Suara Pekerja, Suara Rakyat, Suara Golkar

Berita mengenai nasib mengenaskan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri belakangan ramai dibicarakan. Meski kisah ini bukan cerita baru, namun terus saja bermunculan kisah memilukan dari para TKI kita. Selain yang bekerja di luar negeri, nasib pekerja di dalam negeri juga tak kalah banyak permasalahannya–dari soal gaji, jaminan sosial, kesehatan, dan sebagainya.

Persoalan pekerja Indonesia bertambah kusut dengan perundang-undangan yang dinilai belum cukup membela hak-hak kaum pekerja. Saya ingat, beberapa waktu lalu datang ke tempat saya beberapa wakil serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Mereka datang bersama Ketua Koordinator Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi DPP Partai Golkar, Ali Wongso Sinaga.

Bersama mereka, kami lalu mendiskusikan berbagai persoalan ketenagakerjaan, salah satunya mengenai perubahan Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Kami melihat UU itu harus dibenahi supaya menjadi lebih baik lagi. UU tersebut disusun saat saya masih menjadi Ketua Umum Kadin tahun 2003. Saat itu, rancangannya dibahas bersama stakeholders ketenagakerjaan seperti serikat pekerja dan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Harus diakui, UU tersebut merupakan hasil kompromi, karena itu sudah waktunya disempurnakan. Saat ini tim untuk memperbaiki UU tentang Ketenagakerjaan sedang berjalan.

Saat menjadi Menko Kesra, saya juga menangani masalah ketenagakerjaan, meliputi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJN) dan Dewan Pengawas Jaminan Sosial (DPJS). Saat membahas DPJS ini juga ada perbedaan pandangan antara sejumlah menteri di bawah koordinasi Kesra, misalnya apakah Jamsostek, Jamkesmas, dan lain-lain, masuk kewenangan DPJS atau tidak.

Masalah ketenagakerjaan memang sangat banyak. Namun masalah Jaminan Sosial Nasional belakangan belum mendapat perhatian utama. Padahal, masalah ini sangat penting untuk kita bicarakan bersama dan dicarikan solusinya. Masalah ketenagakerjaan bukan hanya masalah jaminan sosial saja. Ada masalah lain yang tak kalah pentingnya, yaitu soal pendidikan tenaga kerja.

Dari data BPS, sekitar 50 persen tenaga kerja kita berpendidikan sekolah dasar. Ini tidak bisa kita biarkan. Pembangunan sumber daya manusia itu penting. Pembangunan hanya akan berhasil bila manusianya adalah manusia unggul. Ke depan, percaturan dunia tidak hanya berlangsung antar bangsa, tapi juga antar pribadi. Dengan SDM yang kurang berkualitas, kita akan sulit bersaing.

Pembangunan sejati adalah pembangunan manusia, bukan pembangunan ekonomi. Manusia harus menjadi tujuan pembangunan itu sendiri. Manusia bukan hanya subyek tapi juga obyek pembangunan. Tanpa memikirkan itu, kita tidak akan tahu makna pembangunan. Pembanguanan ekonomi hanyalah satu satu sarana-antara untuk pembangunan manusia.

Karena itu, Partai Golkar ingin mengambil bagian dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan ini. Sdr. Ali Wongso mengungkapkan dirinya sebagai wakil Golkar telah datang ke markas-markas serikat pekerja atau buruh dan berdialog dengan mereka. Mereka menanyakan apakah Golkar mau memperjuangkan aspirasi mereka? Jawabannya: tentu saja iya. Suara pekerja adalah suara rakyat, dan suara rakyat ini akan diperjuangkan Golkar.

Selain itu, hari Kamis kemarin, 25 November 2010, kami juga mengadakan Workshop Ketenagakerjaan. Workshop yang pertama kali dilakukan Partai Golkar ini dihadiri oleh wakil-wakil serikat pekerja, Apindo, mahasiswa, Jamsostek, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan stakeholders lainnya. Dari workshop ini diharapkan lahir berbagai pemikiran dan konsep yang mampu memecahkan masalah ketenagakerjaan.

Golkar sebagai the party of ideas akan memfasilitasi pemecahan masalah dengan cara bertukar gagasan atau ide. Kita akan membuat suatu solusi dan menyelesaikan masalah yang ada. Kita tidak akan memakai intrik politik untuk menyelesaikan masalah. Kita terbiasa berdiskusi dalam perbedaan pendapat dan mengadu ide, bukan adu kekuatan fisik. Kita pakai otak bukan otot. Kita duduk bersama dengan prinsip: hati boleh panas, kepala musti dingin.

Target yang diharapkan dari workshop adalah mendalami berbagai masalah aktual ketenagakerjaan, termasuk merumuskan pola hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Dengan demikian, bisa tercapai kelangsungan dunia usaha yang menguntungkan semua pihak, baik pekerja maupun pengusaha.

Hasil dari pembahasan ini akan kita sampaikan ke Fraksi Partai Golkar di DPR untuk diperjuangkan di parlemen. Jadi tidak semata hasil kajian saja, tapi juga ada tindak lanjutnya.

Nasib kaum buruh atau pekerja harus kita perhatikan. Menurut data BPS, saat ini ada 30,7 juta pekerja formal, sedangkan yang informal tentu bisa lebih banyak lagi, bisa lebih dari 40juta.

Partai Golkar harus mendengar suara para pekerja dan harus menjadikan dirinya sebagai partai kaum pekerja. Suara pekerja adalah suara rakyat dan karena itu adalah juga suara Golkar.

Golkar, Demokrat, dan Isu Reshuffle

Akhir-akhir ini isu politik kembali memanas. Isu reshuffle kabinet kembali berhembus. Terkait isu ini, kerap muncul komentar kader partai yang terkadang keras dan memicu perang statemen di media massa. Lalu, pro kontra pendapat itu ditafsirkan sebagai keretakan hubungan.

Untuk meluruskan persepsi ini, Kamis, 25 November kemarin, saya bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Sdr. Anas Urbaningrum. Kami bertemu dalam acara makan siang di sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta. Saya datang bersama Bendahara Umum yang juga Ketua Fraksi Partai Golkar, Setyo Novanto, dan Sekjen DPP Partai Golkar, Idrus Marham. Sedangkan Sdr. Anas didampingi Jafar Hafsah dan Syarief Hassan. Saya tiba di lokasi lebih awal, baru disusul Sdr. Anas Urbaningrum.

