus semakin di arahkan sebagai wadah dan mekanisme untuk mencapai tujuan-tujuan besar, seperti peningkatan kesejahteraan rakyat, kemajuan pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.

Demokrasi tidak boleh hanya dimanfaatkan sebagai wadah politik, di mana kaum politisi dan kaum pemimpin hanya melakukan interaksi kekuasaan semata, hanya mencari kekuasaan semata. Demokrasi dalam pengertian sesungguhnya adalah “demos” (rakyat) dan “kratein” atau “kratos” (kekuasaan). Artinya, rakyatlah yang berkuasa, lewat wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif. Karena itulah, wakil rakyat dan kaum pemimpin harus mengabdi pada rakyat, bukan mengabdi pada kepentingannya sendiri.

Jika pengertian dasar tersebut kita jadikan pegangan, maka saya yakin bahwa konsolidasi demokrasi kita akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini saya sangat berharap agar kaum muda, khususnya mahasiswa dan kaum terdidik lainnya, dapat menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan yang konstruktif.

Minggu lalu saya berada di Beijing selama dua hari. Setiap kali berada di negeri Panda ini, setiap kali pula saya terkagum-kagum, sekaligus sedikit menyesali mengapa Indonesia tidak bisa tumbuh secepat Tiongkok. Dengan pertumbuhan ekonomi mendekati 10 persen setiap tahun, Tiongkok berhasil mengangkat ratusan juta warganya dari jurang kemiskinan, mengejar ketertinggalan ilmu dan teknologi, membangun infrastruktur, dan sebagainya.

Indonesia sebenarnya sudah cukup baik selama beberapa dekade, sejak zaman Orde Baru di bawah Pak Harto sampai sekarang. Banyak hal sudah berbeda ketimbang situasi sekian puluh tahun lampau. Tapi sayangnya, masih banyak potensi kita yang belum berkembang maksimal, dan banyak orang tampaknya sudah merasa puas dengan tingkat pertumbuhan hanya enam persen.

Barangkali itulah yang menjadi penyebab mengapa sekarang ini kita terkesan begitu lamban dan berjalan tanpa arah yang terlalu terfokus. Hal tersebut patut disayangkan. Padahal kalau kita ingat, Deng Xiaoping “baru” memulai reformasi ekonomi Tiongkok pada tahun 1978, sementara Indonesia mulai pada 1967, jadi 11 tahun lebih dahulu. Selain itu, jalan tol Jagorawi mulai dibangun pada akhir 1970an, yang merupakan jalan tol pertama di Asia.

Waktu itu Tiongkok, India, Malaysia merasa perlu belajar ke Jakarta dan melihat hebatnya Jagorawi. Sekarang, setelah 30 tahun kemudian, kita baru berhasil membangun jalan tol kurang dari 1.000 km, sementara Malaysia sudah memiliki sedikitnya 6.000 km, dan Tiongkok sudah mencapai prestasi yang fantastis, puluhan ribu km jalan tol dengan kualitas yang baik.

Semua itu harus memicu kita untuk memperbaharui tekad dan mendorong pembangunan ekonomi dengan lebih cepat, lebih baik, serta lebih merata lagi. Kita harus berani bermimpi. Kita harus terus memiliki semangat untuk maju, dan maju secara cepat dengan memanfaatkan segenap potensi yang ada.

Kalau Indonesia berhasil mendekati pencapaian prestasi ekonomi Tiongkok, maka kita boleh berbangga, karena kita dapat melakukannya dalam sistem demokrasi. Kita membangun dalam suasana kebebasan, suasana keterbukaan yang melibatkan partisipasi begitu banyak pihak dengan beragam kepentingan dan warna politik. Artinya, secara potensial, basis kemajuan ekonomi kita sebenarnya lebih kokoh, broad-based, serta didukung oleh legitimasi politik yang sah.

Selanjutnya, dalam mendorong percepatan pembangunan ekonomi kita, ada beberapa prioritas yang perlu cepat dikembangkan. Yang terpenting, seperti yang telah saya contohkan tadi dengan jalan tol Jagorawi, adalah pembangunan infrastruktur yang merupakan fondasi perekonomian modern, seperti sarana jalan, pelabuhan, bandara, air minum, dan listrik.

