Egi Melgiansyah dan Calon Pemain Timnas dari Cibaliung

Saya kembali melanjutkan safari saya di Jawa Barat. Kali ini saya bersafari dua hari, 11-12 Maret 2012, di daerah Pandeglang, Banten. Seperti biasa, acara safari berisi serangkaian kegiatan menyapa masyarakat, mulai dari berdialog dengan petani, nelayan, sampai ceramah motivasi di kampus dan sekolah.

Rangkaian kegiatan safari saya kali ini ditutup dengan acara yang unik yaitu kick-off atau tendangan pembuka pertandingan bola. Lokasinya adalah di lapangan sepakbola desa Citereup, Pandeglang, Banten. Yang bertanding adalah tim sepakbola lokal, Citeureup FC melawan Cibaliung FC.

Saya tidak sendirian ke acara ini. Saya bawa dua pesepakbola nasional ke sana. Mereka adalah gelandang Pelita Jaya yang juga kapten Timnas U23 SEA Games XVI Egi Melgiansyah dan mantan pemain Timnas yang kini menjadi Asisten Manajer Pelita Jaya I Made Pasek.

Warga setempat yang sudah memadati lapangan sore itu tampak antusias dan senang dengan kehadiran keduanya. Pertandingan eksibisi yang diselenggarakan oleh Karang Taruna Kabupaten Pandeglang antara dua kecamatan itu pun makin meriah jadinya.

Sebagian warga yang akan menonton pertandingan itu rupanya telah mendengar kabar kehadiran Egi. Nah, begitu Egi benar-benar datang, ia pun langsung diserbu warga dan meminta berfoto bersama.

Bahkan pertandingan tak bisa segera dimulai karena Egi dan Pasek harus dengan sabar meladeni satu per satu permintaan berfoto bersama dari para penggemar mereka. Mereka tidak hanya dari kalangan anak-anak dan remaja, tetapi juga ibu-ibu.

Tak sampai di situ saja, ketika pemain dari kedua kesebelasan dan wasit sudah siap di dalam lapangan pun, masyarakat masih sempat-sempatnya memanfaatkan sesi foto dadakan itu. Kalau pantia tidak mengingatkan para penonton agar sesi foto itu segera diakhiri, barangkali pertandingan tak bakal segera dimulai. Beruntung, mereka bisa mengerti.

Saya dan Egi kemudian melakukan kick-off alias tendangan pembuka di awal pertandingan. Saya baru sadar bahwa saya salah kostum, tak pakai kaos dan celana serta sepatu sepakbola. Egi pun begitu. Dia hanya mengenakan kaos berlogo Pelita Jaya, bercelana panjang warna hitam, dan hanya sepatu olahraga biasa.

Tapi tak apa, karena saya memang hanya diminta melakukan kick-off, bukan bermain. Seadanya saja. Saya pun menendang bola dengan kondisi masih mengenakan kemeja putih, celana panjang katun hitam dan sepatu yang saya pakai untuk acara sebelumnya.

Namun untuk Egi lain cerita, karena dia juga diminta bermain untuk salah satu tim. Namun, Egi mengaku masih kelelahan karena sehari sebelumnya dia baru main bersama tim Pelita Jaya bertanding melawan Arema Malang di Karawang.

Meski bukan pertandingan bola professional, saya lihat pertandingan ini cukup seru. Kondisi lapangan yang seadanya, bukan sekelas Stadion Gelora Bung Karno, tak menghalangi mereka untuk dengan semangat bermain dan menghadirkan pertandingan yang menarik.

Sayangnya, saya dan rombongan, termasuk Egi maupun Pasek, tidak bisa menonton lebih lama pertandingan itu. Saya harus segera terbang ke Jakarta. Egi pun begitu. Dia harus kembali ke Jakarta untuk memulihkan staminanya, karena kompetisi yang harus dijalani Pelita Jaya masih panjang.

Dari acara Senin sore itu, saya seperti kembali diingatkan bahwa sepakbola ini adalah olah raga yang sangat dicintai oleh rakyat. Pemainnya pun dicintai oleh mereka dan menjadi seorang pahlawan di mata mereka. Lihat saja antusiasme mereka untuk berfoto dengan Egi.

Selain itu, saya juga melihat bahwa dengan fasilitas yang seadanya, tak menghalangi rakyat kita mencintai dan mengembangkan olah raga ini. Dari anak-anak muda ini, saya yakin akan lahir bibit-bibit pemain terbaik Indonesia.

Perhatian terhadap anak-anak kampung dan sepak bolanya perlu dilakukan. Karena pemain handal tidak selalu muncul dari sekolah-sekolah sepakbola. Bisa jadi mereka muncul dari kampung-kampung. Sudah banyak cerita pemian sepakbola handal yang lahir dari kampung. Maka jika mereka diberi perhatian yang lebih, bukan mustahil jika kelak tim Garuda akan diperkuat pemain dari Citeureup atau Cibaliung.

Haji dan Korupsi

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam dan Indonesia merupakan dua hal yang seolah tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Karena itu, segala macam wacana yang menyangkut Islam atau kaum muslim akan menjadi sebuah wacana yang penting. Salah satu wacana yang cukup penting terkait dengan umat Islam di negeri ini adalah persoalan ibadah haji.

Setiap tahun jutaan jamaah haji Indonesia berangkat ke tanah suci. Yang mengantre untuk berangkat juga tidak kalah banyak. Tak hanya jamaahnya saja yang banyak, persoalan terkait penyelenggaraan ibadah haji ini pun juga masih banyak.

Untuk mencari solusi terkait masalah sistem penyelenggaraan haji ini, Senin pagi, 5 Maret 2012, Fraksi Partai Golkar (FPG) membuat seminar terkait hal itu dengan tajuk “Membangun Sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Baik, Profesional, dan Amanah”. Saya sendiri hadir memberikan pidato kunci dalam acara yang dihadiri banyak ahli dari cendekiawan muslim, Kementrian Agama, BPK, dan sebagainya.

Masalah penyelenggaraan ibadah haji masih cukup banyak. Misalnya yang umum dikeluhkan adalah soal pemondokan. Pemondokan jamaah dikeluhkan karena masih jauh dari Masjidil Haram dan tidak mungkin ditempuh dengan jalan kaki. Akibatnya banyak jamaah harus mencari angkutan, namun angkutan ini juga sulit ditemukan. Ketua FPG Setya Novanto bahkan mengatakan banyak jamaah yang menggunakan mobil bak terbuka yang sangat membahayakan keselamatan jiwa para jamaah. Dia juga mengatakan ada tenda di Maktab 71 (Mina-Arafah) yang seharusnya ditempati jamaah kita justru diserobot oleh jamaah dari negara lain. Akibatnya sekitar 2.500 jamaah kita tidak terlayani secara maksimal. Dia mengusulkan untuk mengatasi masalah pemondokan ini, perlu dibangun sebuah pemondokan yang permanen agar jamaah bisa tenang beribadah.

Soal kuota, saat ini juga masih menjadi masalah yang krusial dalam sistem penyelenggaraan haji kita. Saat ini kuota hanya 1,6 juta jiwa sementara pendaftar terus membludak setiap tahunnya. Panjangnya antrean bahkan membuat seorang calon jamaah haji harus rela menunggu antara 5 sampai 12 tahun, namun tetap saja harus menyetor setoran awal biaya haji.

Dengan jumlah jamaah yang begitu besar, dana haji yang terkumpul hingga saat ini telah mencapai kurang lebih sekitar Rp35,3 triliun. Namun jumlah dana yang besar itu, saat ini belum menyentuh perbaikan pelayanan haji. Padahal jika dikelola dengan baik keuangan haji itu, bisa dimanfaatkan untuk mensubsidi biaya haji, sehingga biaya haji menjadi lebih terjangkau. Dana besar itu juga bisa dikelola dan digunakan untuk program-program pemberdayaan masyarakat.

Terkait dengan dana haji ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini juga mengeluarkan wacana terkait hal itu. KPK mewacanakan moratorium pendaftaran haji, karena jika pendaftaran haji terus dibuka, jumlah dana haji yang saat ini berkisar Rp35,3 triliun itu akan terus mengelembung dan jika tidak dikelola secara tidak transparan dan akuntabel akan berpotensi dikorupsi.

