Oleh : Indra J Piliang
Dewan Penasehat The Indonesian Institute
Ada banyak hal tentang judul di atas. Hanya saja, keterbatasan halaman membuat saya harus memilah-milah lagi. Apalagi, judul di atas mengandung subjektifitas tinggi, dan itu tak mudah.
Nama Aburizal Bakrie saya dengar ketika saya bekerja sebagai sekretariat, office boy, serta merangkap macam-macam, di Apartemen Taman Rasuna pada tahun 1999-2000. Ya, nama itu adalah “pemilik” apartemen itu. Majikan sayalah yang menceritakan segala sesuatu menyangkut sepak-terjang tetua di Grup Bakrie itu. Namun, saya tidak terlalu memikirkan, bahkan ketika saya masuk ke kehidupan sebagai seorang analis politik.
Nama Aburizal Bakrie muncul lagi, ketika Rizal Mallarangeng yang sempat bersama saya di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memutuskan membentuk Freedom Institute. Saya dengar bahwa donatur lembaga think tank baru itu adalah Aburizal Bakrie. Beberapa kali saya datang ke kantor Freedom Institute yang kala itu masih berada di Jalan Irian, mengikuti diskusinya dan berhubungan baik dengan banyak kaum intelektual, jurnalis dan aktifis. Menurut saya, inilah langkah penting pertama Aburizal “menjauhkan” diri dari persoalan bisnis atau ekonomi semata.
Datanglah waktu untuk saya berhubungan secara pribadi dengan Aburizal Bakrie, lalu saya panggil Bang Ical setelah itu. Momentumnya adalah konvensi nasional Partai Golkar dalam memilih calon presiden pada tahun 2003-2004. Sebagai analis politik di CSIS, sejak 1 Desember 2000, saya melibatkan diri secara “jauh”, yakni mengikuti perjalanan konvensi itu dari dalam. Kebetulan, sejumlah kawan yang saya kenal bergabung dengan tim Bang Ical. Keterlibatan mereka lebih sebagai partner diskusi, ketimbang pengatur strategi, pencari suara dan hal-hal teknis lainnya dalam belantara politik yang rumit.
Bepergian dengan Bang Ical
Dan itulah pengalaman pertama saya naik pesawat pribadi, ketika saya ikut bepergian. Saya ikut terbang ke NTB, NTT, Bali, Riau, Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Barat. Tentu bersama sejumlah rombongan lain, yakni para observer (pengamat) dan jurnalis. Di atas pesawat inilah saya berkenalan dengan banyak tokoh, terutama dari kalangan pengusaha nasional. Pernah saya tertidur di pesawat, lalu ketika bangun menemukan Bang Ical duduk persis di samping saya sambil tertawa-tawa dengan Bang Fuad Mansyur.
Tentu saya juga berdiskusi dengan Bang Ical. Yang saya ingat adalah petatah-petitih yang saya sampaikan dalam bahasa Minang, sebelum Bang Ical menyampaikan orasi di Padang, Sumatera Barat.
“Coba abang jawab dengan pepatah ini, apabila menjawab pertanyaan tantangan: kalau tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan!” kata saya.
“Apa artinya itu?” tanya Bang Ical.
“Sikap ikhlas, berani, apa adanya,” kata saya.
Dan benar saja, muncul pertanyaan dari peserta konvensi. Pertanyaan itu kira-kira: seandainya Pak Ical tidak terpilih menjadi Calon Presiden Partai Golkar, apakah Pak Ical akan legowo dan tetap di Partai Golkar?
“Saya memakai prinsip orang Minang. Baik diberi kepercayaan atau tidak, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan. Saya tetap akan membesarkan Partai Golkar!” begitu jawab Bang Ical.