Di sana rupanya para wartawan sudah banyak menunggu lalu bertanya mengenai pertemuan itu. Mereka menilai pertemuan ini menarik dan penting karena merupakan pertemuan dua partai besar. Kepada para wartawan, saya katakan bahwa hubungan Golkar dan Demokrat baik-baik saja. Tidak ada keretakan di antara dua partai. Kalau pun ada kader Demokrat yang mengeluarkan komentar miring soal Golkar, saya katakan saja bahwa Demokrat itu Ketua Umumnya Sdr. Anas Urbaningrum, bukan yang lain.

Pertemuan dengan Sdr. Anas tentu bukan yang pertama. Golkar dan Demokrat sebagai partai koalisi sering bertemu. Seperti pertemuan sebelum-sebelumnya, tidak ada agenda khusus dalam pertemuan rutin. Pembicaraan rutin saja, soal koalisi. Tidak hanya ketua umum, kader kedua partai baik di lembaga legislatif maupun eksekutif juga sering bertemu.

Pertemuan semacam ini tidak hanya antara Golkar dan Demokrat saja, tapi juga anggota koalisi lain seperti PAN, PKS, PKB, PPP, dan sebagainya.

Dalam pertemuan itu, kami bicarakan bagaimana strategi untuk menjaga agar pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik. Sebagai partai koalisi pendukung pemerintah, yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab), kami harus memastikan hal itu. Kami harus menjaga kestabilan politik. Jika politik stabil, maka pemerintah akan tenang bekerja dan pembangunan untuk rakyat akan berjalan lancar.

Bagaimana dengan dinamika politik yang selama ini terjadi?

Hal itu wajar saja dalam relasi politik. Dinamika politik pasti ada. Dalam koalisi, beda pendapat itu biasa. Apalagi jika tidak menyangkut masalah strategis. Golkar pun kerap mengkritisi kebijakan pemerintah dan kritiknya tentu konstruktif.

Mengenai reshuffle kabinet, kami tidak membicarakan hal itu. Sebab masalah ini bukan wilayah partai, namun merupakan hak prerogratif presiden. Terkait isu bahwa Presiden SBY akan mengganti kader Golkar, sebagai Ketua Umum Partai Golkar saya tidak mempermasalahkannya. Jika Presiden menilai kader Golkar di kabinet saat ini kurang memuaskan, kami siap memberikan kader yang lebih baik lagi.

Lalu ada juga yang menanyakan bagaimana jika partai di luar koalisi seperti PDI Perjuangan masuk kabinet?

Saya katakan bahwa hal itu merupakan kewenangan Presiden. Jika PDI Perjuangan masuk, silakan saja. Jika perlu, semua masuk koalisi. Yang terpenting, kabinet ini diisi orang-orang terbaik bagi Bangsa.

Pada prinsipnya, Partai Golkar ingin pemerintahan ini kuat dan berhasil. Kami juga ingin memastikan pemerintahan ini dapat menjalankan tugasnya sampai 2014 nanti. Jangan sampai pemerintah dihentikan di tengan jalan. Biarkan pemerintahan bekerja untuk rakyat. Golkar, Demokrat dan partai pendukung lainnya akan menjaga dan memastikan hal itu.

Soal Bakrie Center, Gayus, Sampai 2014

Pekan lalu, Rabu sampai Jumat, 17-19 November 2010, saya dan keluarga besar Bakrie berkunjung ke Singapura. Di sana kami menghadiri acara yang diselenggarakan Bakrie Center Foundation (BCF) bekerjasama dengan S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (RSIS-NTU). Yaitu peluncuran pusat kajian strategis atau think thank Bakrie Professorship for Southeast Asian Policies dan program beasiswa Bakrie Graduate Fellowship di RSIS-NTU.

Peluncuran pusat kajian strategis atau think thank ini bukan yang pertama. Sebelumnya kami sudah meluncurkan pusat kajian Bakrie Chair for Southeast Asian Studies bekerjasama dengan think thank terkemuka AS, Carnegie Endowment for International Peace di Washington DC, AS. Di tempat yang sama BCF juga menjalin kerjasama beasiswa pascasarjana dengan Stanford University.

Selain acara BCF, saya di Singapura juga punya acara yang difasilitasi RSIS-NTU. Saya didaulat memberikan kuliah umum atau public lecture. Saya di sana memberikan ceramah dengan judul “The World in Indonesia, Indonesia in The World”, yang naskahnya sudah saya post di blog ini.

Di sela-sela acara tersebut, saya dan keluarga Bakrie juga diundang menghadiri serangkaian pertemuandengan pemimpin Singapura, mulai dari sejumlah menteri, Presiden , Perdana Menteri Lee Hsien Loong, dan Menteri Senior Goh Chok Tong. Selain itu, saya juga menyempatkan berbincang santai dengan para wartawan senior dari Indonesia yang ikut dalam rombongan saya ke Singapura—antara lain dari Kompas, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos, SCTV, Republika, dan banyak lainnya.

Dalam pembicaraan yang informal dan akrab itu, saya mempersilakan wartawan untuk bertanya apa saja, termasuk isu-isu yang terkait dengan saya dan Partai Golkar. Melalui blog ini saya ingin membagi intisari perbincangan kami itu. Siapa tahu bisa jadi referensi bagi yang lain. Intisarinya sebagai berikut:

Soal capres, Golkar apa tidak takut telat sebagaimana Jusuf Kalla dulu kalah karena dinilai telat maju sehingga tidak tidak cukup waktu?

Kami perhatikan itu. Kami akan memunculkan figur capres sekitar 2013. Mungkin awal 2013 kita akan survei siapa yang paling populer untuk dicapreskan. Tidak harus ketua umum yang jadi calon presiden, bisa saja orang lain di Partai Golkar atau orang di luar Partai Golkar. Yang terpenting, yang terbaik bagi bangsa. Tapi Partai Golkar sendiri harus menang. Ini harus.

Tahun 2013 apa tidak terlalu lama?

Tahun 2013 masih sekitar dua tahun lagi, masih banyak waktu. Mungkin bisa cepat juga, pada 2012 akhir kita sudah lakukan. Tapi kalau saat ini belum waktunya. Saya katakan saat Rapimnas, kalau sekarang waktunya belum tepat. Sekarang ini fokus kita adalah membesarkan partai.