Saya pribadi rasanya setuju dengan wacana moratorium itu. Mungkin dicoba tiga tahun, lalu nanti dibuka lagi, namun dengan catatan orang berusia lanjut didahulukan. Misalnya yang usianya 60 tahun ke atas. Karena jika harus lama menunggu, kalau harus lama mengantre, mereka belum tentu masih ada umur untuk pergi ke Tanah Suci.

Selain itu, wacana yang ramai diperbincangkan terkait penyelenggaraan ibadah haji adalah wacana memisahkan regulator dan operator. Kedua fungsi ini harusnya dilakukan oleh institusi yang terpisah. Seharusnya Kementerian Agama bertindak sebagai regulator yang berfungsi sebagai penentu kebijakan dalam penyelenggaraan Ibadah haji. Sedangkan yang bertindak sebagai pelaksana atau operator adalah institusi yang terpisah yang diisi oleh PNS karier dan tenaga profesional, dalam hal ini bisa berbentuk badan yang langsung di bawah Presiden.

Saya juga mewacanakan bagaimana jika swasta dilibatkan sehingga ada kompetisi dengan pemerintah. Kompetisi ini perlu, karena terbukti dengan adanya kompetisi, layanan menjadi lebih baik dan harga menjadi lebih murah. Lihat saja buktinya di sektor telekomunikasi.

Bandingkan dengan di sektor listrik yang tidak ada kompetisi. Tanpa kompetisi, tanpa pesaing, tidak akan ada keinginan untuk memperbaiki layanan, atau menurunkan harga, karena tidak ada persaingan. Mungkin pemerintah perlu mencoba dulu kompetisi ini. Tak perlu banyak-banyak dulu. Cukup dicoba 10 persen dulu ke pihak swasta untuk berkompetisi dan dilihat hasilnya.

Dalam sistem penyelenggaraan ibadah haji, perlu juga diatur reward dan sanksi, termasuk sanksi pidana. Ini untuk memaksa pelayanan diberikan dengan lebih baik. Yang tak kalah penting adalah ganti rugi bagi jamaah haji yang dirugikan.

Semua permasalahan haji di atas akan dibahas dan dicari solusinya oleh FPG khususnya Poksi VIII. Saran dan solusi yang ada nantinya akan menjadi masukan FPG untuk diperjuangkan dalam pembahasan revisi Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Pada prinsipnya Partai Golkar tidak mencari-cari kesalahan dalam masalah haji ini. Kita ingin yang sudah baik dibuat lebih baik lagi. Keluhan-keluhan dan masalah yang ada kita perbaiki. Prinsipnya adalah seperti yang diajarkan Nabi: hari esok harus lebih baik dari hari ini.

Mereka Tak Percaya Saya Bangkrut Berkali-kali

Memberikan kuliah umum atau lebih tepatnya berbagi pengalaman selama menjadi pengusaha di kampus-kampus, sudah biasa saya lakukan. Namun kalau di sekolah, bahkan pesantren, ini hal yang baru dan menarik tentunya. Pekan lalu, mulai hari Rabu sampai Jumat, 29 Februari-2 Maret 2012, saya melakukan safari dengan mengunjungi banyak tempat di Jawa Barat, dari Sukabumi sampai Cianjur.

Dalam safari itu, salah satu acaranya adalah berbagi pengalaman dengan anak-anak sekolah dan pesantren. Temanya: “Mencapai Sukses Kehidupan”.

Acara dimulai dari Sukabumi ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Cibadak, Pesantren Al Masthuriyah di Desa Cisaat, Pesantren Al Fath di Kecamatan Gunung Puyuh, dan SMKN 1-4 dan SMA 1-4 Kota Sukabumi. Lalu, dilanjutkan ke Cianjur ke Pesantren Gelar Cibeber, dan SMKN 1 Pacet.

Perjalanan dengan jalur darat ke berbagai tempat tadi memang melelahkan. Apalagi diselingi dengan kunjungan ke beberapa UKM, media massa, dan sebagainya. Namun, lelah itu seolah sirna ketika saya bertemu dengan anak-anak, para siswa dan siswi, generasi muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa ini.

Saya melihat semangat optimisme di wajah mereka. Semangat khas anak muda yang penuh kreativitas dan gairah untuk maju. Mereka hanya perlu dibimbing oleh mereka yang lebih tua dan berpengalaman. Nah, tugas orang tua seperti saya adalah membagi pengalaman saya pada mereka.

Sama dengan kuliah umum saya di kampus-kampus, saya memotivasi anak-anak sekolah ini dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman saya selama bergelut di dunia bisnis atau usaha. Saya meyakinkan mereka untuk berani berusaha dan pantang menyerah menghadapi kegagalan.Kepada mereka saya ceritakan pengalaman jatuh-bangun dan bangkrut berkali-kali dalam bisnis yang saya jalani. Kegagalan itu suatu hal yang biasa. Yang penting adalah bagaimana kita mampu bangkit lagi dan meraih kesuksesan. Bahkan kalau bisa, lebih besar dari sebelumnya. Itulah kunci sukses dalam kehidupan.

Para guru serta ratusan siswa dan siswi sekolah itu seolah tak percaya ketika saya bercerita saya pernah mengalami kebangkrutan besar. Mereka tak pernah tahu bahwa ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1997 saya pernah bangkrut. Bahkan bisa dikatakan saat itu saya lebih miskin daripada pengemis. Namun, dengan semangat pantang menyerah, kegagalan itu bisa saya lalui. Bahkan, kemudian Kelompok Usaha Bakrie bisa menjadi lebih besar dari sebelumnya. Ini karena semangat pantang menyerah. Bayangkan jika saat itu saya menyerah, mungkin ceritanya akan lain.

Karena itu dalam kesempatan bertemu para siswa, para anak muda, semangat itulah yang saya ingin tanamkan. Dengan menceritakan pengalaman saya, saya harap mereka belajar bahwa ternyata itu bukan cuma teori. Itu tidak mustahil. Itu semua bisa dilakukan.

Saat berada di SMKN 1-4 dan SMA 1-4 Kota Sukabumi, usai berbagi pengalaman saya diminta menulis pesan di spanduk yang telah disiapkan. Saya kemudian menulis:

“Anak-anakku sekalian, jangan biarkan dirimu di tempat yang gelap. Karena di sana, sahabatmu yang paling setia, yaitu bayangan, juga akan meninggalkan kita”.

Itu adalah pesan yang diajarkan ayah saya Achmad Bakrie. Tempat gelap adalah kegagalan. Kita jangan berlama-lama terpuruk dalam kegagalan. Kita harus bangkit. Sahabat pun akan lari jika kita sedang terpuruk atau mengalami masalah. Maka, segeralah bangkit. Hadapi dan selesaikan masalah tersebut, jangan lari dari kenyataan.

Saat berbagi pengalaman di pesantren, rupanya banyak para santri yang juga aktif di dunia maya. Buktinya banyak yang mengaku sebagai follower twitter saya @aburizalbakrie dan pembaca setia blog saya blog.aburizalbakrie.id. Lalu, salah satu pembaca blog saya bertanya mengenai arti pesan ayah saya yang saya jadikan banner blog: “Setiap Rupiah yang dihasilkan oleh Bakrie harus dapat bermanfaat bagi banyak orang.”

Saya jelaskan bahwa kehadiran Kelompok Usaha Bakrie harus memberikan manfaat. Salah satunya membantu sesama, misalnya membantu pendidikan anak bangsa, dan kegiatan bermanfaat lainnya.

Ketika di Pesantren Al Fath di Kecamatan Gunung Puyuh, saya dianugerahi gelar adat Sunda “Rama Puhita” yang artinya pemimpin yang mampu mengelola negara. Pemberi gelar ini pimpinan pesantren Kiai Muhammad Fajar Laksana yang merupakan keturunan ke-17 Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Saya ucapkan terima kasih kepada Kiai Fajar. Bagi saya, gelar itu berat sekali. Tapi, jika Allah yang menugaskan, insya Allah, saya siap.