Tepuk tangan bergemuruh. Bang Fahmi Idris yang menjadi pengawas konvensi, sampai mengirimkan sms yang isinya meledek saya sebagai “pembisik” Bang Ical. Dan yang saya tak lupa dengan sikap Bang Ical setelah pidatonya yang “berhasil” itu, yakni mengacungkan jempol jari ke saya. Sikap yang juga saya lihat dalam diri Pak Jusuf Kalla. Sederhana, tetapi bermakna.
Begitulah. Terjadi sejumlah manuver dalam konvensi. Pak Jusuf Kalla memutuskan berduet dengan Pak SBY, maju sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Dalam konvensi, muncul tiga besar, yakni Akbar Tandjung, Wiranto dan Aburizal Bakrie. Wiranto muncul sebagai pemenang, lalu diusung sebagai calon presiden Partai Golkar yang berpasangan dengan Solahuddin Wahid. Akhirnya kita tahu hasilnya, SBY-JK menang dalam pilpres.
Dua Tebakan
Dua hari menjelang pengumuman kabinet SBY-JK, diadakan diskusi di Club Rasuna. Saya hadir sebagai pembicara. Sekaligus juga peluncuran buku yang disusun Bang Lalu Mara dengan judul “Merebut Hati Rakyat, melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie”. Banyak sekali tokoh yang datang dalam diskusi itu, baik dari Partai Golkar yang “membangkang” kepada Akbar Tandjung, maupun tokoh lain. Usia saya masih 32 tahun waktu itu, sehingga wajar saya kalau saya hati-hati.
Ketika ada pertanyaan wartawan waktu itu, apakah Bang Ical layak menjadi menteri, saya menjawab tegas: “Menurut saya, Pak Ical layak menjadi presiden, bukan menteri!” Dan di buku itu juga saya menulis bahwa Bang Ical layak menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Itu semua terjadi pada bulan Oktober 2004.
Entah apa yang terjadi kemudian, saya mendengar pengumuman Presiden SBY bahwa Bang Ical diangkat menjadi Menko Perekonomian. Dalam reshuffle kabinet pada tahun 2006, Bang Ical beralih menjadi Menko Kesra.
Lalu saya tidak lagi berhubungan dengan Bang Ical. Sekalipun kantor Menko Perekonomian atau Menko Kesra bisa saya capai dengan berjalan kaki dari CSIS, tak pernah terbersit sedikitpun dalam hati saya untuk sekadar bertandang. Saya kembali menjadi analis politik, melakukan penelitian, terlibat dalam pelbagai tim pemerintah dan non pemerintah, menulis kolom-kolom politik dan pekerjaan harian lainnya sebagai peneliti bidang politik dan perubahan sosial. Selain itu, sejak tahun 2006, saya kembali kuliah S-2 di Universitas Indonesia. Saya hanya sempat bertemu dan bersalaman dengan Bang Ical ketika diadakan malam penganugerahan Penghargaan Ahmad Bakrie yang dilakukan Freedom Institute.
Lapindo dan Lumpur Sidoarjo
Saya baru ketemu Bang Ical lagi di rumahnya, untuk pertama kalinya saya ke sana, ketika bencana lumpur terjadi di Sidoarjo pada tahun 2007. Mau tidak mau, saya memerlukan informasi yang lebih dalam dari nara-sumber terpenting. Sebagai analis, terutama juga menjadi sosok yang diwawancarai oleh banyak pihak dari dalam dan luar negeri, saya tentu membutuhkan informasi yang lebih utama.
“Kenapa PT Lapindo Brantas tidak maju ke pengadilan, untuk menentukan siapa pihak yang bersalah dalam masalah ini?” tanya saya.
Jawaban Bang Ical bikin saya kaget: “Saya malah ingin kasus ini diselesaikan lewat pengadilan”.
Jawaban yang saya ingat juga adalah apabila PT Lapindo Brantas dinyatakan bersalah, lalu dibangkrutkan (pailit), maka uang yang dimiliki oleh PT Lapindo Brantas tidak akan cukup untuk membiayai area terdampak. Selain itu, PT Lapindo Brantas adalah perusahaan publik yang sahamnya dimiliki banyak pihak, di dalam dan luar negeri.