Apa yang membuat Anda yakin Golkar akan menang?

Infrastruktur Golkar itu kuat, ditambah sekarang ada semangat yang besar. Kaderisasi sudah kamilaksanakan sampai desa. Konsolidasi juga sudah. Selain itu saat ini kita menjadikan Golkar the party of ideas, partai tempat mencari ide untuk pembangunan bangsa, tempat melahirkan ide-ide untuk memecahkan masalah. Kita juga berkomitmen melaksanakan slogan “Suara Golkar, Suara Rakyat”.Diharapkan, partai ini makin dicintai rakyat.

Kader Golkar sendiri sekarang ini persisnya berapa?

Kami belum tahu jumlah persisnya, maka akan kita data dengan membuat kartu tanda anggota (KTA) baru. Semua organisasi modern memang harus tahu data anggotanya. Makanya kita akan susun kembali, 2011 harus sudah ketahuan by name, by address. Selain itu, di KTA yang baru nanti juga menarik, karena ada asuransi jiwanya sehingga bisa ditanggung jika meninggal atau kecelakaan. Sekarang di daerah-daerah sudah mulai dicetak.

Apakah Golkar juga mengincar suara anak-anak muda perkotaan yang kritis dan bergaul di dunia maya seperti, Facebook, Twitter, dan lain-lain?

Sudah. Kami sudah bikin program yang disesuaikan dengan mereka. Untuk mereka selalu kita buat program khusus. Programnya tentu disesuaikan dengan ciri anak muda dan menyentuh apa yang disukai mereka. Tapi kami tidak hanya membuat program untuk mereka saja. Kami juga membuat program untuk anak muda di pedesaan. Jangan lupa, anak perkotaan yang terdidik itu hanya 4,5 persen saja. Mayoritas masih SMA ke bawah. Maka, Golkar tidak hanya membuat konsep untuk yang 4,5 persen saja tapi jugauntuk yang lainnya. Untuk yang di pedesaan tentu kami tawarkan pendekatan untuk menyelesaikan persoalan mereka seperti masalah infrastruktur atau kesempatan kerja. Namun, anak muda yang melek dunia maya tetap penting. Saya yakin anak muda yang akan pakai Internet di tahun 2014 nanti ada sekitar14 juta orang. Jadi, sangat penting. Tapi, yang jelas kami akan membuat program yang fokus pada kesejahteraan rakyat.

Anda dan keluarga Bakrie terus diserang. Padahal banyak juga Anda dan keluarga berbuat kebaikan?

Itu biasa. Semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya.

Saat ini Anda sedang diserang isu pertemuan dengan terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Pertemuan itu benar ada?

Itulah hebatnya orang, bisa bikin masalah yang tidak ada menjadi ada. Pers juga ikut memberitakan kebohongan itu. Ada isu sensasional diikuti, dan lalu menjadi intrik politik. Saya sebetulnya semula memilih untuk tidak berkomentar soal masalah itu, karena intrik politik itu sesuatu yang tidak produktif.

Jadi apakah ada pertemuan di Bali seperti yang dituduhkan?

Tidak ada. Saya tidak tahu siapa yang menyuruh Gayus ke sana. Saya tidak tahu. Kalau ditanya apa saya ke Bali? Saya memang ke sana, tapi tidak bertemu dia. Mukanya saja saya tidak kenal, tampangnya seperti apa saya nggak kenal. Begitu ada isu ini, dia muncul di mana-mana, baru saya tahu. Ini pasti ada kaitan dengan 2014. Pada saat masalah Century sedang hangat, yang dimunculkan Gayus. Sekarang, sedang ada masalah Krakatau Steel, juga dimunculkan isu Gayus. Apa ada kaitannya? Saya tidak tahu. Yang jelas dia ada di sana itu pencorengan hukum. Ini intrik politik menggunakan hukum. Kok dia ada di sana nontontenis, lalu dikaitkan dengan saya. Ini ada apa?

Siapa mastermind di balik ini?

Polisi harus bongkar ini siapa. Saya serahkan kepada polisi. Kenapa dia bisa ke Bali? Kalau kita kaitkan apakah ada mastermind-nya, saya tidak tahu. Cuma terlalu terlalu banyak kebetulannya. Saya datang bersama 10 pemain tenis seperti Yustedjo Tarik, dan teman-teman main tenis saya lainnya. Saya nggaktahu soal Gayus nonton. Barang kali dia suka tenis.

Dia mengaku suka golf.

Nah, kalau dia nggak suka tenis jadi ada kebetulan yang terlalu banyak. Ini siapa? Maunya apa? Kalau sebagai politisi saya katakan ini karena Golkar menang pilkada di mana-mana, sudah 53 persen. Ini besar sekali. Saya biasa diserang, makin tinggi pohon, makin banyak angin. Sekarang saya lihat juga semakin banyak yang berpendapat pertemuan saya dan Gayus nggak masuk akal. Tetapi sebagai kasus hukum, polisi harus buka seterang terangnya.

Jika nama Anda nanti muncul di survei capres, apa Anda akan maju?

Saya tidak mau berandai-andai. Lihat nanti saja. Soal serangan pada saya, saya sempat berfikir, kalau sayabukan pengusaha, kalau saya bukan politisi, mungkin serangan tak akan sebesar ini. Soal pajak, misalnya.Sudah ada keputusan hukum, tetap saja saya diserang. Soal lumpur Sidoarjo juga begitu. Hanya saya yang diserang, pemilik saham lain tidak. Padahal, secara hukum sudah jelas. Pers juga sudah tahu ini, tetapi tetap saja saya dan keluarga diserang. Di Sidoarjo kami sudah membeli tanah senilai 25 kali dari hargayang semestinya, tapi itu tak diapresiasi sebagai kebaikan, tapi terus dianggap kesalahan. Padahal, kamitidak bersalah secara hukum. Serangan pasti selalu ada dan pasti besar. Tapi, saya percaya sekalikebenaran suatu saat akan datang pada orang yang benar, dan saya percaya Allah akan memihak pada yang benar.

Kenapa Saya Mengadu ke Dewan Pers

Hari ini, Rabu 24 November 2010, melalui kuasa hukum, saya melaporkan sejumlah media ke Dewan Pers. Pengaduan yang saya sampaikan ini terkait berita bohong, yaitu adanya pertemuan antara saya dengan Gayus Tambunan di Bali.