Saya optimis anak-anak siswa-siswi SMA atau SMK dan santri pesantren yang ikut acara berbagi pengalaman dengan saya mampu menjadi orang sukses nantinya. Karena di sana saya lihat mereka sudah dibiasakan untuk mandiri dan berwirausaha. Ini sesuatu yang bagus sekali karena yang kita butuhkan ke depan adalah orang-orang yang menyediakan lapangan kerja, bukan hanya para pencari kerja.

Semoga anak-anak ini, generasi muda ini, kelak tumbuh menjadi pemimpin-pemimpin yang berjiwa wirausaha, yaitu berjiwa ulet, kreatif, dan pantang menyerah. Di tangan mereka saya yakin bangsa ini akan maju dan menjadi bangsa yang besar.

Janji Saya untuk Papua

Minggu sore, 12 Februari 2012, saya kedatangan tamu istimewa. Serombongan tokoh asal Papua berkunjung ke rumah saya di Jl. Mangunsarkoro. Salah satu yang hadir sore itu adalah Alex Mebri, Panglima Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM).

Alex datang bersama 11 aktivis gerakan Papua datang ke rumah saya didampingi Yorris Raweyai, politikus asal Papua yang juga anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI. Saya senang sekali dengan kedatangan mereka. Papua bagi saya sudah seperti kampung halaman. Mendapat kunjungan dari Papua, seperti dapat kunjungan dari kerabat sekampung halaman.

Mengenai kedekatan saya dengan Papua ini sudah sering saya sampaikan di mana-mana. Dalam blog ini pun, sudah sering pula saya tulis (silakan baca di sini dan di sini).

Tak bisa dipungkiri, kedekatan saya dengan Papua terkait pengalaman saya saat menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Ketika itu saya pernah beberapa bulan tinggal di Yahukimo, daerah pegunungan, 20 kilometer dari Wamena, dalam rangka menangani kelaparan di sana. Itu merupakan pengalaman mendalam dalam hidup saya. Bahkan, saking cintanya saya dengan Papua, saya memakai nama “Yahukimo” untuk ID BlackBerry Messenger saya.

Pertemuan saya dengan Alex sore itu memang baru pertama kali. Tetapi, ketika kami mengobrol santai sambil makan-makan, saya merasakan ada satu keakraban, seolah kami ini sudah lama saling mengenal. Banyak hal yang kami bincangkan, terutama sekali seputar permasalahan Papua.

Dalam perbincangan, Alex menyatakan ingin kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kembali ke NKRI. Saya terharu. Apalagi Alex mengatakan mereka pun berkomitmen untuk mengakhiri seluruh konflik dan kekerasan yang terjadi selama ini. Mereka berkomitmen untuk bersama-sama pemerintah Indonesia mencari solusi bagi seluruh permasalahan Papua, serta membangun Bumi Cendrawasih menjadi lebih sejahtera dan damai.

Alex mengatakan kekerasan dan konflik di Papua sesungguhnya bukan karena perkara merdeka atau tetap menjadi bagian dari NKRI, tapi lebih pada persoalan konflik elite politik di sana. Selain itu, yang jauh lebih penting adalah tuntuntan kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Katanya, tidak sedikit oknum yang mengatasnamakan OPM dan berdalih memperjuangkan kemerdekaan Papua, lalu memicu konflik dan kekerasan di tengah masyarakat. Padahal, rakyat Papua sendiri tidak mereka perhatikan.

Saya amat setuju dengan pendapat Alex. Apalagi ketika dia mengatakan bahwa Papua tidak akan pernah menjadi lebih baik dan lebih sejahtera kalau terus-menerus dililit konflik dan kekerasan. Pembangunan tidak akan pernah berjalan kalau keamanan di tanah Papua masih bermasalah. Karena itu, Alex dan para pengikutnya bertekad mengakhiri seluruh konflik dan kekerasan agar bisa bersama-sama membangun serta menyejahterakan Papua.

Pertemuan saya dengan Alex ini mengingatkan saya dengan tokoh pencetus OPM, Nicholas Jouwe, yang juga pernah bertemu saya di rumah, sebelum akhirnya dia kembali ke NKRI. Dulu saat masih menjadi Menko Kesra, saya mengirim orang untuk membujuk satu-satunya pendiri OPM yang masih hidup dan telah menetap serta menjadi warga negara Belanda selama lebih kurang 40 tahun ini. Saya bujuk dia untuk datang ke Indonesia dan bertemu di rumah saya.

Tak seperti Alex, membujuk Nicholas untuk kembali ke NKRI tidaklah mudah. Dia sempat tidak mau memakai bendera Merah Putih dan lambang Garuda. Pada saat itu banyak rekan saya di kabinet marah dan menilai dia tidak perlu dipertemukan dengan Presiden. Padahal, saya berpendapat dia perlu bertemu Presiden untuk dijelaskan mengenai masalah Papua.

Saya bilang ke Presiden waktu itu: “Pak, saya kalah voting, tapi Bapak sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan, ada baiknya menerima Nicholas Jouwe ini.” Akhirnya, Presiden bersedia menemui Nicholas di Cikeas. Pada saat itu dia mengatakan: “Bapak Presiden, saya akan kembali menjadi warga negara Indonesia dan membantu pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah Papua.”

Singkat cerita, akhirnya Nicholas tinggal kembali menjadi WNI dan tinggal di Papua. Sampai saat ini kami masih berhubungan baik. Tiap Lebaran, biasanya Nicholas dan keluarganya berkunjung ke rumah saya, tempat di mana kami dulu bertemu dan membicarakan masalah Papua bersama-sama.

Tak hanya pemimpin-pemimpin OPM saja yang pernah saya temui. Saat masih di Papua dan mengunjungi daerah-daerah pelosoknya, saya sering bertemu dengan prajurit-prajurit OPM. Banyak pasukan OPM yang menyerahkan senjata sukarela pada saya dan berikrar kembali ke NKRI. Tanpa paksaan. Ini karena mereka melihat daerah mereka dibangun, daerah mereka disejahterakan kala itu.

Kalau sekilas melihat tentara OPM, penampilan mereka memang seram-seram. Namun, saya tidak melihat penampilan luarnya, saya meyakini pada dasarnya semua manusia itu sama. Jika kita berlaku baik pada dia, maka dia juga akan baik pada kita.

Selama berada di sana, bahkan ketika bertemu para pimpinan militer OPM, saya tidak pernah menggunakan pengawalan pasukan. Saya juga tidak pernah memakai rompi anti peluru. Buktinya saya aman-aman saja. Tidak ada yang memanah saya, tidak ada yang menembak saya. Mereka tidak membenci orang, mereka cuma memperjuangkan kesejahteraan untuk daerah mereka.

Saya sering mengatakan di mana-mana dan berulang-ulang bahwa masyarakat Papua sebenarnya tidak ingin merdeka dari NKRI, mereka hanya ingin merdeka dari kemiskinan dan ketertinggalan akibat tidak meratanya pembangunan. Karena itu saya katakan pendekatan kesejahteraan adalah solusi yang tepat bagi Papua, bukan pendekatan keamanan.

Karena itu, kepada tamu dari Papua, kepada Alex dan rombongannya, sore itu saya katakan sebagai Ketua Umum Partai Golkar saya berjanji akan terus-menerus memperjuangkan kesejahteraan Papua. Saya bilang kepada Pak Alex, “Bapak, saya janji, dan janji saya ini tentu disaksikan Tuhan dan kita semua yang ada di sini: saya akan memperjuangkannya dengan seluruh kekuatan saya. Saya janji.”

Melalui Fraksi Partai Golkar, sebagai salah satu fraksi terbesar di parlemen, Partai Golkar juga akan memperjuangkan kebijakan yang baik dan tepat untuk Papua. Banyak legislator Papua di sana, salah satunya Yoris, yang sore itu juga hadir. Saya juga akan memanfaatkan posisi saya sebagai Wakil Ketua di Sekretariat Gabungan partai politik pendukung pemerintah untuk mengarahkan pemerintah agar mampu membuat program atau kebijakan yang tepat untuk Papua.

Sebelum Alex dan rombongan pamit, saya mendengar dari Alex bahwa mereka dijadwalkan bertemu Ketua DPR RI, Marzuki Alie dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tujuannya sama: menyampaikan komitmen untuk kembali ke pangkuan NKRI dan bersama-sama membangun Papua serta segera mengakhiri segala konflik dan kekerasan di sana.