Kemudian, sumber-sumber daya alam yang menjamin sekuritas energi kita, khususnya minyak dan gas, serta sektor pertanian, yang menjamin keamanan pangan bagi sebagian besar rakyat, harus kita kembangkan dengan kebijakan yang jelas. Kita harus memberi tempat yang memadai kepada pelaku-pelaku ekonomi domestik, memberi perlindungan dan sikap yang jelas berpihak, tanpa harus terjebak kepada sentimen anti-asing.

Dengan kebijakan seperti inilah Indonesia bisa berkembang pesat, dengan tetap menjaga kemandirian ekonomi yang memadai. Kita terbuka kepada dunia. Kita tidak cemas pada persaingan. Sebab persaingan justru melatih kita untuk lebih kuat dan kompetitif. Namun, pada saat yang sama, kita juga menjaga dan melindungi beberapa sektor vital agar nasib kita tidak sepenuhnya tergantung kepada naik turunnya gelombang perekonomian internasional.

Secara konsepsional, pola pembangunan ekonomi yang perlu kita terapkan adalah konsep pembangunan yang kerap disebut sebagai the welfare state system, sistem negara kesejahteraan. Dalam sistem ini, interaksi antara para pelaku ekonomi diatur dengan tingkat kepastian hukum yang tinggi, serta ditunjukan untuk mencapai keseimbangan produktif yang mendamaikan kepentingan pekerja, pengusaha, dan kalangan pelaku ekonomi lainnya.

Pemerintah tidak percaya begitu saja pada mekanisme trickle down effect, dan karena itu melakukan intervensi langsung dalam beberapa bidang, serta dalam beberapa hal lainnya memainkan peran sebagai pemandu yang fair, terbuka, dan membela kepastian hukum.

Itulah konsepsi yang ideal yang perlu terus kita perjuangkan. Saya katakan pada mahasiswa yang hadir, bahwa mereka atau kaum muda Indonesia perlu mengerti semua itu. Karena pada akhirnya, tongkat estafet kepemimpinan akan berada di tangan mereka, dan perjalanan Indonesia tergantung pada arah yang mereka tentukan.

Saya katakan pada mereka bahwa saya yakin, our future is bright, masa depan lebih cerah dibanding masa kini dan masa silam. Apalagi para mahasiswa dan kaum muda ini adalah generasi Indonesia yang lebih terdidik, lebih terbuka pada dunia luar, serta dilengkapi dengan begitu banyak sarana teknologi komunikasi untuk mencari hampir semua informasi yang mereka butuhkan.

Sebelum mengakhiri kuliah, saya berpesan pada mereka. Sebagai kakak dan sahabat, saya ingin mereka jangan membuang-buang waktu. Mereka boleh menikmati kehidupan, sebagaimana seharusnya kaum muda. Tetapi jangan lupa untuk terus belajar, mengejar ilmu, mengembangkan bakat dan kemampuan, serta meraih cita-cita yang telah ditetapkan. Masa depan bangsa ini ada di tangan mereka: para mahasiswa dan generasi muda.

Jangan Menyerah Pada Kegagalan

Bertemu mahasiswa salah satu aktivitas yang saya sukai. Rabu kemarin, 27 April 2011, saya berkunjung di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Saya diundang ke sana menjadi pembicara pada acara “Serial Kuliah Tamu: Kepemimpinan dan Kebangsaan bersama Aburizal Bakrie”. Acara diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga dan Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan di Fakultas Ekonomi kampus tersebut.

Mahasiswa yang hadir di acara itu sebagian menginginkan saya berbagi pengalaman. Terutama bagaimana kiat sukses menjadi pengusaha. Maka langsung saja, saya mengawali kuliah dengan menceritakan pengalaman saya. Saya ceritakan bagaimana saya belajar membangun usaha dan menghadapi kegagalan-kegagalan dalam perjalanannya.

Karena di hadapan para mahasiswa, maka saya mulai menceritakan pengalaman saya sewaktu kuliah di ITB pada tahun 1960an. Saat itu, saya memiliki ayah yang sudah berkecukupan di zaman itu. Tetapi bagi saya, hal itu tidak berarti semuanya serba mudah. Saya dan adik-adik saya tidak tumbuh dalam kemanjaan. Sebaliknya, sambil kuliah, saya belajar berusaha dan mencari uang sendiri.

Saya belajar berusaha dengan menjual tas dan kaos. Saya berjualan tas yang ada logo kampus seperti ITB, UI, Trisakti, dan sebagainya. Ada juga yang berlogo SMA. Saat itu, tas berlogo kampus atau sekolah sangat digemari karena kebanggaan mahasiswa dan pelajar pada almamaternya sangat tinggi. Karena itu, barang dagangan saya sangat laku.