Berikut dokumen pengaduan lengkap saya ke Dewan Pers.

The World in Indonesia, Indonesia in The World

ARB_2010111802

Public Lecture Singapore, 18 November 2010

Provost Professor Bertil Andersson, Dean Barry Desker

Excellencies Distinguished Guests Ladies and Gentlemen

Good afternoon. It is a great honour to be here in Singapore to deliver a public lecture to such a distinguished audience. Singapore is so much of a second home to me that I do not really feel like a foreigner here. The problem in Singapore is never in arriving: It is in leaving.

It is my pleasure to say that, this time, I will be leaving behind a token of my family’s appreciation of Singapore’s position as a regional hub of scholarship. This morning, the Bakrie Center Foundation has endowed, with a matching grant from the Singapore Government, a professorial Chair in Southeast Asian policy at the Rajaratnam School of International Studies at Nanyang Technological University. The Chair will provide insights into development in Southeast Asia that lend themselves to policy formulation and policy implementation.

Today, however, I am billed to speak about my own country. But first let me express my admiration for Singapore and for the leaders of this great country, particularly Mr. Lee Kuan Yew. I remember Professor Henry Kissinger once said that Lee Kuan Yew was a great leader in a small country, and he could be greater still in a bigger country.

I agree with Prof. Kissinger about Mr. Lee, but Singapore was never a small country. In the modern world, size and numbers do not really matter. It is the quality of the people – their mind and their spirit, their determination and their willingness to sacrifice for the future, their loyalty to the nation and their dedication to the cause of progress: these are all that matter. And therefore, in my eyes, Singapore is a big and a great country. It is a story of how, in only one generation, a poor, multicultural society managed to break the chain of poverty and backwardness. Singapore, in short, is a story of success, one of the greatest wonders of the 20th century. I am proud of my country and a strong believer in its bright future. But I have to admit that Indonesia has a lot to learn from Singapore.

Distinguished guests

Ladies and gentlemen

Let me begin by explaining my own view about Indonesian history before talking about the state of contemporary Indonesia, its future and its role in the world. My favourite point of departure in explaining Indonesian history is globalization. Globalization is old stuff, starting in mid-17th century in Maluku islands, also known as the spices islands. Nutmegs and cloves, which could only grow there, were among the first mass products of world trade, which were the reason why great explorers, traders, and conquerors from Europe, mainly the Portugese, the Dutch, and the British, risked years of hazardous sea journeys competing to reach and control the islands.

In the 17th and 18th century time-scale, Maluku was very far away, located on the eastern most corner of the Indonesian archipelago, about 3,000 km from Singapore, or about 2,500 km from Jakarta. It was therefore an imperative of logistics and security of the supply line that whoever controlled Maluku had to control also the port and build outposts on the sea-line stretching from Ambon, Makassar, Surabaya, Jakarta, Malacca, and beyond. It was this network of ports and outposts that connected the islands in Maluku with Amsterdam, London and Lisbon, the great European cities whose traders, financiers, sailors and shipbuilders were the most responsible in creating early global capitalism.

So for about 3 centuries the archipelago became the major theater of world trade, wars, imperial politics, and subjugation, which ushered the era of colonialism in the Indonesian archipelago, a story that was also familiar with the people of Singapore.

Colonialism had many faces, some were bloody, cruel, and tragic, but some were uplifting and progressive. The Dutch introduced modern education and modern technology, and it was Raffles (yes, Sir Thomas Stamford Raffles, the brilliant, tragic hero, founder of Singapore), who implemented for the first time the methods and elements of modern government in Indonesia.

Raffles was a true example of a devoted, multi-talented reformer. He abolished slavery, created a modern civil servant, founded a national garden, advanced the science of botany and wrote an influential book about the history of Java. He did all this with great personal sacrifice: his wife, Olivia, died in Bogor, while three of his four children died in Bengkulu. But despite all this, the British imperial government did not seem to appreciate what he did. He was accused of mismanaging the public money, and were therefore forced to pay mounting debts. In the end, he died at the age of 45 a broken and indebted man. He might not be highly appreciated in his own country, but for us Indonesians, and for Singaporeans as well, Raffles was a gift of colonialism, however ironic that might be, whose influences can still be seen even today.

There were several more progressive aspects we can talk about, but it is sufficient to say at this point that the biggest by-product of colonialism, mostly unintended by the Dutch and Japanese conquerors, was the emergence of modern nationhood, the shared feeling among many different people that they were treated unjustly by the same foreign master.

The old kingdoms of Java, Sumatra and Sulawesi could not provide the answer to the most important question of the day. The people looked for something new, something more profound which could bring them together as an antithesis of the colonial master.

It was this new, shared feeling of nationhood that created Indonesia. The Javanese, the Sundanese, the Buginese, the Batak, the Balinese and many others: In the dawn of the 20th century they began to feel that they were one nation. And once the new nationhood was consolidated, the rest was history – a story shared by many other emerging nations in Asia and Africa; a familiar history of the struggle for independence with heroic and larger-than-life political figures, like Soekarno, Nehru, Gandhi, Nasser, and Nyerere.

What was unique about Indonesia was its size and complexity. The fourth most populous nation on earth, with a geographical span of about 5,200 km from East to West (or about the distance from Baghdad to London) with thousands of islands, languages, and ethnic groups, plus major religions like Budhism, Hinduism, Islam, Christianity and many local and traditional beliefs. On top of that, the country had sizeable numbers of Arabs, Tamils, Gujaratis, Pakistanis, and Chinese, whose forebears came to the archipelago centuries ago.

Fortunately for us, our founding fathers made wise and thoughtful compromises in creating the foundations of modern Indonesia. They adopted a language not from the largest ethnic group, the Javanese, but from a relatively small ethnic group, the Malay in Sumatra, which became our only national language, Bahasa Indonesia.

This was an act of brilliant statesmanship, a historic decision which had been the strongest unifying force in our country. Moreover, the founders also proclaimed that the working principles of our nation was Bhineka Tunggal Ika, or unity in diversity, with its basic philosophy of Pancasila, which integrated nicely the ideas of religiosity, tolerance, freedom, humanity and justice into one organic unity. These principles were simple, but they tied us together and gave us a sense of common purpose, a direction as to where our journey as a nation should lead to.

