Menangguk Untung dengan Budidaya Lobster
Akhir pekan lalu, Sabtu, 9 April 2011, saya pergi ke Desa Cogrek, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kali ini acaranya lebih santai yaitu menghadiri acara panen udang lobster. Panen lobster ini menarik bagi saya, sebab biasanya ketemu lobster di piring atau di restoran, namun kali ini saya melihat langsung di tempat pembudidayaannya.
Lobster yang saya penen itu hasil budidaya Kelompok Tani Mina Karya. Kelompok tani ini berjumlah sekitar 20 orang yang sukses membudidayakan lobster. Kelompok Tani Mina Karya selama ini dibina oleh Himpunan Pengusaha Kosgoro 1957, sebuah organisasi di bawah Partai Golkar.
Acara panen tersebut cukup meriah. Saya datang bersama tokoh Partai Golkar lainnya seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Ketua Himpunan Pengusaha Kosgoro 1957 Emil Abeng, Anggota Fraksi Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dan beberapa pengurus Golkar lainnya.
Saya dan undangan lainnya ikut langsung memanen lobster di area tambak seluas 600 meter persegi.Panen perdana ini menghasilkan sekitar 6.000 lobster. Lobster-lobster ini telah dibudidayakan sejak Oktober 2010 silam. Setelah memanen, saya juga ikut menebar 4.800 benih udang lobster air tawar di tempat yang sama.
Senang sekali rasanya bisa turut memanen sekaligus menebarkan benih lobster. Tapi yang lebih membuat saya senang adalah bahwa keluarga besar Partai Golkar, melalui Himpunan Pengusaha Kosgoro 1957, telah menunjukkan karya nyata untuk memberdayakan masyarakat. Ini sejalan dengan cita-cita Golkar untuk memberdayakan masyarakat dan melakukan pembangunan dari desa.
Budidaya lobster ini membuktikan bahwa langkah pemberdayaan masyarakat desa bisa dilakukan dengan sukses. Dengan lahan yang tidak luas, warga desa bisa menghasilkan lobster yang merupakan komoditas dengan nilai jual cukup tinggi, yakni berkisar Rp100 ribu per kilo. Satu kilo itu biasanya terdiri dari sepuluh sampai lima belas ekor lobster. Dari jumlah itu bisa dibayangkan keuntungannya jika dalam panen perdana tersebut dihasilkan 6.000 ekor.
Kelompok Tani Mina Karya mengaku tidak ada kendala teknis dalam pembudidayaan lobster ini. Kendala yang mereka keluhkan adalah masalah permodalan. Hal yang sama juga dikeluhkan petani tambak lain di luar kelompok tani di desa tersebut. Sebab, benihnya yang telah berukuran sekitar dua inci seharga Rp1.750. Biaya pemeliharaan lobster-lobster tersebut hingga mencapai masa panen, membutuhkan dana tidak sedikit. Demikian juga lahan yang mereka pakai untuk tambak itu pun masih berstatus sewa, yakni Rp8 juta per tahun.
Tetapi, masalah-masalah tersebut sudah cukup teratasi. Sebab, dalam kesempatan itu, Pak Fadel telah mengucurkan dana Rp1 miliar kepada sepuluh kelompok tani yang dianggap potensial. Pemerintah membantu Rp100 juta untuk satu kelompok tani yang dianggap punya potensi bagus. Pemerintah, kata Pak Fadel, sangat antusias membantu pengembangan usaha perikanan darat. Menurut Pak Fadel, program Minapolitan (wilayah perikanan) menuntut kerja ekstra keras dengan turun langsung ke daerah perdesaan.
Dalam acara itu, Pak Fadel menyampaikan informasi menarik bahwa pengembangan usaha perikanan darat juga merupakan bagian dari upaya melindungi nelayan atau petambak lokal. Sebab, kasus masuknya 200 kontainer ikan kembung ilegal dari Cina dan 5.000 ton dari Thailand beberapa waktu lalu sungguh menyengsarakan rakyat, terutama nelayan atau petambak lokal. Harga ikan kembung impor hanya Rp5.000 per kilo, sedangkan ikan dari nelayan lokal dijual Rp15.000. Sudah pasti, nelayan lokal bakal kalah bersaing.
Mengenai masalah permodalan ini, saya juga telah berkomunikasi dengan pimpinan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk mempermudah penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) kepada para petani lobster di desa tersebut. Alhamdulillah, Pak Direktur Utama BRI, Sofyan Basir, merespons dengan baik. Saya akan bertemu Beliau untuk membicarakan masalah penyaluran KUR itu.
Kepada masyarakat petani tambak yang hadir, saya tekankan betul agar dana bantuan pemerintah dan KUR tersebut nantinya bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya, tidak digunakan untuk hal-hal lain di luar bisnis perikanan ini. Saya katakan, dengan bercanda, bahwa satu lobster jantan bisa dikawinkan dengan lima betina, tapi, bapak-bapak para petambak di desa itu jangan menikah dengan lima wanita lagi. Dana bantuan pemerintah dan KUR tersebut juga jangan dipakai untuk kebutuhan yang tidak produktif. Misalnya beli mobil, rumah atau yang lainnya, melainkan hanya untuk mengembangkan budidaya lobster atau kegiatan usaha produktif lainnya.
Selain dukungan permodalan dari pemerintah atau pun lembaga perbankan, penting juga dilakukan adalah upaya meningkatkan kapasitas keterampilan para petambak tersebut. Mereka perlu dilatih menata-kelola organisasi kelompok tani yang baik sehingga benar-benar bisa menghasilkan manfaat yang maksimal. Misalnya pelatihan penyuluhan pemeliharaan lobster hingga pelatihan manajemen keuangan organisasi, atau manajemen pemasaran.
Usaha bersama seperti kelompok tani itu sesungguhnya sudah cukup untuk proses pemberdayaan. Tetapi, pengetahuan dan keterampilan tiap-tiap anggotanya tentu harus terus-menerus diperbarui dan ditingkatkan. Sebab, permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi di kemudian hari tentu tidak sama dengan sekarang atau di masa lalu.
Saya senang Himpunan Pengusaha Kosgoro 1957 telah menyiapkan rencana kerja sama dengan Farm Lobster Johanes Wijaya sebagai plasma dan inti. Kita harapkan kerja sama ini dapat terus berlangsung dan saling menguntungkan. Ini baru satu program. Banyak program pemberdayaan masyarakat desa lainnya yang selama ini juga dilakukan Partai Golkar. Jika semua elemen bangsa juga melakukan hal yang sama, saya yakin kesejahteraan masyarakat di negeri ini akan cepat meningkat.