“Saya yakin, kasus lumpur di Sidoarjo ini akan digunakan untuk kepentingan pemilu 2009 nanti. Siapa lagi sasarannya, kalau bukan saya. Saya dijadikan tameng untuk menutupi kasus-kasus yang lain,” kata Bang Ical, terang-benderang.
Saya tidak terlalu dalam lagi mengikuti kasus itu lewat Bang Ical, melainkan lewat media massa. Setahu saya, ada pihak yang maju ke pengadilan, dengan putusan sebaliknya bahwa PT Lapindo Brantas tidak bersalah. Yang saya juga baca, keluarga Bakrie mengeluarkan dana trilyunan untuk korban lumpur, selain juga dana dari negara.
Dari diskusi itu juga saya tahu bahwa Bang Ical bukanlah pelaksana bisnis dan ekonomi keluarga. Apalagi, dia adalah seorang menteri terpenting dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Bang Ical lebih banyak muncul sebagai penasehat di keluarganya. Ada sosok yang lain yang menjalankan bisnis, yakni Indra Bakrie dan Nirwan Bakrie. Hanya saja, sebagai sosok yang dituakan, serta bersentuhan dengan publik sejak menjadi Ketua KADIN, nama Aburizal Bakrie selalu terhubung dengan aktivitas ekonomi keluarganya. Bang Ical sempat menjadi orang terkaya di Indonesia versi Majalah FORBES dan orang tentu tidak lupa. Padahal, sejak menjadi menteri, saya melihat Bang Ical sudah melangkah ke dunia pemerintahan yang mau tidak mau adalah dunia politik dalam arti yang sebenarnya.
Saya sempat menulis artikel di Jawa Pos waktu itu: “Seandainya Lumpur Sidoarjo Kering”. Asumsi saya adalah dengan adanya pembayaran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, maka otomatis seluruh area terdampak sudah menjadi “milik” PT Lapindo Brantas. Nah, bayangkan dalam beberapa tahun atau puluh tahun ke depan, lumpur berhenti dan lahan mengering, bukankah PT Lapindo Brantas memiliki hak kepemilikan atas lahan-lahan itu? Bukankah ganti rugi sudah dilakukan sejak awal, sekalipun belum terealisasi semua?
Bang Ical Sebagai Politikus
Singkat cerita, saya bertemu lagi dengan Bang Ical dalam acara-acara kepartaian, sejak memilih bergabung dengan Partai Golkar pada tanggal 06 Agustus 2008, tiga tahun lalu. Saya memberi-tahu Bang Ical via pesan pendek bahwa saya memutuskan menjadi caleg Partai Golkar. Bang Ical menjawab singkat saja, “Bagus”.
Sesekali, saya melihat Bang Ical dalam rapat-rapat partai, baik untuk kepentingan pileg 2009 maupun pilpres 2009. Namun, Bang Ical lebih sibuk dengan kegiatannya sebagai menteri, ketimbang sebagai salah satu politisi di tubuh Partai Golkar. Satu yang saya ingat adalah bagaimana Bang Ical datang ke Yahukimo, Papua, ketika kelaparan melanda daerah itu, dan berhasil mengatasinya.
Dalam proses pileg dan pilpres 2009, saya sama sekali tak pernah berhubungan dengan Bang Ical. Bahkan tidak ada bantuan yang saya terima ketika memutuskan menjadi calon anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumbar II. Saya juga tak ingat, kenapa tidak meminta bantuan kepadanya. Saya lebih banyak berkomunikasi dengan Pak JK dan Bang Fahmi Idris. Kedua nama terakhir ini membantu saya dalam hal pendanaan.
Tibalah giliran pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas di Pekanbaru, pada Oktober 2009. Saya sudah diberitahu jauh-jauh hari soal ini, terutama oleh Bang Fuad Mansyur. Saya juga diminta bergabung ke dalam tim sukses Bang Ical. Tapi, karena saya sudah deklarasi sebagai pengusung Yuddy Chrisnandi, saya tidak bergabung dengan tim sukses Bang Ical. Hal ini juga sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa dalam pilihan-pilihan politik pribadi, saya berhak memutuskan sendiri.