Saya sungguh berharap pertemuan itu dapat menghasilkan rumusan-rumusan positif dan bermanfaat bagi Papua. Semoga masalah Papua bisa segera terselesaikan, sehingga kedamaian dan kemakmuran segera hadir kembali di Bumi Cendrawasih.

Mau Nilai Musik: Dengarkan, Nilai Buku: Baca!

Wawancara Akmal Nasery Basral di VIVAnews.com

Novel “Anak Sejuta Bintang” diluncurkan Sabtu, akhir bulan Januari lalu. Novel ini bercerita tentang masa kecil Aburizal Bakrie, bersama keluarga dan teman-temannya semasa sekolah Taman Kanak-kanak dan SD/SR Perwari.

Penulis novel biografi tersebut adalah Akmal Nasery Basral. Pria yang lahir di Jakarta 28 April 1968 ini selama ini dikenal sebagai novelis kondang dengan berbagai karya seperti “Imperia”, “Sang Pencerah”, “Naga Bonar Jadi 2”, “Sang Pencerah”, “Presiden Prawiranegara”, dan lain-lain.

Novel ini kemudian ramai diperbincangkan dan muncul tuduhan bahwa ini novel pencitraan, bagian dari strategi 2014 dan lain sebagainya.

Bagaimana proses pembuatan novel ini? Dan bagaimana Akmal merespon pandangan negatif terkait karyanya itu? Berikut petikan wawancara dengan Akmal.

Bagaimana ide awalnya sampai kemudian memutuskan menulis novel ini?

Awalnya saya dihubungi tim penggagas. Terus saya tanya ini dibuat bentuk apa? Kalau buat biografi saya bukan penulis biografi, belum pernah. Tapi kalau dalam bentuk novel, saya novelis, saya mau. Akhirnya setelah beberapa kali diskusi, akhirnya kita sepakat bentuk novel. Cerita waktu masih kecil.

Mengapa periode masa kecil yang dipilih?

Karena masa kecil ini masa ketika karakter-karakter ini dikembangkan. Yang kedua, masa kecil ini juga masa di mana anak menemukan lingkungannya, environment, dan persahabatan. Persahabatan ini sendiri menurut saya menarik karena naik turun. Saat ini bisa deket banget, besok bisa berantem. Karena sebenarnya mereka ini meskipun bocah dan sekolahnya di garasi mereka ini anak-anak orang penting republik waktu itu.

Proses penulisannya sendiri bagaimana? Berapa kali bertemu dan wawancara dengan Pak Ical?

Prosesnya kita bertemu beberapa kali. Sekitar lima kali dalam setahun. Pada awalnya Pak Ical gak inget kenangan masa kecilnya seperti apa. Terutama waktu TK. Jadi saya coba lewat kawan-kawannya. Jadi kayak bola salju. Jadi ada yang inget ini, ada yang inget ini, dikumpulkan terus, dari situ terkumpulah informasi primer.

Saya kemudian juga mewawancarai keluarga inti Pak Ical, ada Ibu Roos (Roosniah Bakrie), adik-adik beliau, dan riset sekunder soal Jakarta waktu itu. Termasuk setting sosial-budaya, terutama trend pada zaman itu. Sehingga ketika orang masuk, settingnya jadi spesifik.

Penulisan novel ini butuh waktu berapa lama?

Dari brain storming sampai malam ini (peluncuran), sekitar setahun .

Kesulitan atau kendala dalam penulisan novel ini seperti apa?

Karena ini novel yang bersifat sejarah, sehingga banyak yang satu ingat yang lain nggak ingat. Nggak semuanya punya ingetan yang sama terhadap satu hal. Yang kedua, karena tokoh-tokohnya masih hidup ada beberapa hal yang bagi seseorang tidak masalah diceritakan, tapi bagi yang lain ini masalah sensitif. Nah menemukan titik ini yang susah.

Misalnya terkait cerita Pak Ical yang naksir Bu Wiwik. Bu Wiwik gak mau dan bilang “Gak mau ah. Kamu kayak monyet Lampung”. Itu Pak Ical gak keberatan dan bilang “Gak papa, tulis aja. Emang kejadiannya kayak gitu kok”. Tapi ada beberapa kawan lain yang bilang “Anda jangan ceritakan”.

Ini beda dengan ketika saya menulis “Presiden Prawiranegara” ini tokohnya sudah tidak ada. Saya juga wawancara dengan keluarganya, namun kan bedanya novel “Anak Sejuta Bintang” ini, di mana tokoh-tokohnya masih hidup semua.

Apakah ada bagian-bagian yang akhirnya diminta untuk tidak boleh diekspose?

Kalau dari Pak Ical tidak ada. Yang paling menarik menurut saya seperti yang sering saya katakan, Pak Ical tidak menggariskan ini boleh dan ini tidak boleh.

Cuma Pak Ical kalau lupa dia jujur mengatakan lupa dan kalau ingat atau menceritakan sesuatu saya diminta mengecek ke teman-teman sekolahnya benar gak seperti itu. Dengan belasan narasumber saya tanya satu persatu. Setelah itu saya balik lagi ke beliau dan beliau mengingat kembali.

Banyak yang bilang bahwa masa muda Pak Ical sampai jadi tokoh lebih menarik, dibanding cerita masa kecilnya. Pendapat anda?

Sebenarnya semua fase kehidupan seseorang bukan hanya Pak Ical menurut saya itu menarik. Terutama bagaimana kita harus menuliskan dan mengungkapkan value dari itu. Memaparkan peristiwa-peristiwa itu sebenarnya tidak terlalu sulit, tapi bagaimana kita melihat sebuah peristiwa itu punya meaning itulah yang penting. Kalau semua harus dikumpulkan dalam satu buku, akan jadi tebal sekali. Jadi harus ada periodisasi.

Jadi disini saya pilih masa kecil karena saya lihat yang penting bagi keluarga sekarang adalah bagaimana role model orang tua dalam mendidik anak. Ini yang kelihatan bagaimana Pak Achmad Bakrie dan Ibu Roos melakukan itu.

Apakah nanti akan ada sekuel novel ini?

Jadi kalau nanti hasil penjualannya disukai masyarakat, biasanya secara umum nanti ada lanjutannya. Tapi saya tidak bisa bilang ada atau tidak, karena sejak awal saya mempropose saya amau menulis melihat masa kecilnya dulu.

Banyak serangan terhadap anda dan novel ini. Bagaimana anda menyikapi hal itu?

Sebuah karya yang sudah keluar orang bisa memaknai apa saja. Tapi ide tim penggagas yang saya tahu betul, sebenarnya mereka ini ingin memberi kado kepada Pak Ical saat Pak Ical ultah ke 65, tahun lalu. Tim ingin memberi kado yang agak beda yang genuine. Cuma karena dipikir kalau terbitannya November 2011 (saat Pak Ical ultah) kayaknya terbitan lama banget, dan akhirnya momennya di buat tahun ini.

Jadi bagaimana dengan tuduhan ini novel pencitraan untuk politik dan pilpres 2014?

Kalau menurut saya, sebaiknya di baca dulu saja novelnya. Apakah ada indikasi-indikasi seperti itu. Karena buat saya simpel; kalau kita mau menilai foto: lihat, mau menilai music: dengar, mau menilai buku: baca. Setelah baca kalau setelah baca belum tentu harus setuju, tapi kita bisa berbicara dengan bahasa yang sama. Tapi kalau belum dibaca sudah dijudge ya repot.


Tentang “Anak Sejuta Bintang”

Sabtu malam minggu, 28 Januari 2012, saya datang ke sebuah acara istimewa. Acara yang digelar di Museum Nasional atau Museum Gajah itu adalah acara peluncuran novel yang berjudul “Anak Sejuta Bintang”. Kebetulan novel ini menceritakan tentang masa kecil saya dan teman-teman TK serta SD/SR saya.

Novel ini ditulis oleh novelis yang juga mantan wartawan, Akmal Nasery Basral. Sudah banyak novel yang sudah ditulis Akmal, antara lain “Imperia”, “Sang Pencerah”, “Naga Bonar Jadi 2”, “Sang Pencerah”, dan “Presiden Prawiranegara”.

