Aburizal Orang yang Berani dan Tegas

Jendral TNI (Purn.) Luhut B. Panjaitan

Pendiri dan Komandan Pertama Detasemen 81 Anti Teror Kopassus, Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

13640150033_0c946a15fc_bSaya sudah lama mengenal Aburizal Bakrie, yang sekarang dikenal dengan panggilan ARB. Saya sudah mengenal dia sejak masih bertugas di Timor Timur. Saya seorang tentara dan dia seorang pengusaha.

Di mata saya, Aburizal adalah teman yang baik. Sebagai seorang teman, dia adalah pribadi yang sangat hangat dan setiakawan. Dia juga sosok yang pandai berbisnis dan memimpin organisasi.

Persahabatan saya dengan Aburizal yang sudah puluhan tahun berlanjut saat dia menawari saya untuk masuk ke Partai Golkar sebagai dewan pertimbangan (wantim). Saat itu Aburizal terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Awalnya saya enggan, karena saya sedang sibuk meniti usaha saya waktu itu. Tapi Aburizal ini kawan baik saya, sehingga saya tidak bisa menolak permintaannya. Akhirnya saya membantu dia di Golkar.

Sampai akhirnya teman saya ini maju sebagai calon presiden. Saya mendukung penuh langkah dia. Saya ingin mengantarkan dia. Bukan hanya sebagai seorang sahabat lama, tapi juga karena saya tahu siapa Aburizal Bakrie. Saya tahu kapasitasnya. Dia memiliki kapasitas yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin bangsa.

Aburizal punya pengalaman organisasi yang cukup lengkap, dia juga menguasai masalah ekonomi dan kebangsaan, dan yang tak kalah penting, dia juga punya ketegasan dan keberanian. Ketegasan dan keberanian ini penting untuk memimpin bangsa sebesar dan sekompleks ini.

Negeri ini butuh pemimpin yang tegas dan tidak ada keragu-raguan. Keragu-raguan itu saya jamin tidak ada pada dia. Kalau ada, tidak mungkin saya berteman lama sama dia. Saking beraninya Aburizal ini, dulu saya pernah berkata pada dia:

“Coba kita kenal dari dulu, sudah gue suruh masuk Kopassus lu”

Itu saya katakan karena teman saya ini memang seorang yang pemberani. Waktu di Kupang kemarin, di depan tokoh agama saya bilang Aburizal ini orang yang pemberani dan tidak pernah ragu-ragu, Aburizal yang ada di samping saya bilang begini:

“Kalo ragu ya bisnisnya ndak akan maju,” ujarnya sambil tersenyum.

Selain itu, saya juga melihat Aburizal ini orang yang mengerti kondisi masyarakat dan apa yang diinginkan masyarakat. Ketika menjadi Menko Kesra, banyak hal yang sudah dikerjakaannya, mulai dari mengatasi kelaparan di Yahukimo, yang kemudian membuat banyak pemberontak OPM menyerah karena merasa diperhatikan, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), PMPM, dan lain sebagainya. Soal mensejahterakan rakyat, Aburizal sudah menunjukkan buktinya.

Kalau pun disebut kekurangannya yaitu soal Lumpur Sidoarjo, saya melihat ini adalah kekurangan yang dibuat-buat orang atau lawan politik. Saya juga pengusaha pengeboran, jadi tahu betul Lapindo tidak bersalah, dan keputusan pengadilan (MA) juga menyatakan tidak bersalah. Selain itu, saham Bakrie di Lapindo saat itu juga kecil.

Namun meski tidak bersalah dan dikuatkan secara hukum, Bakrie tetap membantu korban bahkan sampai keluar uang Rp9 triliun. Dia membayar tanah korban 20 kali NJOP atau 20 kali harga aslinya. Coba bayangkan, betapa baiknya kawan saya dan Keluarga Bakrie ini.

Soal Lapindo ini saya bicara fakta. Saya bukan membela dia karena teman saya. Saya utarakan fakta biar publik tahu apa yang sebenarnya. Saya tidak tega juga dia digitukan orang.

Dari itu semua, saya melihat Aburizal ini memang layak jadi presiden. Saya melihat semua capres, tidak ada capres yang tidak saya kenal. Dari semuanya saya membuat matriks. Saya lihat plus dan minus tiap tokoh, kemudian saya simpulkan.

Kesimpulannya, di antara capres yang lain Aburizal Bakrie adalah yang terbaik. Saya yakin di tangan Aburizal Indonesia ini akan menjadi negara yang maju dan sejahtera.

Ical, Cinta Monyet, dan Monyet Lampung

Oleh: Dewi Arkowati (Wiwik)

Teman Lama di TK dan SD Perwari

Saya sudah lama kenal dengan Aburizal Bakrie, yang akrab kita panggil Ical. Saya dan Ical adalah teman sejak TK sampai Sekolah Rakyat atau SD Perwari. Kami bersama-sama sejak TK sampai kelas enam SD, meski kita tidak selalu satu kelas.

Kesan saya selama berteman dengan Ical, banyak sekali. Yang paling menonjol, buat saya, dia sosok yang pintar dan baik hati. Bayangkan saja, Ical adalah anak yang pintar dan kaya, namun dia tidak sombong, tidak pilih-pilih dalam bergaul, dan tetap baik hati dengan teman-temannya.

Padahal sebagai anak orang kaya yang pintar, dia berpeluang jadi orang sombong. Namun, itu tidak dilakukannya. Ical yang saya kenal sejak kecil sampai tua tetap saja seperti itu. Bahkan, meski sudah menjadi tokoh besar, dia terus ingat dan sering berkumpul dengan teman-temannya sampai hari ini. Inilah yang saya paling salut dan kagumi dari dia.

Hal yang menonjol lainnya dari Ical adalah soal keberuntungan. Keberuntungan ini sangat menonjol dalam dirinya, selain kepintarannya. Soal pintar, murid sekelas tahu Ical anak yang pintar sekali. Tapi, dia juga terkenal selalu beruntung dalam setiap kompetisi. Dulu, setiap ada pertandingan atau lomba, misalnya lomba makan kerupuk atau lomba-lomba lain, dia selalu menang. Rupanya keberuntungan dan kemenangan memang selalu berpihak kepada dia.

Kenangan masa kecil dengan Ical dan kawan-kawan lainnya tersebut kembali mengemuka saat novel “Anak Sejuta Bintang” ditulis. Selain mewawancarai Ical dan keluarganya, penulis Akmal N. Basral juga menggali kisah dengan mewawancarai kami teman-temannya.