All of this was our sacred heritage. It is the basis of our being as a country and as a people. From time to time there had been conflicts and crises within our country, fightings among ourselves, but in the end we always found ways to compromise, to make peace and moved on, refreshing once again the sacred principles we inherited from our founders.

Distinguished guests

Ladies and gentlemen

From our days of independence in 1945, our story has been a story of ups and downs, of crises and renewal, of despair and hope. Soekarno, the proclamator of our independence, was the greatest of our hero. With his inspiring speeches, he united the country and nurtured our new nation. He gave the newly independent Indonesia a new vision and a sense of pride. At the peak of his time as our first president, which coincided with the beginning of the Cold War, Soekarno became the personification of Indonesia’s emergence as one of the major players in the Non-Aligned Nations, particularly in Asia and Africa.

All great men, however, make great mistakes. His biggest mistake was that he gave only a very vague and wrong ideas of how to build a modern economy. He once said that building the economy was only a child play, not a business of great statesmen. Like many countries in Asia and Africa, he followed the Soviet-style development, adjusted to Soekarno’s flavor and Indonesian context.

The result was an economic disaster, which interplayed with the political dynamics of the day, centered around simultaneous and multilayered competitions between the majority of the people, supported by the military, vs the communists and between the Islamic parties vs the secular parties. Hence, in the early 1960s, Indonesia was on the brink of a civil war, with a bankrupt economy.

When Soekarno could no longer controlled the situation, the military moved in, led by a young, handsome, low-profile, smiling General Soeharto. After purging the communists — one of the saddest and bloodiest events in our history — Soeharto gradually gained the upper hand and, supported by the majority of the people, established the New Order regime.

With Soeharto as the new leader, Indonesia began a new chapter. Soeharto’s objectives were simple but clear: Political stability and economic development. No more fiery and colorful rhetorics. No more revolutionary passion. Instead, with iron fists, Soeharto coldly and systematically strengthened the central government, controlled the political parties, and supported the technocrats to open the market and to plan for major development programs.

In many ways, Soeharto was successful. He emerged as one of the strongest and most admired leaders in Asia, a respected and proud counterpart of Lee Kuan Yew and Mahathir Mohamad. With stable politics, the Indonesian economy enjoyed a long period of high growth, about 7 to 8 percent annually for about 2 consecutive decades. China and India are now the darling of the world and investment houses. But in the 1970s and 1980s, these two giants were still the basket cases of economic failure. It was Indonesia, Singapore and other East and South East Asian countries who made the news and impressed the world.

Under Soeharto’s rule, 50 millions people were uplifted from absolute poverty. Thousands modern schools, hospitals and infrastructures were built, and a new middle class was born. Such scale of rapid economic progress had never happened before in our history. With these achievements, Indonesia, along with other successful Asean countries, were considered Asia’s little dragons, the emerging countries whose impressive growth would soon enabled them to catch up with Japan and the West.

But it turned out that things were not that easy. By the early 1990s, Soeharto was already in his third decade in power. Nobody can win the fight against time. Soeharto’s biggest mistake was that he stayed in power (32 years to be precise) much longer than it was humanly possible and politically necessary. Gradually he began to lost his touch, his feel, and worse, his determination to succeed. So, when the Financial Crisis of 1997 struck the world economy like a dark typhoon, Indonesia was hit hard.

The people were confused, panic and angry. Soeharto did not really know how best to respond. He appeared in public still dignified as an old president, but the painful economic downturn, followed by the student protests and the cries for him to step down, was too much for him to handle. Thus began the era of reformasi and democracy, a new era that is still going on today, which I hope will stay for many years to come.

Ladies and gentlemen

Distinguished guests

So here we are at the state of contemporary Indonesia. I am sorry I have taken a bit of detour in history, but I think it is important for our friends in Singapore to know us better, by understanding our national journey from early on. By knowing the past, we can better understand the present and the future.

Now, about the present, let me begin by what President Barack Obama said when he visited our country last week. In his beautiful and moving speech at Universitas Indonesia, before at least 6,000 audience, mostly students and Jakarta’s young leaders, the US President expressed his admiration for Indonesia’s flourishing democracy and freedom. He was also deeply impressed by our religiosity, combined with our gentle and tolerant predispositions. As someone who spent 4 years of boyhood in Jakarta, he said he had great optimism about our future and our democracy.

President Obama captured the essence of our time since the fall of Soeharto in 1998. But we have to bear in mind, the journey to democracy had never been easy. In the first year or two, the birth of freedom was followed by messy and confusing signs. It fed euphoria, and sometimes anarchy and bloody conflicts, particularly in areas where there were preexisting historical competitions between religions or ethnic groups, like Sampit, Ambon and Poso. Jakarta was also torn apart for several days by anti-Chinese riots. The army and the police were discredited, the central and regional governments were uncertain to exercise their authority to impose order.

Nobody was in charge. Everybody was afraid to take responsibilty. To use the historical example from the French Revolution, the short period after the fall of Soeharto was the reign of terror, inflicted not by particular state agencies, but by our own worst self, by our own weak and dark angels. It was the time when thousands of middle class Indonesians, particularly of Chinese origin, went away to find shelter in Singapore.

Fortunately, it was short. Gradually the government and the people found the way to strike a healthy balance between freedom and order, between authority and democracy. Of course, even today we are still working that out. It may take one full generation before the true character of our democracy is consolidated and becomes relatively permanent. But there is no doubt that we are moving on, learning by doing the best way, under limited circumstances, to conduct a responsible, open, and accountable exercise of power.

Indonesia has now experienced the coming and going of four different presidents and governments in the last 12 years. But the circulation of elites, the transfers of power, the exercise of the people’s will through open elections, have been mostly peaceful and orderly. A wide concensus has now emerged that we can no longer turn the clock back. We have understood that the imperfection of democracy is not an invitation to tyranny and blind power – instead, it is a challenge to try harder, to strike a balance, to compromise with the guidance of common sense and respect to each other.

We are proud that we have taken the chances. Now we are the third biggest democracy in the world. As President Obama and others understand very well, the people of Indonesia have shown the world that Islam and democracy can coexist peacefully. We have given an example of how a large country with more than 240 million people, with a diverse, multi-ethnic society and a relatively less developed economy survived against all odds, widening the room for liberty, reforming the government, fighting against bigotry and extremism, devolving the power of the central government to the regions, and many more.