Saya senang sekali datang ke acara itu karena teman-teman saya di TK/SD Perwari hadir. Sebagian besar mereka adalah tokoh dalam novel itu. Hadir juga sahabat-sahabat saya lainnya.

Dalam tulisan saya ini, saya tidak akan membahas isi novel tersebut. Bagi yang tertarik, silakan membaca sendiri. Namun, secara garis besar novel itu selain menceritakan masa kacil saya dan teman-teman saya, juga menceritakan mengenai pendidikan anak-anak di masa lalu.

Bisa dibilang, novel ini dasarnya adalah pendidikan anak-anak, yang insya Allah, pendidikan waktu itu bisa jadi contoh pendidikan anak-anak sekarang. Misalnya: bagaimana menghargai orang tua, bagaimana berdisiplin dengan waktu, spirit mengejar cita-cita, dan sebagainya. Selain itu, ada juga sisi yang menonjol yaitu mengenai kesetiakawanan. Apalagi, tampaknya soal kesetiakawanan sudah makin memudar saat ini.

Novel ini dibuat atas inisiatif Tim Jatinegara-nya Isye, Bobby Gafur, Catherine, dan lain-lain, bersama Tim Ekspose dari Mizan, dan Akmal. Mereka berencana membuat buku tentang saya dengan gaya novel. Saya setuju saja, apalagi Akmal ini juga pernah membuat novel serupa yaitu “Presiden Prawiranegara”, dan akan membuat novel serupa tentang ulama Buya Hamka. Saya lebih suka gaya novel dibandingkan gaya autobiografi yang terlalu menonjolkan “saya”.

Lalu Akmal mewawancarai saya dan teman-teman, serta keluarga saya. Saya sendiri ketika diwawancarai Akmal setahun lalu, terus terang saja jika banyak yang saya memang lupa peristiwanyakarena sudah puluhan tahun berlalu. Namun, rupanya Akmal juga mewawancarai banyak teman-teman saya di TK dan SD atau SR Perwari di mana saya dulu bersekolah dan bermain bersama mereka.

Dari hasil wawancara Akmal dengan teman-teman saya dan saya sendiri, serta keluarga saya, inilah yang kemudian dirangkai dan diramu menjadi novel itu. Saya tidak mencampuri penulisannya. Saya hanya menceritakan peristiwa yang saya ingat saja.

Seperti halnya pada penulis sebelumnya yang pernah mewawancarai dan menulis tentang saya, saya memberi kebebasan pada Akmal untuk menulis apa pun dari cerita saya. Termasuk cerita “cinta monyet” saya dengan Wiwik. Banyak teman saya, kata Akmal, yang tidak setuju kisah itu ditulis, apalagi kemudian Wiwik menolak saya dan bilang, “Nggak mau ah, kamu kayak monyet Lampung”. Tapi bagi saya itu tidak masalah ditulis, karena memang kejadiannya begitu. Bagi yang penasaran bagaimana cerita saya dan Wiwik, silakan baca novelnya.

Selain soal kenangan saat sekolah, kepada Akmal saya juga menceritakan bagaimana ayah saya mendidik saya. Belakangan saat di acara peluncuran novel, Akmal mengaku bahwa cerita saya tentang bagaimana ayah saya, Achmad Bakrie, selalu membangunkan saya untuk sholat subuh meski saya masih kecil, menginspirasinya. Kini, Akmal mengaku mengikuti hal itu untuk dia terapkan kepada anak-anaknya.

Mendengar pengakuan Akmal ini, saya senang dan saya berharap nanti banyak yang terinspirasi oleh novel ini, khususnya anak-anak dan para orang tua yang mendidik anak-anak mereka.

Ternyata, novel “Anak Sejuta Bintang” ini jadi ramai diperbincangkan. Banyak juga yang tidak suka dan menyerang novel ini, saya, dan Akmal sebagai penulisnya. Ada yang bilang ini novel pencitraan yang sengaja saya buat untuk 2014, dan lain sebagainya. Ada juga yang bilang saya bahkan awalnya mau membayar novelis terkemuka dengan nilai miliaran. Ini kabar tidak benar.

Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, novel ini bukan inisiatif saya. Bukan saya yang minta dibuatkan. Menurut para penggagasnya, novel ini awalnya dimaksudkan sebagai hadiah ulang tahun ke-65 saya, November tahun lalu, tidak ada hubungannya dengan pilpres.

Tapi tidak apa-apa. Saya sendiri sudah terbiasa dengan penilaian-penilaian miring dan fitnah-fitnah semacam itu. Itu resiko. Seperti yang sering saya sampaikan: semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang meniupnya. Jika tidak mau kena angin kencang, jadi rumput saja. Tapi, rumput akan diinjak-injak orang. Saya memilih menjadi pohon.

Biarlah semua penilaian miring yang tak benar itu. Sebuah karya yang diluncurkan memang harusterbuka pada kritik. Namun, kalau boleh saya menyarankan, ada baiknya kita baca dulu novel itu, tanpa intrik, tanpa prasangka. Semoga saja bermanfaat dan siapa tahu bisa sedikit menjadi inspirasi.

Kampanye Permanen dengan Gerakan Karya dan Kekaryaan

Pidato Pengarahan pada Rakornis Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar Wilayah Sulawesi. Makassar, 25 Januari 2011

Yang saya hormati Wakil Ketua Umum Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Timur,

Yang saya hormati Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP Partai GOLKAR dan segenap jajaran pengurus DPP Partai GOLKAR,

Yang saya hormati Ketua DPD Partai GOLKAR Propvinsi Sulawesi Selatan, juga sebagai Gubernur selaku Tuan Rumah,

Yang saya hormati para Ketua DPD Partai GOLKAR Provinsi se-Sulawesi, 3 diantaranya menjabat Gubernur : Gubernur Sulsel, Sulbar dan Gorontalo, dan segenap jajaran pengurus DPD Partai GOLKAR Provinsi se- Sulawesi,

Para Ketua DPD Partai GOLKAR Kabupaten/Kota se Sulawesi dan segenap jajarannya, serta seluruh kader Partai GOLKAR yang saya banggakan.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera bagi kita semua,

Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji syukur ke-hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-Nya, seehingga kita semua dapat menghadiri Rapat Koordinasi Teknis (RAKORNIS) Bidang Pemenangan Pemilu Partai GOLKAR Wilayah Sulawesi, di Kota Angin Mamiri, kota Makassar, ibu kota wilayah lumbung beringin.

Selanjutnya, berhubung masih dalam suasana Perayaan IMLEK, selaku Ketua Umum DPP Partai GOLKAR, saya mengucapkan GONG XI FA CAI kepada saudara-saudara kita, warga Tiong Hoa, semoga senantiasa memperoleh keberkahan dan keberuntungan dalam segala aspek kehidupan.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin memberikan apresiasi kepada Gubernur Sulawesi Selatan/Ketua Partai GOLKAR Sulawesi Selatan selaku Tuan Rumah, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sulawesi, seluruh jajaran Pengurus dan kader partai GOLKAR, yang telah bekerja keras untuk kemajuan dan kebesaran Partai GOLKAR. Saya memahami berbagai kontestasi politik telah dimenangkan, namun di beberapa daerah mengalami kekalahan. Saya ingin mengingatkan, bahwa kemenangan yang dicapai harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, sementara kekalahan yang dialami harus dilihat sebagai pemicu dan pemacu dalam perjuangan politik untuk mencapai kemenangan yang lebih besar ke depan, memperbaiki dan membangun bangsa ini.