Semua kisah masa kecil Ical dan persahabatannya dengan kami tertuang semua di novel itu. Gara-gara novel itu pula saya semakin terkenal. Ini karena kisah “cinta monyet” Ical ke saya akhirnya terungkap di sana. Lalu, ada banyak orang, terutama wartawan, mencari tahu siapa Wiwik di dalam novel tersebut yang pernah ditaksir Ical. Di acara peluncuran novel ini Januari lalu, topik cinta monyet ini juga banyak ditanyakan.

Sebetulnya, saya tidak pernah tahu bahwa Ical ketika itu suka sama saya. Yang saya ketahui, saat itu Ical kecil selalu mengikuti saya, selalu ada di belakang saya. Saat itu, biasanya dia diam saja, tapi terus melihat dan memperhatikan saya.

Rupanya Ical naksir saya–tentu saja naksirnya anak kecil atau cinta monyet. Saya juga tidak tahu mengapa dia naksir saya. Mungkin dia naksir saya karena melihat saya ini tidak sama dengan anak perempuan lain yang main-main bekel, manis-manis. Mungkin karena saya aneh dan suka main sama anak laki-laki. Saya sih waktu itu tidak terlalu peduli, bahkan menolak saat Ical “nembak” saya. Bahkan, saking kesalnya, ketika itu saya mengatakan dia seperti “monyet Lampung” … hahaha.

Karena kisah ini banyak teman dan orang bertanya kepada saya, “Wik kamu nyesel gak, gak jadi sama Ical?”

Menyesal karena tidak berjodoh sih tidak, tapi saya menyesal karena waktu kecil itu saya pernah kasar sama dia.

Itulah kisah cinta monyet yang terjadi di antara banyak kisah persahabatan kami. Kalau diingat-ingat lucu sekali. Namanya juga cerita anak-anak. Kisah-kisah seperti itu dan yang lainnya selalu terkenang ketika kami berkumpul bersama. Yang terpenting, alhamdulillah, persahabatan kami yang sudah terjalin sejak TK terus terjalin sampai kini.

Bang Ical yang Saya Kenal

Oleh : Indra J Piliang

Dewan Penasehat The Indonesian Institute

foto indra piliangAda banyak hal tentang judul di atas. Hanya saja, keterbatasan halaman membuat saya harus memilah-milah lagi. Apalagi, judul di atas mengandung subjektifitas tinggi, dan itu tak mudah.

Nama Aburizal Bakrie saya dengar ketika saya bekerja sebagai sekretariat, office boy, serta merangkap macam-macam, di Apartemen Taman Rasuna pada tahun 1999-2000. Ya, nama itu adalah “pemilik” apartemen itu. Majikan sayalah yang menceritakan segala sesuatu menyangkut sepak-terjang tetua di Grup Bakrie itu. Namun, saya tidak terlalu memikirkan, bahkan ketika saya masuk ke kehidupan sebagai seorang analis politik.

Nama Aburizal Bakrie muncul lagi, ketika Rizal Mallarangeng yang sempat bersama saya di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memutuskan membentuk Freedom Institute. Saya dengar bahwa donatur lembaga think tank baru itu adalah Aburizal Bakrie. Beberapa kali saya datang ke kantor Freedom Institute yang kala itu masih berada di Jalan Irian, mengikuti diskusinya dan berhubungan baik dengan banyak kaum intelektual, jurnalis dan aktifis. Menurut saya, inilah langkah penting pertama Aburizal “menjauhkan” diri dari persoalan bisnis atau ekonomi semata.

Datanglah waktu untuk saya berhubungan secara pribadi dengan Aburizal Bakrie, lalu saya panggil Bang Ical setelah itu. Momentumnya adalah konvensi nasional Partai Golkar dalam memilih calon presiden pada tahun 2003-2004. Sebagai analis politik di CSIS, sejak 1 Desember 2000, saya melibatkan diri secara “jauh”, yakni mengikuti perjalanan konvensi itu dari dalam. Kebetulan, sejumlah kawan yang saya kenal bergabung dengan tim Bang Ical. Keterlibatan mereka lebih sebagai partner diskusi, ketimbang pengatur strategi, pencari suara dan hal-hal teknis lainnya dalam belantara politik yang rumit.

Bepergian dengan Bang Ical

Dan itulah pengalaman pertama saya naik pesawat pribadi, ketika saya ikut bepergian. Saya ikut terbang ke NTB, NTT, Bali, Riau, Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Barat. Tentu bersama sejumlah rombongan lain, yakni para observer (pengamat) dan jurnalis. Di atas pesawat inilah saya berkenalan dengan banyak tokoh, terutama dari kalangan pengusaha nasional. Pernah saya tertidur di pesawat, lalu ketika bangun menemukan Bang Ical duduk persis di samping saya sambil tertawa-tawa dengan Bang Fuad Mansyur.

Tentu saya juga berdiskusi dengan Bang Ical. Yang saya ingat adalah petatah-petitih yang saya sampaikan dalam bahasa Minang, sebelum Bang Ical menyampaikan orasi di Padang, Sumatera Barat.

“Coba abang jawab dengan pepatah ini, apabila menjawab pertanyaan tantangan: kalau tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan!” kata saya.

“Apa artinya itu?” tanya Bang Ical.

“Sikap ikhlas, berani, apa adanya,” kata saya.

Dan benar saja, muncul pertanyaan dari peserta konvensi. Pertanyaan itu kira-kira: seandainya Pak Ical tidak terpilih menjadi Calon Presiden Partai Golkar, apakah Pak Ical akan legowo dan tetap di Partai Golkar?

“Saya memakai prinsip orang Minang. Baik diberi kepercayaan atau tidak, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan. Saya tetap akan membesarkan Partai Golkar!” begitu jawab Bang Ical.

Tepuk tangan bergemuruh. Bang Fahmi Idris yang menjadi pengawas konvensi, sampai mengirimkan sms yang isinya meledek saya sebagai “pembisik” Bang Ical. Dan yang saya tak lupa dengan sikap Bang Ical setelah pidatonya yang “berhasil” itu, yakni mengacungkan jempol jari ke saya. Sikap yang juga saya lihat dalam diri Pak Jusuf Kalla. Sederhana, tetapi bermakna.