Saya juga menjual kaos yang di cap dengan macam-macam desain. Misalnya pada saat Perang Vietnam, saya membuat kaos dengan tulisan “Not War”. Barang dagangan saya, semua saya jual dengan menitipkan di Pasar Cikini, Pasar Tanah Abang, dan Pasar Senen. Setiap hari Sabtu, saya ke Jakarta untuk mengantarkan barang baru dari Bandung dan mengambil uang hasil penjualan barang sebelumnya.

Ada cerita lucu soal aktivitas kuliah sambil jualan saya ini. Gara-gara sibuk jualan, saya pernah bolos kuliah. Celakanya ayah pacar saya, yang sekarang jadi istri, yang hari itu memberikan kuliah. Saya tidak tahu kalau ada kuliah umum beliau hari itu. Seperti kebiasaan umum mahasiswa, karena tidak hadir, saya nitip absen pada teman saya.

Malamnya saya ngapel atau berkunjung ke rumah pacar, dan ketemu ayah pacar saya yang tadi siang saya tidak ikut kuliahnya. Beliau bertanya, tadi saya kemana. Saya katakan; “Ada saya di situ”. “Kok gak lihat,” balasnya. “Wah Bapak gak lihat, padahal saya ada di situ,” kilah saya. Dia senyum-senyum tahu saya tidak ada. Untunglah beliau bijaksana.

Dalam berusaha, walaupun ayah saya sebenarnya dapat memberikan fasilitas, tetapi saya harus belajar berdiri di kaki sendiri. Saya dan adik-adik saya diajarkan mandiri dan berani menghadapi kegagalan. Karena usaha apapun dalam kehidupan pasti ada kegagalan. Memang dalam perjalanannya, saya beberapa kali gagal dan terperosok. Ayah saya berkata bahwa justru dengan kegagalan, kita dapat tumbuh lebih kuat. Kegagalan adalah langkah awal bagi keberhasilan.

Pelajaran untuk jangan menyerah pada kegagalan ini sangat penting. Kepada mahasiswa yang hadir saya berpesan, kalau gagal jangan terpuruk dan terus menyerah di dalam kegagalan. Soal ini, ayah saya mengatakan; jika kita berada di tempat yang gelap, bayangan pun akan lari. Bayangan yang paling setia, ikut kita ke mana-mana saja lari, apalagi teman-teman kita. Makanya kita harus keluar dari tempat gelap, keluar dari kegagalan.

Saya pernah mengalami kegagalan yang sangat besar. Misalnya, pada saat Krisis Moneter 1998, saya betul-betul jatuh. Saya dan seluruh keluarga saya terjebak pada lubang kesulitan yang sangat dalam. Saat itu saya benar-benar bangkrut. Waktu itu, hutang kami jauh lebih besar ketimbang harta kami yang tersisa. Kami lebih miskin dari pengemis yang termiskin sekalipun. Pengalaman ini pernah saya tulis di blog ini dengan judul Saya Pernah Lebih Miskin dari Pengemis.

Tetapi semua itu tidak mematahkan semangat saya. Tahun 2001 saya selesaikan semua permasalah itu. Karena saya tidak bisa bayar hutang memakai uang, saya bayar pakai saham. Waktu itu saham saya di perusahaan yang didirikan oleh ayah saya dari 55% tinggal 2,5%. Sebagian besar saham (95%), dari perusahaan yang didirikan ayah saya jadi milik bank. Saya tinggal punya 2,5% dan sisanya, 2,5% milik publik.

Hidup jadi sangat pahit saat itu. Jika sebelumnya ke mana-mana naik pesawat pribadi, setelah bangkrut 1998, terpaksa saya naik pesawat ekonomi. Tadinya saya sangat dihargai, sampai-sampai bank semua menawarkan kredit besar pada perusahaan kami. Namun saat saya gagal, semuanya berbalik. Jika sebelumnya mereka yang mengemis-ngemis ke tempat saya, gantian saya yang mengemis-ngemis ke tempat dia. Semua orang yang dulu percaya jadi tidak percaya dan mengatakan tidak mungkin Bakrie bangkit lagi.