Secara khusus saya ingin mengucapkan Selamat kepada Ketua DPD Partai GOLKAR Provinsi Sulawesi Barat, dan Ketua DPD Partai GOLKAR Provinsi Gorontalo yang telah terpilih dan baru saja dilantik sebagai Gubernur. Demikian pula, saya ucapkan Selamat kepada beberapa Ketua DPD Partai GOLKAR Kabutapen/Kota yang telah terpilih sebagai Bupati atau Walikota. Mantapkan kinerja, galakkan karya nyata, sehingga rakyat dapat merasakan kemanfaatan kepemimpinan Saudara, dan tentu membawa implikasi tumbuhnya rasa cinta rakyat pada saudara, yang pada gilirannya menimbulkan pula kecintaan pada Partai GOLKAR. Kita semua berharap agar kesuksesan yang telah diraih Gorontalo dan Sulawesi Barat dapat menginspirasi daerah-daerah lain yang akan melakukan Pilkada, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Pilkada Kabupaten/Kota lainnya, untuk dapat memastikan kemenangan juga bisa dicapai.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

RAKORNIS ini memiliki arti penting bagi kita semua, segenap pengurus dan kader Partai GOLKAR, terutama mengingat kepengurusan DPP Partai GOLKAR hasil Munas VIII 2009 sudah berjalan dua tahun, itu berarti Pemilu 2014 sudah semakin dekat. Tentu saja, sangatlah tepat kiranya, apabila RAKORNIS Bidang Pemenangan Pemilu Partai GOLKAR ini, kita jadikan wahana untuk melakukan evaluasi terhadap langkah-langkah yang telah kita lakukan selama ini, sekaligus menetapkan penguatan langkah-langkah strategis bagi pemenangan pilkada dan pemilu 2014.

Apabila kita catat, langkah-langkah yang telah dijalankan Partai GOLKAR selama dua tahun ini, secara umum saya dapat mengatakan, bahwa pengelolaan partai ini sudah pada jalan yang benar atau “on the right track”. Untuk memantapkan posisi partai GOLKAR sebagai Partai Modern dan Partai Utama di Republik ini, saya telah menetapkan berbagai kebijakan umum Partai. Perubahan management kepemimpinan partai yang konvensional menjadi management kepemimpinan partai yang berbasis matriks. Hal ini dilakukan karena kita sadar bahwa untuk menghadapi persaingan politik yang semakin tajam diperlukan pengelolaan partai secara profesional, bukan konvensional. Juga telah ditetapkan landasan konseptual partai atas dasar panduan ideologi dan basis akademik, meliputi prinsip suara GOLKAR suara RAKYAT, the Party of ideas, paradigma membangun Indonesia dari Desa, dan program aspirasi bagi pemberdayaan rakyat. Bahkan, pendekatan politik telah direvitalisasi dengan merubah menjadi “Permanent Campaign” melalui Gerakan Karya Kekaryaan.

Kita sama-sama telah melaksanakan amanat Munas VIII Partai GOLKAR dengan baik. Kita telah berupaya mengimplementasikan CATUR SUKSES dengan sebaik-baiknya. Kita telah susun konsep-konsep dan agenda-agenda penting untuk mendasari langkah kita dalam rangka menuju puncak kemenangan Partai GOLKAR pada Pemilu 2014. Kita telah menetapkan Tahun 2010 sebagai Tahun Konbsolidasi. Tahun 2011 sebagai tahun Kaderisasi, dan tahun 2012 telah ditetapkan sebagai Tahun Gerakan Karya Kekaryaan. Meskipun pencanangan Tahun Konsolidasi dan Kaderisasi tersebut menunjuk pada tahun tertentu, itu tidak berarti gerakan itu sudah selesai, tapi bahkan harus semakin ditingkatkan, kegiatan konsolidasi dan kaderisasi dalam Partai bersifat kontinyu untuk mendukung suksesnya Gerakan karya kekaryaan. Dan dalam perjalanan 2 tahun kepengurusan kita ini, atas kerjasama kita semua dalam menggerakan partai sebagai mesin politik, meskipun kita sadari belum maksimal, kita patut mengucapkan syukur Alhamdulillah, karena sampai saat ini, kita telah mencatat kemenangan sebesar 57% pilkada di seluruh Indonesia, telah melampaui target keputusan Rapimnas 50 %, dan beberapa Lembaga Survey Nasional menempatkan Partai GOLKAR sebagai Partai urutan pertama perolehan dukungan rakyat secara nasional. Sehingga, bila Pemilu dilaksanakan pada tahun ini, dapat dipastikan PARTAI GOLKAR menjadi PEMENANG.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

RAKORNIS yang dilakukan di Kota Makassar ini, harus kita jadikan momentum Partai GOLKAR untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka pemenangan pemilu 2014. Kita tahu, bahwa daerah Sulawesi Selatan ini merupakan salah satu lumbung beringin yang terpenting khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Kemenangan Partai GOLKAR tersebut harus kita pertahankan dan tingkatkan. Bahkan, kita harus dapat mengambil spirit kemenangan itu untuk menciptakan lumbung-lumbung kemenangan Partai GOLKAR di tempat-tempat lain, di seluruh kawasan Indonesia.

Guna meraih kemenangan tersebut, kita telah merubah paradigma pemahaman pemenangan pemilu dari yang bersifat konvensional menjadi permanent campaign, yang intinya melihat kegiatan kampanye politik sebagai sebuah proses yang bersifat kontinyu, melalui serangkaian kegiatan yang secara konsisten menjadikan ide dan gagasan sebagai instrumen politik.

Dalam kerangka itulah, saya telah mencanangkan tahun 2012 sebagai tahun GERAKAN KARYA KEKARYAAN. Gerakan ini menjadi momentum bagi saya selaku Ketua Umum Partai GOLKAR hadir di tengah-tengah rakyat Indonesia. Berkarya untuk Rakyat. Tiada hari tanpa karya untuk rakyat Indonesia.

Karenanya, Gerakan ini diharapkan dapat mendorong aksi-aksi sosial Partai GOLKAR, sebagai implementasi ciri karakter karya kekaryaan yang konsisten filosofi “Suara GOLKAR-Suara RAKYAT”, dengan sasaran utama pada kelompok strategis yang ada di pedesaan. Aksi sosial ini, di samping sebagai perwujudan dari sikap “satunya kata dan perbuatan”, juga untuk membuktikan pengabdian partai GOLKAR kepada masyarakat, sekali gus sebagai pencerminan sikap konsistensi Partai GOLKAR dalam memperjuangkan konsep Membangun Indonesia dari Desa.

Dalam kerangka pelaksanaan gerakan karya kekaryaan, secara khusus, saya ingin mengajak kita semua untuk lebih meningkatkan simpati kepada saudara-saudara kita yang masih tergolong dalam kategori “rakyat kecil”, mereka yang masih relatif tertinggal, masih berada di garis batas kemiskinan, serta rakyat kita yang masih menanggung beban hidup yang berat. Jumlah mereka mencapai 30 juta jiwa lebih, sebuah jumlah yang amat besar, sebesar tanggung jawab dan kewajiban kita untuk melakukan berbagai upaya agar beban hidup mereka tidak semakin berat.

Saya ingin mengingatkan, bahwa disamping gemerlap perkotaan dan pembangunan gedung-gedung yang tinggi, sebagian besar rakyat Indonesia masih bekerja sebagai petani, nelayan, buruh, pegawai kecil, pedagang dan pekerja di sektor informal. Kita harus memperhatikan mereka. Jangan tinggalkan mereka. Justeru semua upaya pembangunan yang kita laksanakan, justru semua prioritas kebijakan yang bisa kita lakukan, harus ditujukan pada perbaikan nasib mereka.

Rakyat kecil, rakyat di pedesaan, harus mampu terus berharap bahwa suatu waktu kelak, nasib anak-anak mereka akan jauh lebih baik dari nasib yang sekarang mereka alami. Mereka harus bisa melihat, bahwa kaum pemimpin memang memikirkan nasib dan penderitaan mereka, bukan pemimpin yang hanya memikirkan nasib dan kesenangan diri serta kelompoknya.

Itulah tugas yang sangat mulia. Itulah harapan yang perlu kita sambut dengan kerja keras, dengan dedikasi, serta dengan jiwa yang tulus dan ikhlas, melalui gerakan karya kekakryaan.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Saya juga ingin menyampaikan, bahwa gerakan karya kekaryaan ini mengingatkan kita sebuah konsep dasar pada zaman Pak Harto yang dikenal Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), yang dijabarkan dalam banyak hal, seperti pendidikan dasar, irigasi, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, puskesmas, program KB, program pengentasan kemiskinan, jalan tol, jalan provinsi, jalan kabupaten, hingga satelit Palapa dan tahap awal industri jasa dan manufaktur, serta masih banyak lagi.