Begitulah. Terjadi sejumlah manuver dalam konvensi. Pak Jusuf Kalla memutuskan berduet dengan Pak SBY, maju sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Dalam konvensi, muncul tiga besar, yakni Akbar Tandjung, Wiranto dan Aburizal Bakrie. Wiranto muncul sebagai pemenang, lalu diusung sebagai calon presiden Partai Golkar yang berpasangan dengan Solahuddin Wahid. Akhirnya kita tahu hasilnya, SBY-JK menang dalam pilpres.

Dua Tebakan

Dua hari menjelang pengumuman kabinet SBY-JK, diadakan diskusi di Club Rasuna. Saya hadir sebagai pembicara. Sekaligus juga peluncuran buku yang disusun Bang Lalu Mara dengan judul “Merebut Hati Rakyat, melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal Bakrie”. Banyak sekali tokoh yang datang dalam diskusi itu, baik dari Partai Golkar yang “membangkang” kepada Akbar Tandjung, maupun tokoh lain. Usia saya masih 32 tahun waktu itu, sehingga wajar saya kalau saya hati-hati.

Ketika ada pertanyaan wartawan waktu itu, apakah Bang Ical layak menjadi menteri, saya menjawab tegas: “Menurut saya, Pak Ical layak menjadi presiden, bukan menteri!” Dan di buku itu juga saya menulis bahwa Bang Ical layak menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Itu semua terjadi pada bulan Oktober 2004.

Entah apa yang terjadi kemudian, saya mendengar pengumuman Presiden SBY bahwa Bang Ical diangkat menjadi Menko Perekonomian. Dalam reshuffle kabinet pada tahun 2006, Bang Ical beralih menjadi Menko Kesra.

Lalu saya tidak lagi berhubungan dengan Bang Ical. Sekalipun kantor Menko Perekonomian atau Menko Kesra bisa saya capai dengan berjalan kaki dari CSIS, tak pernah terbersit sedikitpun dalam hati saya untuk sekadar bertandang. Saya kembali menjadi analis politik, melakukan penelitian, terlibat dalam pelbagai tim pemerintah dan non pemerintah, menulis kolom-kolom politik dan pekerjaan harian lainnya sebagai peneliti bidang politik dan perubahan sosial. Selain itu, sejak tahun 2006, saya kembali kuliah S-2 di Universitas Indonesia. Saya hanya sempat bertemu dan bersalaman dengan Bang Ical ketika diadakan malam penganugerahan Penghargaan Ahmad Bakrie yang dilakukan Freedom Institute.

Lapindo dan Lumpur Sidoarjo

Saya baru ketemu Bang Ical lagi di rumahnya, untuk pertama kalinya saya ke sana, ketika bencana lumpur terjadi di Sidoarjo pada tahun 2007. Mau tidak mau, saya memerlukan informasi yang lebih dalam dari nara-sumber terpenting. Sebagai analis, terutama juga menjadi sosok yang diwawancarai oleh banyak pihak dari dalam dan luar negeri, saya tentu membutuhkan informasi yang lebih utama.

“Kenapa PT Lapindo Brantas tidak maju ke pengadilan, untuk menentukan siapa pihak yang bersalah dalam masalah ini?” tanya saya.

Jawaban Bang Ical bikin saya kaget: “Saya malah ingin kasus ini diselesaikan lewat pengadilan”.

Jawaban yang saya ingat juga adalah apabila PT Lapindo Brantas dinyatakan bersalah, lalu dibangkrutkan (pailit), maka uang yang dimiliki oleh PT Lapindo Brantas tidak akan cukup untuk membiayai area terdampak. Selain itu, PT Lapindo Brantas adalah perusahaan publik yang sahamnya dimiliki banyak pihak, di dalam dan luar negeri.

“Saya yakin, kasus lumpur di Sidoarjo ini akan digunakan untuk kepentingan pemilu 2009 nanti. Siapa lagi sasarannya, kalau bukan saya. Saya dijadikan tameng untuk menutupi kasus-kasus yang lain,” kata Bang Ical, terang-benderang.

Saya tidak terlalu dalam lagi mengikuti kasus itu lewat Bang Ical, melainkan lewat media massa. Setahu saya, ada pihak yang maju ke pengadilan, dengan putusan sebaliknya bahwa PT Lapindo Brantas tidak bersalah. Yang saya juga baca, keluarga Bakrie mengeluarkan dana trilyunan untuk korban lumpur, selain juga dana dari negara.

Dari diskusi itu juga saya tahu bahwa Bang Ical bukanlah pelaksana bisnis dan ekonomi keluarga. Apalagi, dia adalah seorang menteri terpenting dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Bang Ical lebih banyak muncul sebagai penasehat di keluarganya. Ada sosok yang lain yang menjalankan bisnis, yakni Indra Bakrie dan Nirwan Bakrie. Hanya saja, sebagai sosok yang dituakan, serta bersentuhan dengan publik sejak menjadi Ketua KADIN, nama Aburizal Bakrie selalu terhubung dengan aktivitas ekonomi keluarganya. Bang Ical sempat menjadi orang terkaya di Indonesia versi Majalah FORBES dan orang tentu tidak lupa. Padahal, sejak menjadi menteri, saya melihat Bang Ical sudah melangkah ke dunia pemerintahan yang mau tidak mau adalah dunia politik dalam arti yang sebenarnya.

Saya sempat menulis artikel di Jawa Pos waktu itu: “Seandainya Lumpur Sidoarjo Kering”. Asumsi saya adalah dengan adanya pembayaran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, maka otomatis seluruh area terdampak sudah menjadi “milik” PT Lapindo Brantas. Nah, bayangkan dalam beberapa tahun atau puluh tahun ke depan, lumpur berhenti dan lahan mengering, bukankah PT Lapindo Brantas memiliki hak kepemilikan atas lahan-lahan itu? Bukankah ganti rugi sudah dilakukan sejak awal, sekalipun belum terealisasi semua?

Bang Ical Sebagai Politikus

Singkat cerita, saya bertemu lagi dengan Bang Ical dalam acara-acara kepartaian, sejak memilih bergabung dengan Partai Golkar pada tanggal 06 Agustus 2008, tiga tahun lalu. Saya memberi-tahu Bang Ical via pesan pendek bahwa saya memutuskan menjadi caleg Partai Golkar. Bang Ical menjawab singkat saja, “Bagus”.

Sesekali, saya melihat Bang Ical dalam rapat-rapat partai, baik untuk kepentingan pileg 2009 maupun pilpres 2009. Namun, Bang Ical lebih sibuk dengan kegiatannya sebagai menteri, ketimbang sebagai salah satu politisi di tubuh Partai Golkar. Satu yang saya ingat adalah bagaimana Bang Ical datang ke Yahukimo, Papua, ketika kelaparan melanda daerah itu, dan berhasil mengatasinya.