Of course, there are many other things we have to do in the future. Corruption and incompetency of the bureaucracy are major challenges. The justice system, the police, the quality of our teachers and nurses, the quality of our basic public services: These are all difficult problems. We have to deal with them with skill, determination, and patient, like a mountain climber in his search for the path to the cloudy peak.

But however difficult, I strongly believe that Indonesia will succeed in the coming years. A healthy democratic foundation has been established. We have become more mature as a nation. Given enough time and opportunities, Indonesia will emerge as a strong, proud, friendly country to its neighbors in the region, and to the world.

Distinguished guests

Ladies and gentlemen

Now, let me take your time for several minutes to talk about the economy. Democracy and freedom, in the context of our country, cannot survive for long in a stagnant or deteriorating economy. Money is not everything, but democracy will be much easier to manage if the people feel that their job opportunities are expanding and they can send their kids to better schools. It is therefore a general rule in politics that democracy and economic growth usually need each other.

Fortunately for us in Indonesia, four different governments in the last 12 years — one of which I am proud to admit that I had the opportunity to serve as the coodinating minister for the economy and also for the people’s welfare – have basically practiced prudent and relatively sound economic policies. Each had their own style and emphasis (Habibie, Gus Dur, Megawati and SBY), but the substance was almost the same: coping with the aftermath of the financial crisis, reforming the banking sector, keeping the macroeconomy stable, managing the debt below a certain level of GDP, improving social safety nets for the poor, and many other programs, big and small.

Policy continuation and stability were among the reasons why the Indonesian economy is now a relatively healthy one, with growth predicted to be around 6.2 to 6.4 percents next year, increasing to 8 percent in 2014. The foundations are now better. When the 2008 global financial crisis struck, which created havoc in many countries, Indonesia was relatively left untouched (compare this to the 14 percent contraction of GDP in 1998).

So we are now standing on a better ground. Domestic consumptions are rising, local banks are free of crippling debts, the stock market has been performing very well (much better compared to many other countries in the region), exports and investments are respectable. As the result of all this, Indonesia’s per capita income improved significantly, from USD 2,000 in 2004 to about USD 3,000 now. Because of this success, some high-profile investment houses, like Morgan Stanley, have suggested recently the possibility for Indonesia to be included to the BRIC club, along with Brazil, India, and China. It would certainly be nice to us if BRIC becomes BRIIC, with two “I”s.

Now, by saying all that, I am not implying that everything is all well. Anybody who has visited Jakarta recently will understand this. The road traffic has become impossible, the power supply unstable, and Cengkareng International Airport is deteriorating. It is a clear sign that the development of our infrastructures has not been keeping up. This problem is creating bottlenecks everywhere in the country, in almost every big cities.

So the government has to take major initiatives, by inviting the private sectors to participate. And for this, the biggest issue is legal certainty and the ability of the government to implement the law, especially in land and property acquisition for eminent domain. Our records here are not so good: Most of the toll road projects are now being postponed simply because we do not have the determination to proceed, forcefully if necessary, to implement the law.

Apart from this problem, we are also facing the issues of job and poverty. We need at least 7 percent growth per year to fully absorb our expanding work force. So far, some policies, like the well-known PNPM (the national socio-economic empowerment programs), has been quite successful in providing jobs and projects to the district and village level, covering a significant number of people with relatively little public money. But we need more programs of this nature, providing security for our people at the grassroot level.

Our fiscal policy needs to be more aggressive in its spending, provided that the purpose and the target are well and clearly defined. Deficit spending, under the current conditions, is necessary to help the economy going.

Of all the economic challenges we are facing, perhaps among the trickiest ones is the question of how to define the proper role of the government in the economy. It is dynamic and constantly evolving. But sooner or later we have to come up with a better formulation, a working and productive relationship between the public and the private, between the government and the market. We need smart government interventions as well as efficient private sectors.

Apart from that, we also have to strike a healthy balance between the government and the parliament in governing our economy. Sometimes the line of responsibility between the executive and the legislature is blurred, which creates big uncertainties for all economic actors. This need to be settled well: The government should be able to execute its programs, and the legislature should be able to play constructive role in exercising its legitimate power.

Distinguised guests

Ladies and gentlemen

Those are all big stuff, the economic problems and challenges. I know they are not easy. But the structure of our economic governance is of the utmost importance: It is what enables Indonesia to become more competitive in the global economy and to achieve higher-quality growth. Without solving these problems at the structural level, our economy cannot achieve its true potentials.

Again, from my experience both in the private and public sector, I know that my country has a lot of promises. Sometimes we forget about this and we are busy squabling with ourselves. But overall I am optimistic that we are all going to be fine.

Indonesia in the future will grow stronger, both as an economic power house or as a democratic nation. A more self-confident Indonesia is a friendly force to the region and the world. Especially for our neighbor like Singapore, a stronger Indonesia means a more reliable friend, a more dependable brother, as well as an expanding market and a potentially huge customer.

Asia now is a place of wonder. With the rise of China and India, the dragon and the tiger, people the world over are now rising many questions. I, for one, do not see the rise of the two giants as a threat. I see them as almost boundless possibilities. If Indonesia can pull it off and close the gap, it means that about three billion people, or half of world population, are rapidly advancing, doubling their income every 6 or 7 years.

This may happen in the near future. And if it is, we have a very good reason to rejoice. One generation ago our region was a theater of proxy wars among major powers during the most intense periods of the Cold War. Now it is an economic power house, a region where smart investors from around the world are looking for a place to make some profits, a region where better schools and universities are expanding the mind of millions of our young generation, a place where tomorrow is always better than yesterday.

However, this great possibility will also be affected by the dynamics of international politics. Here, the role of the US and Japan are also of the utmost important. We need to remember that the most important aspects are balance of power and national interests. Therefore, we need also to embrace them as our partners. The US in particular has many roles: major economic and technological power, with second to none in its military capabilities. So, as emerging economic countries, we have to play our cards well, playing the game of power balancing and pursuing our own national and regional interests.

There is one thing we have to remember also that our international trade system is being threatened by the failure in resolving WTO agreement. Moreover, the currency problems and currency wars are now the topic of the day. China and the US in particular are in disharmony. We should resolve these problems sooner rather than later, because they can become a threat to world economic order, and in the end, to world peace.