Partai Golkar tidak boleh melihat semua itu hanya sebagai bagian dari masa lalu, apalagi mengecilkannya atau menyembunyikan dibalik sejumlah apologia. Ia harus menjadi sumber legitimasi, serta sumber motivasi dan landasan dari tekad baru Partai Golkar untuk merebut kemenangan dalam Pemilu 2014. Kemenangan dan kekuasaan akan kita pergunakan untuk memimpin Indonesia dalam mengukir prestasi yang lebih baik lagi.

Kita harus membuktikan, bahwa justru di alam demokrasi yang multi partai ini, kepemimpinan Partai Golkar, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, akan semakin berhasil dalam mendorong kemajuan Indonesia.

Hadirin sekalian yang berbahagia

Bila Gerakan karya kekaryaan itu, kita lakukan secara konsisten, serentak dan kontinyu, tiada hari tanpa karya untuk rakyat, tentu kemenangan tinggal masalah waktu, karena kita yakin bahwa rakyat akan memberikan dukungannya kepada Partai GOLKAR. Kemenangan tersebut kita butuhkan, mengingat dengan kemenangan yang kita raih, kita mendapatkan legitimasi rakyat untuk menjalankan kekuasaan, dan dengan kekuasaan itulah kita dapat mengaktualisasikan hakikat kelahiran Partai GOLKAR.

Kita tahu, bahwa sejarah kelahiran GOLKAR adalah untuk menjaga dan mempertahankan ideologi Pancasila dan UUD 1945, menegaskan jatidiri politiknya sebagai partai nasionalis, partai tengah, dan mengedepankan karya kekaryaan dan pembangunan, di mana semua itu bermuara pada kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Dalam kaitan inilah, selaku ketua Umum DPP Partai GOLKAR, saya perlu menegaskan bahwa apa yang kita upayakan dalam konteks pemenangan pemilu Partai GOLKAR, tidak semata-mata terkait dengan aspek-aspek kepentingan jangka pendek. Kita tidak ingin hanya berpikir hingga tahun 2014 semata, tetapi lebih daripada itu, Partai GOLKAR memiliki visi jauh ke depan dalam membangun bangsa.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Pada Pidato Renungan Awal Tahun 2012 di depan Fraksi Partai GOLKAR DPR-RI, 18 Januari 2012 yang lalu, selaku Ketua Umum DPP Partai GOLKAR, saya mengajak untuk melihat jauh ke depan, bukan hanya 2014 atau 2019, tetapi lebih jauh lagi, membayangkan seabad atau seratus tahun kemerdekaan Indonesia, 1945-2045. Pandangan jauh ke depan inilah yang saya harapkan menjadi conceptual guidance, arah konseptual bagi Partai GOLKAR di tahun-tahun mendatang. Dengan visi yang jauh ke depan, langkah yang kita lakukan hari ini akan lebih pasti dan kokoh, serta memiliki tujuan yang jelas.

Karena itu, kita yang hidup dan memimpin saat ini, apapun posisi kita, harus berani bermimpi, harus berani membayangkan bahwa di tahun-tahun mendatang, prestasi Indonesia dalam pembangunan di segala bidang akan lebih baik dan lebih progresif lagi.

Saat ini, kalau kita memakai ukuran ekonomi yang baku, tingkat pendapatan per kapita Indonesia kurang lebih $3,500, hampir sama dengan Cina serta cukup jauh di atas India, tetapi masih sangat jauh di bawah rata-rata pendapatan minimal negara yang makmur, yaitu sekitar $25,000 per kapita, seperti Korea Selatan saat ini.

Kalau perekonomian kita bisa tumbuh konsisten 7% setiap tahun, maka dalam satu dekade tingkat pendapatan kita akan berlipat dua, menjadi $7,000, dan satu dekade setelahnya akan berlipat dua lagi. Jadi pada tahun 2032, Indonesia sudah di ambang batas negara yang makmur, dengan rata-rata pendapatan $14,000 per kapita. Pada saat itu, kalau terus tumbuh dan berupaya lebih keras lagi, maka bahkan sebelum berusia seabad, Indonesia sudah akan menembus batas pendapatan sebagai negara maju.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Dengan menegaskan bahwa jangkauan visioner Partai GOLKAR yang jauh ke depan itulah, kalau Partai GOLKAR menang pada Pemilu 2014, maka Partai GOLKAR adalah partai dengan sebuah tugas historis, sebuah mission sacre, sebuah misi suci: yaitu untuk mengawal Indonesia, menyiapkan fondasinya, sedemikian rupa sehingga sebelum berusia seabad, Indonesia sudah masuk dalam kelompok negara maju, mandiri, sebuah negara yang kuat dan terhormat; adil dan sejahtera; modern dan toleran; dengan kesempatan yang sama dan terbuka buat semua.

Saya yakin bahwa Indonesia, dalam kondisi dunia yang baru, justru memiliki kesempatan yang lebih terbuka lagi untuk semakin maju dan berkembang. Kemungkinan baru ini harus dimanfaatkan maksimal demi kepentingan kita, sekarang dan di masa depan.

Pada hemat saya, untuk mencapai semua itu, berbagai hal perlu disiapkan dan dipikirkan secara serius sejak sekarang. Salah satu isu terpenting di antaranya adalah kualitas pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Selain itu, perkembangan infrastruktur juga harus terus menjadi perhatian kita. Dengan kondisi sekarang, sulit dibayangkan bahwa jaringan jalan, listrik, pelabuhan, air bersih, dan semacamnya, akan sanggup memungkinkan pertumbuhan cepat dalam 10 tahun mendatang. Sekarang pun sudah terlihat tanda-tanda bahwa perkembangan kondisi infrastuktur kita tidak sanggup berpacu dengan kecepatan pertumbuhan 6 hingga 7 persen per tahun. Jika tidak dilakukan langkah-langkah drastis, maka ia akan menciptakan bottlenecks di mana-mana, yang tentu saja akan memperlambat langkah-langkah kita.

Partai GOLKAR harus menjadi pelopor, sekali lagi, menjadi pelopor dalam mencari jalan keluar dari permasalahan pelik ini, dengan melahirkan strategi anggaran yang lebih baik, lebih tepat sasaran, lebih pro-rakyat, tetapi sekaligus lebih mencerminkan asas-asas ekonomi yang produktif.

Selain itu, masih banyak lagi hal lainnya yang perlu kita lakukan. Penguatan ekonomi daerah, penciptaan kebijakan energi dan sumber daya alam yang menjamin kemandirian sekaligus pertumbuhan, sinergi segala kebijakan dan jaminan sosial dalam konsep negara kesejahteraan, fasilitas bagi UKM dan microfinance, program pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Rencana besar menuju seabad Indonesia serta percepatan kemajuan yang kita inginkan tidak mungkin tercapai hanya dengan langkah dan kebijakan ekonomi. Bahkan bisa dikatakan, bahwa langkah dan kebijakan ini adalah subordinat atau bergantung pada perjuangan kita dalam mempertahankan serta mengembangkan beberapa hal dengan lebih baik lagi.

Salah satu komponen terpenting untuk mempercepat pembangunan adalah stabilitas. Sekarang, konsep stabilitas ini harus kita lihat sebagai konsep yang dinamis di alam demokrasi. Untuk maju dan berkembang, sebuah bangsa membutuhkan ruang yang damai, kooperatif, dan harmonis, di mana rencana dan berbagai kegiatan dapat dilakukan tanpa konflik yang tajam. Anarki adalah resep bagi kehancuran, bukan jalan bagi kemajuan. Karena itu, Partai GOLKAR harus berdiri di garis terdepan untuk mengajak semua pihak agar menghindari anarki dan lawlessness, menghindari kegaduhan politik, menghindari intrik politik, pliticking dan semacamnya. Konsep yang menjadi dasar perjuangan kita adalah konsep pemerintahan yang kuat tetapi terbuka dan bertanggung jawab, a strong but open and responsible government.