Dalam proses pileg dan pilpres 2009, saya sama sekali tak pernah berhubungan dengan Bang Ical. Bahkan tidak ada bantuan yang saya terima ketika memutuskan menjadi calon anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumbar II. Saya juga tak ingat, kenapa tidak meminta bantuan kepadanya. Saya lebih banyak berkomunikasi dengan Pak JK dan Bang Fahmi Idris. Kedua nama terakhir ini membantu saya dalam hal pendanaan.

Tibalah giliran pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas di Pekanbaru, pada Oktober 2009. Saya sudah diberitahu jauh-jauh hari soal ini, terutama oleh Bang Fuad Mansyur. Saya juga diminta bergabung ke dalam tim sukses Bang Ical. Tapi, karena saya sudah deklarasi sebagai pengusung Yuddy Chrisnandi, saya tidak bergabung dengan tim sukses Bang Ical. Hal ini juga sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa dalam pilihan-pilihan politik pribadi, saya berhak memutuskan sendiri.

Dan Bang Ical terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar 2009-2015. Ya, sesuai dengan apa yang saya tulis pada tahun 2004 di dalam buku “Merebut Hati Rakyat”. Saya mengucapkan selamat kepadanya, di atas panggung, dalam suasana bergemuruh. Lalu saya menjauh lagi, terutama mengurus masalah gempa bumi di Sumatera Barat. Belakangan, saya baru memutuskan untuk menjadi bagian dari kepengurusan DPP Partai Golkar, setelah mendengarkan saran dari sejumlah orang dan berkomunikasi dengan Bang Rizal Mallarangeng. Inilah yang saya sebut sebagai karier: memulai sesuatu sesuai urutannya.

Beruntung, saya mengenal dengan dekat tokoh-tokoh di sekeliling Bang Ical. Bukan sesuatu yang istimewa kalau saya bisa diikut-sertakan dalam rombongan Ketua Umum Partai Golkar ini. Barangkali karena sudah menjadi bagian dari DPP Partai Golkar, lalu dapat keistimewaan terbang ke sejumlah daerah dengan Bang Ical, maka otomatis saya adalah “Orangnya Ical”. Begitu juga dalam kasus Bank Century, saya dilibatkan sebagai tim pengendali dari DPP Partai Golkar yang jumlahnya terbatas.

Saya sebetulnya tidak nyaman dengan sebutan itu, apapun konotasinya. Sebab, menurut saya, setiap individu dalam dunia politik itu memiliki independensi masing-masing. Namun saya juga sadar bahwa inilah politik. Saya mulai menerima persepsi itu, dalam pelbagai kesempatan disebut “Orangnya Ical” atau “Orangnya JK”.

Dalam setiap kali saya menemaninya, saya berusaha untuk menyampaikan pandangan-pandangan saya. Dan lebih banyak sebetulnya mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Saya pernah menemui Bang Ical yang masih mengenakan celana renang, di rumahnya, lalu mendiskusikan soal-soal yang berkembang di publik. Kalau tidak puas, saya biasanya mencoba minta waktu, lalu datang ke kantornya di Wisma Bakrie I. Jawaban demi jawaban yang saya peroleh, saya coba konfirmasi kepada pihak lain atau kepada data dan dokumen yang saya cari kemudian. Bagaimanapun, berhadapan dengan Bang Ical adalah berbicara dengan seseorang yang memiliki pengetahuan baik, detil, dan sekaligus spontan dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya.

Kondisi Terburuk Bang Ical

Karena selalu melihat Bang Ical dalam kondisi prima dan penuh canda, tentu perubahan sikap saya perhatikan dengan baik. Kondisi fisik terburuk yang pernah saya lihat dalam diri bang Ical adalah ketika menghadiri kampanye terbuka Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat pada 2010. Bang Ical sempat tidur di pesawat, lalu usai kampanye mandi di sebuah restoran. Itulah saat saya melihat kondisi fisiknya kurang fit.

Kesempatan kedua saya melihatnya sakit flu adalah ketika Rapat Koordinasi Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera, Jawa, Bali, NTB dan NTT. Kepada senior-senior yang hadir saya sampaikan bahwa mesinya Bang Ical tak hadir dalam acara itu. Bagaimanapun, di mata saya, Bang Ical harus tampil maksimal, apalagi di hadapan ketua-ketua DPD Partai Golkar yang datang dari pelbagai daerah.

Di luar itu, Bang Ical adalah sosok yang rapi dan sehat, mengingat olahraga rutin yang dilakukannya. Malah, di matanya, saya selalu berada dalam kondisi kurang sehat, juga berpikir terlalu rumit.

“Elu mesti olahraga. Ngapain sih memikirkan hal yang nggak perlu dipikirkan?” katanya, beberapa kali.

Mungkin pertanyaan yang saya ajukan kepadanya terlalu “enteng”, sementara saya ikuti di publik justru menjadi persoalan yang “berat”. Tapi, lagi-lagi, saya selalu memiliki pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Pembagian wilayah Jawa menjadi beberapa bidang pemenangan pemilu saya sampaikan ketika di Palangkaraya. Saya katakan, “Kalau daerah di luar Jawa diurus oleh empat orang, padahal hanya mewakili 35% pemilih, kenapa Jawa hanya diurus satu orang yang mewakili 65% pemilih?” Bang Ical menerima saran itu, tapi setahun kemudian benar-benar membaginya ke dalam tiga bidang.

Bang Ical bukanlah sosok yang sangar. Ia memperhatikan soal-soal kecil. Bagi saya, kalau seseorang itu sudah menanyakan sesuatu yang sederhana dan tidak ruwet, berarti orang itu benar-benar memperhatikan kita.

“Elu kenapa pakai jaket terus? Elu nggak kepanasan?” katanya, ketika saya salami pas buka puasa di DPP Partai Golkar. Saya gelagapan menjawabnya, karena saya lihat Bang Ical berkeringat dan mengipas-ngipas badannya.

“Kurang enak badan, bang. Batuk,” jawab saya. Benar, saya batuk beberapa hari. Tetapi pertanyaan Bang Ical tetap tak terjawab, sebetulnya. Mungkin yang ia maksudkan adalah seringnya saya “salah kostum” salam setiap kali acara partai. Nah, rumit lagi, kan, cara berpikirnya?