Tapi saya tidak mau menyerah dan terus berusaha dan mencari jalan keluar. Sebab dalam kegagalan tidak boleh patah semangat dan harus terus berusaha. Saya tidak terjebak dalam pesimisme dan sikap menyalahkan orang lain. Alhamdullilah, akhirnya atas pertolongan Allah dan kerja keras, usaha saya bisa tumbuh lagi dan akhirnya justru lebih besar lagi dari masa sebelumnya.

Apa yang saya lakukan untuk bangkit dari kegagalan? Saya terus berdoa dan bekerja keras. Saya belajar membaca tren dunia saat itu, yang masih relevan untuk saat ini. Ada tiga hal pokok yang sangat di butuhkan dunia yaitu: food (makanan), energy (energy), and water (air), kalau kita singkat: few. Itu tren yang ada dan saya masuk ke sana mengambil bidang energi dan menggeluti bisnis baru yaitu batubara. Bisnis ini dan beberapa lainnya kemudian membangkitkan dan membesarkan bisnis saya.

Pengalaman saya membuktikan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya. Jangan takut dan jangan pernah lari dari persoalan. Jika ada persoalan maka harus dihadapi. Jangan sembunyi atau minta bantuan orang. Jika tidak pernah bisa menghadapi maka persoalan tidak akan pernah selesai. Semua itu tentu berkat pertolongan Allah SWT. Tetapi pertolongan dan kesempatan ini tidak akan datang tanpa usaha.

Kepada para mahasiswa dan anak muda saya berpesan agar tidak takut berusaha. Usaha tidak selalu harus dimulai dengan uang dan fasilitas yang besar. Usaha hanya perlu mimpi dan kerja keras. Karena itu bermimpilah yang besar dan gantungkan cita-citamu setinggi langit.

Saya juga berpesan, untuk sukses, anak muda juga harus belajar mengatur waktu. Masa muda memang perlu bermain-main dan menikmati hidup, tapi harus juga diatur waktunya. Dulu saat kuliah saya juga mengatur waktu kapan kuliah, pacaran, berlatih karate, dan aktivitas lainnya. Rencanakan waktu anda sehingga anda bisa mengerjakan berbagai pekerjaan di dalam waktu yang sempit.

Dari kebiasaan mengatur waktu sejak muda, sekarang saya bisa membagi waktu saya untuk menjalani aktivitas saya yang sangat padat. Sebagai gambaran, saya akan memaparkan kegiatan saya beberapa pekan belakangan ini. Senin pergi ke Beijing, sampai di sana malam. Besoknya di sana banyak rapat dan pertemuan yang harus dihadiri. Dalam dua hari di sana ada 13 rapat. Kemudian hari Rabu malamnya saya berangkat dari Beijing ke Bali. Jam 12 malam saya terbang, sampai di Bali jam 7 pagi. Jam 2 siang saya menghadiri acara Dharmasanti, perayaan hari raya nyepi bersama umat Hindu di sana.

Kemudian besoknya saya pergi ke Larantuka di Flores untuk menghadiri prosesi Jumat Agung bersama saudara-saudara kita yang merayakannya. Hari Sabtu saya ke Pulau Komudo, hari Minggu saya di Banten. Lanjut hari Senin pagi saya berangkat ke Sukabumi dan tengah malamnya saya berangkat ke Morotai. Di sana hanya 4 jam dan saya langsung terbang ke Surabaya untuk menghadiri acara di Madura dan kuliah umum di Unair ini.

Hampir setiap hari jadwal dan kesibukan saya hampir sama dengan itu. Jika tidak membiasakan mengatur waktu sejak muda, maka akan susah. Karena itu, kepada para anak muda dan mahasiswa saya berpesan agar membiasakan menjadwalkan waktunya. Tidak hanya kualiah, waktu pacaran juga perlu dijadwal. Yang terpenting tentu saja berdisiplin mematuhi jadwal itu.

Itulah beberapa hal dari banyak hal yang saya sampaikan saat memberikan kualiah di Unair. Tema lain yang berbeda, akan saya tuangkan dalam tulisan saya selanjutnya. Saya berharap pengalaman saya itu dapat bermanfaat sebagai pembanding dan bekal dalam kehidupan para mahasiswa dan anak-anak muda yang akan jadi penerus bangsa ini. Di tangan para anak mudalah nasib bangsa ini digantungkan. Jika anak muda gagal, maka gagallah bangsa ini. Sebaliknya jika anak muda berhasil, maka akan berhasil pulalah bangsa ini.