Pemerintah dan negara juga harus kuat dalam menjaga integritas dan keutuhan wilayahnya. Karena itu, Indonesia harus memperhatikan dan membangun institusi pertahanan dan keamanan yang sesuai dengan luasnya wilayah kita, yang sesuai dengan kompleksnya masyarakat kita, serta dengan visi kita untuk memainkan peran aktif dalam pergaulan bangsa-bangsa. Tanpa menjadi negara yang ekspansif, Indonesia harus memiliki kelengkapan yang memadai sehingga kita menjadi negara terhormat yang disegani oleh kawan dan lawan.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

RAKORNIS Bidang Pemenangan Pemilu Partai GOLKAR, dengan demikian tidak semata-mata membahas hal-hal teknis pemenangan pemilu, tetapi juga sangat terkait dengan apa yang saya tegaskan di atas, yakni untuk memastikan visi ke depan Partai GOLKAR dalam mewujudkan cita-cita kemandirian bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Justeru di sinilah urgensi dan relevasinya tema Rakornis ini, Partai GOLKAR Menang, Rakyat SENANG.

Sebagai akhir pidato ini, sekali lagi, terima kasih saudara-saudara semua, atas kerja keras dan perjuangannya. Pastikan langkah maju untuk RAKYAT menuju kemenangan 2014. Saya bangga, memiliki jajaran kepengurusan partai sampai tingkat desa/kelurahan, yang pekerja keras, berdedikasi tinggi, pejuang untuk rakyat. Sekali lagi, saya bangga kepada saudara-saudara semua !

Ahirnya, dengan mengucap BISMILLAHIRAHMAANIRAHIIM, Rapat Koordinasi Teknis Bidang Pemenangan Pemilu Partai GOLKAR Wilayah Sulawesi, saya nyatakan dibuka. Semoga Allah SWT, Tuhan yang Maha esa, senantiasa meridhoi perjuangan kita semua mencapai kemenangan Pemilu 2014. Amien Ya Robbal Alamin.

Maju terus Partai GOLKAR… Maju terus Indonesia yang tercinta !

Wabillahitaufiq walhidayah

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Membangun Karakter dengan Karate

Untuk kesekian kali, saya kembali mengunjungi kampus Institut Teknologi Bandung, Jumat, 20 Januari 2012 lalu. Di kampus tempat saya kuliah itu, saya datang bukan untuk memberikan kualiah umum seperti yang saya lakukan sebelumnya, tapi untuk membuka Kejuaraan Nasional Karate “Bakrie Cup 2012”.

Pembukaan acara ini digelar di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB. Acara Jumat siang itu, juga dihadiri Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman, Ketua PB FORKI Lumban Sianipar, Wakil Gubernur Jawa Barat yang juga dikenal sebagai karateka yang suka membintangi film action, Dede Yusuf.

Ini adalah kejuaraan karate nasional khusus untuk mahasiswa. Tercatat sebanyak 122 perguruan tinggi, dengan sekitar 553 mahasiswa mengikuti kejuaraan beladiri ini. Kejuaraan ini bernama “Bakrie Cup” karena Kelompok Usaha Bakrie (Bakrie Group) berpartisipasi di dalamnya. Ini juga merupakan rangkaian acara perayaan ulang tahun Group Bakrie ke-70, serta bentuk kepedulian Bakrie pada olahraga nasional, khususnya karate.

Saya sendiri tidak asing dengan olahraga karate ini. Meski selama ini saya banyak dikenal dekat dengan olahraga tenis, namun sebenarnya sejak muda saya sangat lekat dengan karate. Sayakebetulan seorang karateka pemegang ban hitam. Saya mendalami olahraga ini sejak masih “kohai” alias siswa, sampai menjadi “sempai” atau pelatih.

Saya masih ingat, saat masih mahasiswa dulu, saya selalu membagi waktu dengan ketat setiap harinya. Untuk belajar, ibadah, jalan-jalan, dan tak lupa olahraga karate. Dulu saya latihan karate setiap pagi. Setiap subuh saya bangun lalu sholat. Nah setelah sholat, dengan udara segar di pagi hari inilah saya latihan karate.

Sambil kuliah, saya terus aktif menekuni dan mengembangkan olahraga karate. Khususnya di kalangan mahasiswa, saya merupakan salah satu perintis olahraga karate di kampus ITB. Saya bersyukur dan gembira, unit karate ITB sampai saat ini masih tetap berdiri dan masih aktif melakukan kegiatan.

Karena itu, saya setuju dan mendukung penuh kompetisi karate yang digelar khusus untuk mahasiswa ini. Sebab dengan kompetisi mereka akan lebih bersemangat menekuni olahraga ini. Dengan kompetisi yang akan dilaksanakan secara berkesinambungan, juga akan bisa menjadi sarana bagi para mahasiswa untuk mengukur prestasi.

Dari sini juga bisa dijaring bibit atlit-atlit nasional. Mahasiswa merupakan salah satu sumber bibit atlit yang layak diperhitungkan. Banyak sekali mahasiswa yang kemudian tumbuh jadi atlit berbakat dan berprestasi baik di tingkat nasional maupun dunia.

Di ajang SEA Games, karate juga menyumbang medali emas untuk Indonesia. Tercatat ada 10 medali emas disumbangkan cabang ini. Jika pembinaan olahraga ini terus dilakukan, maka bukan mustahil sumbangannya akan lebih banyak lagi. Pembinaan generasi muda seperti mahasiswa dan diadakan banyak turnamen itu salah satu kuncinya. Karena itu “Bakrie Cup” hadir.

Saya merasakan sendiri bahwa olahraga beladiri karate ini memiliki manfaat yang sangat besar, terutama untuk anak muda seperti para mahasiswa. Karate tidak saja menyehatkan badan, tapi juga membangun jiwa kompetitif dan sportifitas. Lebih dari itu, dia juga dapat menjadi sarana pembangunan karakter seseorang.

Dalam karate ada banyak filosofi yang bertujuan membangun karakter. Misalnya saja ada “rei” yang mengajarkan sikap saling menghormati, ada “muga” atau berkonsentrasi penuh, dan “shubaku” atau senantiasa berhati lembut. Selain itu, ada juga “tai no sen” yang mengajarkan karateka untuk selalu memiliki inisiatif, “keiko” yang mengajarkan untuk selalu rajin, dan sebagainya. Semua ini harus dilakukan untuk mencapai “do” atau jalan yang sebenarnya.

Dalam pencapaian “do” inilah, karakter karateka akan terbentuk dengan menjalankan berbagai ajaran tersebut. Seperti beladiri yang lainnya, dalam karate latihan jasmani dan rohani berjalan seimbang. Pembangunan karakter ini adalah hal terpenting dalam karate. Oleh karena itu tema “Karate Membangun Karakter” di kejuaraan ini sangat tepat.

Itu semua cocok dengan kondisi sekarang, di mana banyak kita saksikan kabar mahasiswa terlibat perkelahian dan tawuran di kampus. Coba mereka diarahkan ke olahraga beladiri ini, agresivitas mereka akan bisa diredam dan disalurkan ke hal yang positif, karakter mereka terbentuk, dan bahkan bisa berprestasi.

Karena sebenarnya karate ini dapat membentuk manusia Indonesia yang rendah hati, tetapi punya isi. Tangguh, teguh, dan konsisten dengan sikapnya. Karate juga membentuk jiwa kompetitif untuk meraih kemenangan. Namun di sisi lain juga menanamkan sikap sportif yang bisa menerima kekalahan. Saya akui, banyak karakter saya dalam kehidupan dan memimpin organisasi terbentuk oleh karate, terutama soal disiplin, tegas, berani, konsisten bersikap, kompetitif, dan lain sebagainya.

Para mahasiswa adalah generasi penerus bangsa. Merekalah yang kelak akan menjadi para pemimpin bangsa ini. Karena itu, karakter mereka harus dibentuk dengan baik. Karate akan membentuk karakter yang berani, pekerja keras, disiplin, kompetitif, sportif, namun tetap rendah hati. Ini adalah karakter yang sangat dibutuhkan untuk menjadi pemimpin.

Dalam kompetisi karate, menang atau kalah bukanlah tujuan utamanya, tapi pembangunan good character penting di sini. Karena itu, saya sangat berharap ajang Kejuaraan Karate Bakrie Cup 2012 yang bertema “Karate Membangun Karakter”, bisa mewujudkan hal itu.