Kado Setengah Abad Partai Golkar

Kembali ke “tebakan” tahun 2004 lalu, Bang Ical ternyata terbukti jadi Ketua Umum Partai Golkar. Apakah Bang Ical bisa menjadi presiden, sebagaimana jawaban saya kepada wartawan pada tahun 2004 lalu? Yang berubah, saya menjadi bagian dari proses (mewujudkan) itu, kalau seandainya Partai Golkar memutuskan Bang Ical-lah yang diusung sebagai calon presiden pada tahun 2014 nanti. Keputusannya ada pada akhir tahun 2012. Ah, apakah memang rumit menjadi presiden? Saya kira, saya berada pada sisi yang terlalu dekat untuk melalui proses itu.

Tentu, dari semuanya itu, saya dihadapkan dengan dua hal yang terjadi di depan: apakah saya akan menyaksikan keadaan yang lebih buruk lagi dari sekadar kesehatan Bang Ical? Ataukah saya menyaksikan keadaan yang jauh lebih baik di tahun-tahun mendatang? Apa itu? Terpilihnya Bang Ical sebagai Presiden RI periode 2014-2019.

Yang selalu saya katakan kepada konstituen Partai Golkar adalah ada dua peristiwa penting pada tanggal 20 Oktober 2014 nanti. Pertama, hari itu adalah ulang tahun Partai Golkar ke-50 atau setengah abad. Kedua, hari itu adalah hari pelantikan presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Akankah ada peristiwa ketiga yang terjadi, yakni kado ulang tahun Partai Golkar ke-50 itu adalah berupa terpilihnya Ketua Umum Partai Golkar untuk pertama kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia?

Saya kira, bukan hanya saya yang berada dalam kondisi penantian atas jawaban pertanyaan itu, melainkan juga para kader dan simpatisan Partai Golkar lainnya. Namun, apapun yang terjadi, saya kira filosofi alam Minangkabau akan tetap terpakai: tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di dada tidak dibusungkan dan tiba di perut tidak dikempiskan. Yang jelas, Bang Ical bukan satu-satunya orang yang sedang disebut-sebut sebagai calon presiden, lengkap dengan kendala dan masalah yang dihadapi. Apapun itu, saya tetap yakin bahwa Bang Ical memang layak menjadi presiden.Wallahu ‘Alam.

Jakarta, 15 Agustus 2011.

Bergaul Luas dan Menjaga Persahabatan

Oleh: H. Azkarmin Zaini

Wartawan, Sahabat Lama

Dng Aburizal Bakrie 1Semasa di SMA 3/Teladan B Negeri, Setiabudi – Jakarta (1961-1964), sebagai teman di sekolah dan sahabat di luar sekolah, ada beberapa hal yang menonjol pada Aburizal Bakrie atau sering dipanggil Ical. Yang paling menonjol adalah, ia selalu menjadi bintang kelas karena nilai rapornya selalu bertengger di atas. Menjadi bintang kelas juga merupakan “trade mark” ketiga adik Ical, yaitu Roosmania (Odi), Nirwan (Iwan), dan Indra.

Ical sangat bersungguh-sungguh dalam belajar. Kalau dia punya pekerjaan rumah (PR), apalagi kalau besok ada ulangan, jangan harap Ical mau diajak bepergian. Andaikata kurang puas dengan hasil ulangan, dia terlihat kesal. Tapi kekesalan itu dilampiaskannya dengan lebih keras lagi belajar mata pelajaran itu.

Kami bersahabat berenam, yang sebagian di antaranya, termasuk saya, seangkatan tapi tidak sekelas dengan Ical. Namun di luar kelas selain bermain sehari-hari, kami juga sering belajar bersama. Kadang kami belajar di rumah Ical di Jalan Mataram I/1 Kebayoran Baru, kadang di rumah teman lain. Menjelang ujian akhir SMA, kami belajar bersama di rumah peristirahatan Keluarga Bakrie di Cibulan, Puncak. Dalam belajar bersama,Ical biasa menjadi tempat bertanya, jika ada pelajaran yang kami tidak mengerti.

Aburizal juga terkenal banyak teman. Ical disukai kawan-kawannya, baik pria maupun kawan wanita. Selain pintar, ia “anak orang kaya” yang rendah hati, tidak sombong, bahkan luwes bergaul.Karena itu pergaulannya luas sekali. Di sekolah maupun di luar sekolah, Ical, saya, dan 4 kawan lagi, jadi kami berenam, bersahabat baik. Kami bermain bersama, jalan bersama, nonton bersama, belajar pencak silat bersama, bermain badminton bersama.

Kami pernah bermain band bersama, meski cuma sekadar untuk tampil pada acara perpisahan sekolah. Nama band kami The BE’s, singkatan dari “Basket Eyes” hehe. Ical memegang lead guitar. Band The BE’s dibentuk spontan hanya sekitar dua mingguan menjelang acara perpisahan sekolah. Kami berlatih Cuma beberapa kali, lalu tampil saat acara perpisahan sekolah. Ternyata sambutan para hadirin atas penampilan kami cukup membuat kami senang. Tapi setelah tampil di perpisahan itu, band The BE’s mati begitu saja. Niat kami memang bukan membentuk band permanen.

Semasa SMA dulu, kalau hari Jumat pulang sekolah, saya sering ke rumah Ical. Lalu kami pergi sembahyang Jumat bersama. Adik laki-laki Ical, yaitu Iwan dan Indra, juga ikut. Ayah Ical, Haji Achmad Bakrie, juga biasa pergi sholat Jumat bersama anak-anak. Dari rumahnya depan pom bensin Jalan Mataram, kami berjalan kaki bersama menuju Masjid Agung Al Azhar yang jaraknya hanya sekitar 200 meter. Pak Achmad Bakrie, Ical, Iwan, Indra, dan saya. Kadang kalau waktu sudah mepet, kami pun naik mobil.

Setelah tamat SMA, meski Ical tidak lagi di Jakarta, sampai beberapa tahun kemudian kalau hari Jumat saya masih sering singgah di rumah Jalan Mataram I/1. Lalu saya pergi sembahyang Jumat ke Masjid Agung Al Azhar dengan Iwan dan Indra, kadang juga bersama Pak Haji Achmad Bakrie.

Pak Haji Achmad Bakrie pernah saya tanya, mengapa kalau hari Jumat tengah hari beliau sering ada di rumah. Katanya, beliau sengaja memerlukan pergi bersembahyang Jumat bersama anak-anak untuk mendidik mereka bahwa sholat Jumat itu wajib hukumnya, sebagaimana juga sholat lima waktu. Pak Haji Achmad Bakrie memang biasa mendidik anak-anaknya dengan memberi contoh tauladan.