Finally, let me conclude this lecture by thanking all of you, especially the Nanyang Technological University. I enjoy being here with you and I am deeply thankful for the opportunity given to me and my family to make a small contribution for the advancement of learning in this great university.

Thank you.

Perempuan Kuat, Negara Tegak

Beberapa waktu lalu, saya terbang ke Surabaya. Saya ke sana untuk menghadiri pembukaan Muktamar ke-6 Al Hidayah, salah satu ormas Partai Golkar yang telah berusia 31 tahun.

Ormas ini punya peranan penting bagi Golkar, karena menjadi ujung tombak interaksi partai dengan kaum perempuan. Al Hidayah memang didirikan untuk mewadahi kaum perempuan, dan melakukan upaya-upaya pemberdayaan perempuan Indonesia.

Bagi Golkar, peran perempuan sangatlah penting dan strategis. Bukan hanya karena kenyataan jumlah kaum perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, tetapi juga potensi kaum perempuan yang sangat besar.

Apalagi kita tahu bahwa kaum perempuan, atau ibu, dapat menentukan corak dan mutu generasi yang akan datang. Tak terhitung berapa banyak orang yang sukses karena mereka dekat dengan ibunya. Saya yakin itu, karena itu juga pengalaman saya sendiri.

Ibulah yang paling efektif dalam mendidik anak-anaknya, sehingga menjadi anak-anak beriman, berakhlak mulia, cerdas dan berkarakter serta memiliki rasa percaya diri, dan mampu membawa kemajuan bangsa.

Tidak heran jika dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada suatu hari, seorang sahabat bertanya pada Rasulullah: “Wahai, Rasulullah, siapa orang pertama yang harus aku taati dan paling aku muliakan?” Rasulllah menjawab: “Ibumu.” Sahabat bertanya lagi: “Setelah itu, siapa lagi, wahai, Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” Sahabat bertanya lagi: “Setelah itu, siapa lagi, wahai, Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” “Setelah itu,” kata Rasulullah, “Bapakmu.”

Begitu pentingnya posisi perempuan, sampai-sampai dikatakan lagi oleh Rasulullah dalam Hadits lainnya bahwa “Perempuan adalah tiang negara.” Jika perempuan-perempuan di satu negara, kuat dan baik, maka akan tegaklah negara itu. Jika perempuan-perempuan di satu negara, lemah dan buruk, maka hancurlah negara itu.

Ini semua menunjukkan pada kita bahwa dalam ajaran Islam pun perempuan dinilai memiliki peran yang sangat besar dalam nation and character building. Maka,tidak berlebihan jika saya katakan bahwa gengsi, prestasi dan reputasi satu bangsa, sebagian besar diletakkan di tangan para ibu dan kaum perempuan.

Di sinilah peran Al Hidayah dalam pemberdayaan perempuan menjadi sangat penting. Saya gembira, dalam perjalanannya Al Hidayah melakukan peran di atas, selama ini ormas ini telah menunjukkan diri sebagai organisasi yang bergairah, kuat dan berakar di tengah-tengah masyarakat. Al Hidayah eksis sampai ke pelosok-pelosok desa.

Selama 31 tahun, Al Hidayah telah melakukan gerakan mobilisasi yang luar biasa, berbentuk pengajian ibu-ibu muslimah di seluruh penjuru Tanah Air. Pengajian tersebut diikuti dan ditindaklanjuti dengan program beragam dan kegiatan di bidang pendidikan, sosial, kesehatan untuk pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan.

Al Hidayah telah memberikan sumbangan yang tidak kecil nilainya bagi pemberdayaan perempuan di Indonesia. Maka bisa dikatakan Golkar telah berada di jalan yang tepat ketika 31 tahun lalu mendirikan ormas ini. Al Hidayah selama ini juga telah membantu memperkokoh Golkar.

Pengajian muslimah yang dirintis Al Hidayah telah menjadi jejaring yang ikut menopang kejayaan Partai Golkar sepanjang usianya hingga sekarang. Banyak keberhasilan Partai Golkar ditentukan oleh Al Hidayah. Saya juga yakin pada 2014 nanti Al Hidayah juga akan membantu memberikan sumbangan bagi kejayaan kembali Partai Golkar.

Selain itu, sebagai organisasi perempuan yang mengemban misi pemberdayaan perempuan, Al Hidayah hendaknya meningkatkan kerja sama dengan ormas perempuan di Indonesia lainnya. Ini penting untuk menemukan sinergi.

Meski Al Hidayah adalah organisasi keislaman, hendaknya juga bersikap terbuka untuk bekerja sama dengan pihak mana pun, menjauhi sikap eksklusif, dan selalu menjalin hubungan baik dengan pihak lain. Dengan demikian pemberdayaan perempuan di Indonesia bisa cepat dilakukan dan kesejahteraan bangsa bisa terwujudkan.

Pengungsi Merapi dan Keteladanan Mbah Maridjan

Pekan ini, Gunung Merapi kembali meletus dan memakan banyak korban nyawa dan musnahnya harta benda. Letusan gunung berapi paling aktif di dunia ini juga membuat ribuan orang mengungsi. Duah hari setelah meletus, Kamis, 28 Oktober 2010, saya bersama pengurus Partai Golkar menyempatkan diri mengunjungi lokasi bencana Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini.

Saya bersama rombongan langsung menuju Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Di sana, saya mengikuti prosesi pemakaman jenazah Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, yang meninggal di rumahnya setelah diterjang awan panas saat Merapi meletus. Ribuan orang berkumpul untuk mengikuti pemakaman Mbah Maridjan di kompleks makam dusun Srumen, Glagaharjo, Sleman, sebuah makam di kaki Gunung Merapi yang dipenuhi tanaman bambu dan semak belukar.

Jenazah belum tiba, saat saya tiba di sana. Jenazah Mbah Maridjan masih dalam perjalanan dari Masjid Kahar Muzakar, di kompleks kampus Universitas Islam Indonesia (UII). Tak selang lama, jenazah lelaki yang telah menjadi juru kunci Merapi sejak tahun 1982 itu pun tiba di area pemakaman.