Dan Bang Ical terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar 2009-2015. Ya, sesuai dengan apa yang saya tulis pada tahun 2004 di dalam buku “Merebut Hati Rakyat”. Saya mengucapkan selamat kepadanya, di atas panggung, dalam suasana bergemuruh. Lalu saya menjauh lagi, terutama mengurus masalah gempa bumi di Sumatera Barat. Belakangan, saya baru memutuskan untuk menjadi bagian dari kepengurusan DPP Partai Golkar, setelah mendengarkan saran dari sejumlah orang dan berkomunikasi dengan Bang Rizal Mallarangeng. Inilah yang saya sebut sebagai karier: memulai sesuatu sesuai urutannya.
Beruntung, saya mengenal dengan dekat tokoh-tokoh di sekeliling Bang Ical. Bukan sesuatu yang istimewa kalau saya bisa diikut-sertakan dalam rombongan Ketua Umum Partai Golkar ini. Barangkali karena sudah menjadi bagian dari DPP Partai Golkar, lalu dapat keistimewaan terbang ke sejumlah daerah dengan Bang Ical, maka otomatis saya adalah “Orangnya Ical”. Begitu juga dalam kasus Bank Century, saya dilibatkan sebagai tim pengendali dari DPP Partai Golkar yang jumlahnya terbatas.
Saya sebetulnya tidak nyaman dengan sebutan itu, apapun konotasinya. Sebab, menurut saya, setiap individu dalam dunia politik itu memiliki independensi masing-masing. Namun saya juga sadar bahwa inilah politik. Saya mulai menerima persepsi itu, dalam pelbagai kesempatan disebut “Orangnya Ical” atau “Orangnya JK”.
Dalam setiap kali saya menemaninya, saya berusaha untuk menyampaikan pandangan-pandangan saya. Dan lebih banyak sebetulnya mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Saya pernah menemui Bang Ical yang masih mengenakan celana renang, di rumahnya, lalu mendiskusikan soal-soal yang berkembang di publik. Kalau tidak puas, saya biasanya mencoba minta waktu, lalu datang ke kantornya di Wisma Bakrie I. Jawaban demi jawaban yang saya peroleh, saya coba konfirmasi kepada pihak lain atau kepada data dan dokumen yang saya cari kemudian. Bagaimanapun, berhadapan dengan Bang Ical adalah berbicara dengan seseorang yang memiliki pengetahuan baik, detil, dan sekaligus spontan dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya.
Kondisi Terburuk Bang Ical
Karena selalu melihat Bang Ical dalam kondisi prima dan penuh canda, tentu perubahan sikap saya perhatikan dengan baik. Kondisi fisik terburuk yang pernah saya lihat dalam diri bang Ical adalah ketika menghadiri kampanye terbuka Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat pada 2010. Bang Ical sempat tidur di pesawat, lalu usai kampanye mandi di sebuah restoran. Itulah saat saya melihat kondisi fisiknya kurang fit.
Kesempatan kedua saya melihatnya sakit flu adalah ketika Rapat Koordinasi Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera, Jawa, Bali, NTB dan NTT. Kepada senior-senior yang hadir saya sampaikan bahwa mesinya Bang Ical tak hadir dalam acara itu. Bagaimanapun, di mata saya, Bang Ical harus tampil maksimal, apalagi di hadapan ketua-ketua DPD Partai Golkar yang datang dari pelbagai daerah.
Di luar itu, Bang Ical adalah sosok yang rapi dan sehat, mengingat olahraga rutin yang dilakukannya. Malah, di matanya, saya selalu berada dalam kondisi kurang sehat, juga berpikir terlalu rumit.