Meski saya bersama teman-teman The BE’s bersahabat akrab, kami semua menyadari bukan cuma kami saja sahabat Ical. Ada sejumlah teman lain yang juga menjadi sahabat Ical, baik teman sekelasnya dan juga yang tidak sekelas. Selain itu, ia juga tetap setia membina persabahatan dengan teman-teman sekolah masa kecilnya. Saya pun terbawa berteman dengan beberapa teman masa kecil Ical.

Semasa mahasiswa pun saya tahu ia punya sejumlah sahabat. Beberapa di antara sahabat mahasiswanya juga saya kenal karena kadang saya ikut Ical ke Bandung dan ikut bergaul dengan teman-teman mahasiswanya. Setelah lulus, di kemudian hari, banyak sahabatnya menjadi pengusaha, juga pegiat berbagai organisasi. Demikian juga Aburizal Bakrie sudah menjadi pengusaha besar yang bahkan sempat dijuluki “orang terkaya di Indonesia”, dan sekarang sudah menjadi tokoh nasional dan salah satu pemimpin bangsa ini.

Namun, persahabatan Ical dengan saya, dengan teman-teman masa SMA-nya yang lain, bahkan dengan teman-teman masa TK-SD-SMP-nya, dengan para sahabatnya yang lain dari berbagai masa dan kalangan, tak pernah putus. Sekali-sekali, Ical yang supersibuk masih menyisihkan waktu untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Entah itu para sahabat masa SMA, masa kecil, ataupun sahabat dari berbagai masa dan kalangan. Dan kalau sudah berkumpul dengan para sahabat, Ical betul-betul melepas segala atribut yang tersandang di pundaknya. Ia larut dalam obrolan santai, ia bercanda, ia tertawa terpingkal-pingkal saat bercerita lucu atau mendengar cerita yang lucu menggelikan.

Pada setiap bulan Ramadan misalnya, keluarga Aburizal Bakrie biasa mengundang berbuka puasa dan shalat tarawih banyak kalangan. Di antara yang diundangnya pasti terdapat banyak sahabatnya, sahabat sekarang maupun sahabat lama.

Silaturahmi tetap terjaga sampai kami sama-sama berusia “kepala 6″ sekarang. Aburizal Bakrie orang yang sangat menghargai dan menjaga persahabatan.

Pemimpin yang Percaya Pada Anak Muda

Oleh: Ahmad Dolly Kurnia

Ketua Umum KNPI

41. Ahmad Doli Kurnia_01Sudah lama saya mengenal sosok Aburizal Bakrie yang merupakan salah satu pengusaha sukses. Saya kira banyak orang juga tahu kiprah tokoh yang terakhir menjabat sebagai Menko Kesra itu. Namun saya mulai kenal dekat dengan Pak Ical adalah saat saya mendukung dia dalam bursa ketua umum Partai Golkar saat Musyawarah Nasional (Munas) di Pekanbaru Oktober 2009.

Mengapa saya mendukung Pak Ical? Karena saya melihat beliau begitu mendukung anak muda. Pak Ical sangat percaya dengan anak muda, dan potensi para pemuda dalam politik dan kehidupan berbangsa. Karena itu kepengurusan DPP Partai Golkar di bawah kepemimpinan Pak Ical banyak mengakomodasi anak muda.

Saya sendiri dipercaya sebagai wasekjen yang mengurusi masalah kepemudaan. Ini tentu sejalan dengan aktivitas saya sebagai ketua umum KNPI. Sebagai aktivis kepemudaan, saya melihat Pak Ical sangat konsen dengan kiprah para pemuda ini. Dalam kepemimpinannya, anak muda sangat dipercaya dan diberi ruang seluas-luasnya.

Misalnya banyak acara yang dikemas ala anak muda. Maka jangan heran jika kemudian muncul jargon-jargon ala anak muda dalam acara atau kegiatan Golkar. Misalnya slogan “Golkar Gue Banget”, “Golkar Partai Gaul”, “Yang Muda, yang berkarya”, dan lain sebagainya. Ternyata Pak Ical sendiri suka dengan hal itu. Karena sejak awal dia berkomitmen mengubah imej Golkar dari partai tua menjadi partai yang bisa merangkul anak muda.

Belum pernah dalam kepemimpinan Golkar sebelumnya anak muda diberi peran sebesar dalam kepemimpinan Pak Ical. Perubahan imej dan gaya kepemimpinan ini terasa sekali. Bahkan kemudian banyak pendekatan kepada anak muda yang digagas Golkar akhirnya “ditiru” partai lain.

Jauh sebelum banyak ketua umum partai atau tokoh politik bermain jejaring sosial seperti twitter, Pak Ical sudah melakukannya. Bahkan secara khusus dalam sebuah kesempatan Pak Ical meminta kader Golkar aktif di jejaring sosial. Dalam even politik partai seperti pilkada Pak Ical juga percaya dan memberikan peran pada anak muda. Dia mengatakan penting diperhatikan peran anak muda.

Sebab anak muda bisa bekerja militan untuk memenangkan pemilu. Selain itu, mereka juga bisa mendekati dan membuat jaringan dengan anak muda di luar sana.Kepercayaan Pak Ical pada anak muda ini saya nilai sangat tepat. Sebab potensi anak muda memang cukup besar. Selain itu anak muda ini juga akan menjadi pemilih pemula saat pemilu 2014 nanti.

Jadi jika Golkar ingin mengembalikan kejayaannya selain harus merawat pemilih lama, Golkar juga harus menjaring pemilih baru, yaitu anak muda. Maka sangat tepat kepemimpinan Pak Ical yang percaya pada anak muda.

Dari Economic Entreprenuer Menjadi Political Entrepreneur

Oleh: Aulia Rachman
Politikus Partai Golkar, mantan Anggota DPR RI

Aulia_001-277x300Saya mengenal Aburizal Bakrie saat masih kuliah. Kebetulan kami sama-sama aktif di Dewan Mahasiswa (Dema). Pak Ical Ketua Dema ITB saya Sekjen Dema Universitas Indonesia (UI).

Perkenalan saya dengan Pak Ical sebenarnya sudah sejak di bangku SMA. Meski kami berbeda SMA, namun sudah saling kenal. Pertemanan makin dekat setelah Pak Ical setelah jadi mahasiswa.

Pertemuan dengan Pak Ica terjadi pada bulan April 1970. Saat itu Dema ITB mengadakan pertemuan dengan Dema UI dan Unpad di hall ITB. Agendanya adalah persiapan pertemuan Dema se-Asia Tenggara atau Association of South East Asia Student (ASEAS).

Ada kenangan tak terlupakan dengan Pak Ical di sana. Pada waktu itu terjadi konflik antar peserta di tiga Dema itu. Pertengkaran terjadi saat akan mengambil keputusan untuk menunjuk satu wakil dari tiap Dema untuk menjadi pengurus ASEAS.

Saya dan kawan-kawan menentang rencana penunjukan itu. Kami tidak mau pengurus langsung menunjuk perwakilan. Keinginan kami: harus ada pemilihan untuk menjadi perwakilan di ASEAS. Perdebatan malam itu yang berlangsung paling keras adalah antara saya dan Bernard Mangunsong. Karena sama-sama ngotot, saya dan dia nyaris bentrok fisik. Saat situasi panas begitu, Pak Ical datang memisahkan kami. Dia berhasil melerai dan mengakhiri konflik mahasiswa UI-ITB. Saya masih ingat ucapannya, “Sudah, sudah, jangan berantem. Sama-sama anak Jakarta.” Saya dan Bernard akhirnya tidak jadi berkelahi.

Selama menjadi mahasiswa, jiwa kepemimpinan Pak Ical sudah terlihat. Selain memiliki pandangan yang cukup dewasa untuk pemuda seumurnya, dia juga menunjukkan visi seorang technopreneur. Selepas lulus sebagai Insinyur teknik listrik pada tahun 1973, dia menerapkan technopreneurship melalui PT Bakrie&Brothers.

Lepas dari ITB, saya dan Pak Ical mengambil jalan yang berbeda. Saya menjadi politisi dan masuk DPR, Pak Ical menjadi pengusaha melanjutkan usaha keluarga Bakrie dan menjadi pengurus Kadin. Di dunia bisnis, nama Pak Ical semakin melejit. Dia dikenal sebagai pebisnis yang sukses mengembangkan usaha keluarganya. Dia juga dikenal sebagai pemimpin Kadin yang diperhitungkan.

Suatu saat di tahun 1988 saya dan Pak Ical kembali bertemu di DPR. Sebagai seorang pengusaha sukses dan aktif di Kadin, dia diundang untuk membahas Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Saat itu dia memberikan pandangan mewakili Kadin di mana dia menyampaikan visi ekonominya.

Saya bertemu lagi dengan Pak Ical di dunia politik saat dia mengikuti konvensi calon presiden Partai Golkar. Sejak itu, dia aktif di Golkar di mana saya lama menjadi anggota partai ini. Pak Ical yang semula dikenal sebagai economic entrepreneur beralih menjadi political entrepreneur. Jiwa kepemimpinannya makin menonjol dan terasah di Golkar. Kini Pak Ical memimpin Partai Golkar, dan saya yakin dia akan sukses sebgaimana kepemimpinannya sebelumnya.

Saya “Manfaatkan” Pak Ical untuk Batik

Oleh: Iman Sucipto Umar

Presiden Direktur PT Trypolyta Indonesia, Ketua Umum Yayasan Kadin, mantan Sekjen PII, mantan Sekjen /Direktur Eksekutif Kadin

DRI_Sucipto_008Saya mengenal Pak Aburizal Bakrie sejak menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Hubungan kami semakin dekat karena memiliki hubungan keluarga. Adik Pak Ical, Ibu Odi, kebetulan menikah dengan kakak ipar saya atau kakak istri saya.

Pernikahan ini membuat hubungan di antara dua keluarga yang sudah erat menjadi semakin erat.Sejak dulu, jika lebaran atau Idul Fitri, keluarga saya selalu ke tempat Pak Achmad Bakrie, orangtua Pak Ical. Anak saya Bobby Gafur Umar, sekarang Presiden Direktur Bakrie & Brothers, juga sangat dekat dengan Pak Ical. Kedekatan Bobby dengan Pak Ical terjalin sejak Bobby sekolah di AS. Setiap Pak Ical ke Amerika, selalu menghubungi Bobby dan ia meminta Bobby bekerja di perusahaannya bila telah lulus.

Selain itu, kedekatan kami juga karena kami sering bekerja sama di organisasi. Dalam aktivitas organisasi, saya dikenal sebagai Sekjen yang mendampingi Pak Ical di Persatuan Insinyur Indonesia (PII) maupun di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).

Kisah Pak Ical memimpin PII menarik. Pada awalnya dia menolak maju memimpin para insinyur, dengan alasan memasang saklar saja tidak bisa, dan mengakui keahliannya berbisnis. Namun setelah kita yakinkan bahwa yang dibutuhkan adalah jiwa kepemimpinan bukan soal teknis, akhirnya Pak Ical bersedia. Sebagai tim sukses, saya menyusun formatur dan akhirnya Pak Ical meminta saya menjadi Sekjennya.

Saat memimpin PII sejak tahun 1989 sampai 1994, banyak kenangan yang membekas mengenai sosok Pak Ical. Sebagai pemimpin, dia mampu menunjukkan sebagai pemimpin yang teguh pada komitmen yang telah dibuatnya. Hal ini merupakan ciri khas dia dalam memimpin organisasi. Sikap seperti itulah yang membuat saya mendukung dia dan membantunya memimpin. Dalam kerjasama lima tahun di PII, kita bekerjasama membuat banyak sekali program. Kadang dia yang mencetuskan, namun kadang kami yang memutuskan. Kerjasama kita dalam kepemimpinannya yang baik berjalan mulus sampai akhir.

Rupanya chemistry saya dan Pak Ical cocok. Maka seusai memimpin di PII, pada tahun 1994, ada pemilihan ketua umum Kadin. Lalu dia maju dan saya menjadi semacam manajer kampanye.

Sama seperti di PII, waktu dia jadi Ketua Umum Kadin, Pak Ical meminta saya jadi Sekjen. Saya katakan siap, apalagi pada waktu itu izin pemerintah yang saya perlukan, mengingat saya masih menjadi Staf Ahli Menteri Perindustrian, secara lisan hari itu juga kaluar. Di tengah-tengah suasana “agak canggung”, pada awalnya karena calon pemerintah untuk menduduki jabatan ketua umum Kadin tidak terpilih dalam Munas, secara bertahap kadin diakui sebagai wadah dunia usaha nasional yang didirikan berdasarkan undang-undang.