“Elu mesti olahraga. Ngapain sih memikirkan hal yang nggak perlu dipikirkan?” katanya, beberapa kali.
Mungkin pertanyaan yang saya ajukan kepadanya terlalu “enteng”, sementara saya ikuti di publik justru menjadi persoalan yang “berat”. Tapi, lagi-lagi, saya selalu memiliki pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Pembagian wilayah Jawa menjadi beberapa bidang pemenangan pemilu saya sampaikan ketika di Palangkaraya. Saya katakan, “Kalau daerah di luar Jawa diurus oleh empat orang, padahal hanya mewakili 35% pemilih, kenapa Jawa hanya diurus satu orang yang mewakili 65% pemilih?” Bang Ical menerima saran itu, tapi setahun kemudian benar-benar membaginya ke dalam tiga bidang.
Bang Ical bukanlah sosok yang sangar. Ia memperhatikan soal-soal kecil. Bagi saya, kalau seseorang itu sudah menanyakan sesuatu yang sederhana dan tidak ruwet, berarti orang itu benar-benar memperhatikan kita.
“Elu kenapa pakai jaket terus? Elu nggak kepanasan?” katanya, ketika saya salami pas buka puasa di DPP Partai Golkar. Saya gelagapan menjawabnya, karena saya lihat Bang Ical berkeringat dan mengipas-ngipas badannya.
“Kurang enak badan, bang. Batuk,” jawab saya. Benar, saya batuk beberapa hari. Tetapi pertanyaan Bang Ical tetap tak terjawab, sebetulnya. Mungkin yang ia maksudkan adalah seringnya saya “salah kostum” salam setiap kali acara partai. Nah, rumit lagi, kan, cara berpikirnya?
Kado Setengah Abad Partai Golkar
Kembali ke “tebakan” tahun 2004 lalu, Bang Ical ternyata terbukti jadi Ketua Umum Partai Golkar. Apakah Bang Ical bisa menjadi presiden, sebagaimana jawaban saya kepada wartawan pada tahun 2004 lalu? Yang berubah, saya menjadi bagian dari proses (mewujudkan) itu, kalau seandainya Partai Golkar memutuskan Bang Ical-lah yang diusung sebagai calon presiden pada tahun 2014 nanti. Keputusannya ada pada akhir tahun 2012. Ah, apakah memang rumit menjadi presiden? Saya kira, saya berada pada sisi yang terlalu dekat untuk melalui proses itu.
Tentu, dari semuanya itu, saya dihadapkan dengan dua hal yang terjadi di depan: apakah saya akan menyaksikan keadaan yang lebih buruk lagi dari sekadar kesehatan Bang Ical? Ataukah saya menyaksikan keadaan yang jauh lebih baik di tahun-tahun mendatang? Apa itu? Terpilihnya Bang Ical sebagai Presiden RI periode 2014-2019.
Yang selalu saya katakan kepada konstituen Partai Golkar adalah ada dua peristiwa penting pada tanggal 20 Oktober 2014 nanti. Pertama, hari itu adalah ulang tahun Partai Golkar ke-50 atau setengah abad. Kedua, hari itu adalah hari pelantikan presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Akankah ada peristiwa ketiga yang terjadi, yakni kado ulang tahun Partai Golkar ke-50 itu adalah berupa terpilihnya Ketua Umum Partai Golkar untuk pertama kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia?
Saya kira, bukan hanya saya yang berada dalam kondisi penantian atas jawaban pertanyaan itu, melainkan juga para kader dan simpatisan Partai Golkar lainnya. Namun, apapun yang terjadi, saya kira filosofi alam Minangkabau akan tetap terpakai: tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan. Yang jelas, Bang Ical bukan satu-satunya orang yang sedang disebut-sebut sebagai calon presiden, lengkap dengan kendala dan masalah yang dihadapi. Apapun itu, saya tetap yakin bahwa Bang Ical memang layak menjadi presiden.Wallahu ‘Alam.
Jakarta, 15 Agustus 2011.