Munas Kadin berikutnya, yakni pada 1999, pak Ical terpilih lagi. Saya diminta lagi menjadi Sekjen (yang beberapa waktu kemudian disebut Direktur Eksekutif). Waktu itu saya tidak bersedia. Namun Pak Ical tetap meminta saya dengan mengatakan “Jangan gitu dong mas, masak saya ditinggal”. Akhirnya saya yang saat itu bekerja di Barito Group bersedia asal diizinkan membagi waktu atau menjadi part timer di organisasi. Saya mau menjabat, tapi saya bebas menentukan jadwal. Saya di Kadin pukul 07.00 WIB, dan pukul 09.00 WIB saya sudah sampai di kantor Barito Group, atau di Kadin pagi sampai siang, dan siang sampai selesai saya di kantor.

Waktu Pak Ical menjadi Menko Perekonomian, dia mau mengajak saya lagi. Wah saya pikir cukup lah, saya merasa tak mampu lagi dari segi fisik. Dua kali saya dipanggil untuk jadi Sekretaris Menteri Perekonomian, namun saya menolak. Baliau pasti kecewa, namun saya yakin Beliau mengerti.

Saat menjabat Menko Kesra saya “memanfaatkan” posisi dia untuk menggolkan batik jadi warisan dunia UNESCO. Saya bersama Yayasan Kadin sudah empat tahun berjuang untuk itu. Pak Ical menyambut baik dan membantu, akhirnya perjuangan batik menemui hasil. Tanggal 2 Oktober 2009 batik resmi diakui jadi warisan dunia.

Birokrasi Praktis Ala Pak Ical

Oleh: Zulham Mubarak

Wartawan Jawa Pos

foto-kenang-kengan1-300x199Memori itu masih segar di ingatan saya. Hari Rabu 25 Januari 2009. Jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB ketika saya menerima pesan singkat dari editor saya. Tolong siapkan wawancara khusus dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie untuk edisi Jumat 27 Januari. Halaman sudah siap. Pesan yang datang malam itu bagai petir bagi seorang wartawan yang baru bertugas selama enam bulan di pos Menko Kesra. Menyiapkan sesi wawancara dalam waktu kurang dari 48 jam dengan seorang menteri yang juga orang terkaya di Asia Tenggara, apakah mungkin?

Jawabannya bisa anda akses di link ini http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=49751 . Saya memang beruntung karena berhasil mewawancarai sang menteri secara langsung dalam tempo yang cukup singkat. Namun, itu lebih dari sekedar keberuntungan. Karena ternyata, Pak Ical (panggilan akrab Aburizal Bakrie) adalah sosok pejabat yang tidak menyukai sistem birokrasi yang berbelit.

Didukung salah seorang staf khusus beliau yang juga mantan juru warta yakni Pak Lalu Mara Satriawangsa, segala urusan birokrasi yang berbelit ternyata dapat dengan mudah dipangkas. Hasilnya, siapa saja yang ingin bertemu beliau pasti akan terfasilitasi dengan baik.

Jangankan wartawan, seorang kyai yang hendak menyampaikan usul kepada Pak Ical juga bisa dengan mudah bertemu dengan dengan beliau di kantornya. Tak perlu izin yang berbelit-belit, cukup dengan mengutarakan saja keinginan dan keperluan secara terus terang, dan jaminan untuk bertemu empat mata dengan beliau pasti akan terlaksana.
Kapanpun dan dimanapun.

Kembali lagi ke pertemuan saya dengan beliau. Usai menyaksikan latihan tenis antara Pak Ical melawan Rizal Malarangeng di klub Rasuna, Jakarta, kami melanjutkan dengan wawancara. Harapan melewatkan sesi wawancara di salah satu fasilitas klub elit itu sirna ketika Pak Ical membawa rombongan rekan-rekannya, termasuk saya, ke sebuah rumah makan di Pasar Festival. Sore itu, dua asumsi saya tentang sosok Aburizal Bakrie terpatahkan. Selain tak mengenal birokrasi berbelit, ternyata Pak Ical juga orang yang sederhana.

“Saya memang suka Ikan dan saya pikir makanan itu bukan soal mahal atau murah, tapi soal rasa. Ayo makan,” ujar dia sambil berbagi seekor ikan bakar dengan saya. ’’Ayo jangan malu-malu ikannya banyak dagingnya. Saya pasti tidak habis. Takut Mubazir,’’ sambungnya tanpa rasa canggung. Pertemuan di sore yang hangat itu pun berlanjut hingga
saat ini.

Seorang mantan Presiden RI pernah berkata kepada saya. “Berkawan dengan wartawan ibarat berteman dengan singa. Kita tidak akan pernah tahu kapan singa itu akan lapar dan memangsa kita. Tapi di satu sisi, adalah sebuah kebanggaan karena berkawan dengan singa artinya kita termasuk orang yang terhormat dan berani,” Ujar petinggi negara itu lantas tertawa.

Berangkat dari kalimat bernada canda itu, saya melihat Pak Ical termasuk orang dalam kategori kedua. Yakni, orang yang bangga dan berani menempuh resiko dengan menjaga komunikasi intensif dengan Juru Warta. Uniknya, selama saya diberi mandat memimpin Forum Wartawan Menko Kesra selama 2008-2010, tak sekalipun saya melihat singa-singa itu berbalik menerkam. Bila sebagian pejabat memilih menggunakan cara hitam dengan iming iming bantuan finansial untuk mengatur dan mengarahkan para pencari berita yang keblinger, Pak Ical adalah pelopor pejabat yang menjauhi itu. Beliau tidak pernah sekalipun menilai kami dari sekedar uang dan amplop yang sejatinya merendahkan profesi wartawan. Secara personal saya menghormati hal tersebut dan berharap itu akan ditiru
oleh generasi pejabat di lingkungan kementerian di masa sekarang dan masa mendatang.

Singkatnya, teori Max Webber tentang birokrasi telah diaplikasikan dengan cara baru yang lebih fresh dan praktis oleh alumnus ITB itu. Bolehlah kiranya saya sebut ini teori birokrasi ala Pak Ical. Seperti apa konsepnya? tanya saja resepnya pada beliau secara langsung lewat twitter, pasti akan dijawab. Mengakhiri tulisan ini, dengan kerendahan hati, saya sampaikan salam sukses selalu buat Pak Ical. Semoga sehat selalu dan dalam lindungan Allah SWT.(*)