Sebelum jenazah dimasukkan ke liang kubur, para pelayat membacakan doa tahlil. Suasana haru begitu terasa. Dalam acara pemakaman itu terungkap pribadi baik dan teladan mulia yang selama ini diajarkan Mbah Maridjan. Ini terlihat saat seorang kiai yang memimpin upacara pemakaman tersebut meminta pendapat para pelayat tentang kepribadian Mbah Maridjan semasa hidup. Kiai itu bertanya: “Mbah Maridjan sae nopo awon, poro rawuh (Mbah Maridjan orangnya baik atau tidak, para hadirin?)”.

Mendengar itu para pelayat, yang sebagian besar di antaranya warga desa setempat, menjawab keras; “Sae!” yang artinya bagus. Setelah itu, barulah jenazah dimasukkan ke liang lahat, tempat peristirahatan terakhir, diiringi kumandang “Laa ilaaha illallah” berulang-ulang.

Sebenarnya saya tak terlalu mengenal sosok Mbah Maridjan. Namun, saya pernah aktif berkomunikasi dan bekerja sama dengan Mbah Maridjan ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 2006. Ketika itu, saya menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Dari pertemuan tersebut, saya mendapat kesan kuat bahwa Juru Kunci ini merupakan sosok yang teguh mengemban amanat, tugas dan tanggung jawab, meski harus berkorban jiwa dan raga.

Di akhir hayatnya, Mbah Maridjan yang santun dan bersahaja itu pun masih setia menjalankan amanat yang diberikan Sultan Hamengkubuwono IX pada 28 tahun silam, yakni menjaga dan merawat Merapi.

Keteladanan Mbah Maridjan ini layak kita apresiasi dan kita teladani. Keteladanan seorang pemimpin di komunitasnya yang selalu konsisten dengan sikapnya. Juga keteladanannya dalam mengemban sebuah tanggungjawab yang diberikan padanya. Saya tak berlama-lama di komplek makam di Srumen itu. Sesaat setelah upacara pemakaman, saya langsung meluncur mengunjungi lokasi pengungsian warga korban letusan Merapi. Lokasinya Masih di Desa Glagaharjo. Mungkin berjarak setengah kilometer dari Srumen.

Rombongan DPP dipandu Ketua DPD Partai Golkar DIY, Gandung Pardiman tak susah untuk mencapai lokasi pengungsian. Lokasi pengungsian dipusatkan di Desa Glagaharjo dan Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan. Kalau dari Kota Yogyakarta, hanya ditempuh dalam waktu tidak lebih dari satu jam. Jalannya pun mulus dan tak terlalu berkelok-kelok.

Di tempat itu, sudah berdiri beberapa tenda-tenda darurat berukuran besar. Masing-masing tenda mungkin bisa menampung

seratus hingga seratus lima puluh orang. Ada pula sebuah gedung olahraga berukuran cukup luas yang juga difungsikan untuk menampung para pengungsi.

Di lokasi pengungsian yang berjarak sekitar lima kilometer dari lereng Merapi tersebut, menurut Kepala Desa setempat, ada sedikitnya 1.595 orang. Laki-laki, perempuan, tua, muda dan anak-anak, semua ditampung di tempat pengungsian ini. Di sini, saya, atas nama keluarga besar Partai Golkar, memberikan bantuan berupa sembako, makanan siap saji,masker, selimut dan pakaian hangat.

Saya sempatkan pula untuk berbincang-bincang dengan warga. Saya meminta mereka untuk tetap bertahan di pengungsian, tidak tergesa-gesa kembali ke rumah masing-masing di lereng, hingga situasi benar-benar aman. Saya tekankan betul hal itu. Sebab, saya khawatir warga memaksa kembali ke rumah, sedangkan Merapi masih berbahaya.

Saya merasa harus benar-benar memperingatkan warga agar tidak tergesa-gesa kembali. Sebab, tak sedikit warga yang mengabaikan peringatan pemerintah agar segera turun ketika gunung api itu menunjukkan tanda bahaya. Alasan sebagian besar mereka karena ingin menengok hewan peliharaan atau ladang mereka.

Selanjutnya, saya menemui warga di lokasi pengungsian lainnya di Desa Kepuharjo. Serupa di Glagaharjo, di tempat ini juga sudah berdiri beberapa tenda darurat. Namun, di sini jumlah pengungsinya sedikit lebih banyak dibanding di Glagaharjo. Seperti halnya di lokasi pengungsian sebelumnya, kami juga memberikan bantuan berupa sembako, makanan siap saji, masker, selimut dan pakaian hangat.

Di tempat ini, saya secara khusus memberikan santunan uang untuk dua relawan dari Karang Taruna desa setempat, yang turut menjadi korban tewas akibat letusan Merapi. Santunan yang masing-masing senilai Rp 5 juta itu diberikan kepada keluarga korban.

Dari kunjungan saya itu, saya nilai secara umum, kondisi pengungsian cukup baik. Demikian pula pelayanan terhadap para warga, juga relatif baik. Namun, dari penuturan warga yang saya temui, mereka mengaku kekurangan air bersih, terutama untuk minum. Hal ini juga disampaikan kepala desa setempat bahwa para pengungsi kekurangan air minum. Karena itu, Partai Golkar secepatnya akan mengusahakan untuk memenuhi kebutuhan air tersebut. Partai akan membuat dapur umum yang akan difungsikan untuk memasak makanan dan menyediakan air minum.

Tidak hanya untuk Yogyakarta, selama ini Partai Golkar selalu turun secepatnya jika ada bencana terjadi di daerah Indonesia. Niatnya tentu semata-mata untuk meringankan penderitaan rakyat. Jika ada penilaian miring bahwa Golkar mencari popularitas dan memanfaatkan keadaan itu silahkan saja, yang jelas tak akan menyurutkan niat kita membantu sesama.

Mari Bersepeda, Mari Hijaukan Indonesia

Minggu pagi, sebagian warga Jakarta memanfaatkan waktu olahraga bersepeda bersama keluarga. Jalanan yang sepi dari kendaraan bermotor banyak dimanfaatkan untuk berolahraga pagi, termasuk bersepeda. Seperti yang terjadi Minggu, 24 Oktober 2010 kemarin, saya juga bersepeda.

Saya bersama sekitar 300 orang bersepeda menempuh rute dari Lapangan Rawamangun sampai Tugu Proklamasi. Dari sekitar pukul 08.50 WIB sampai pukul 09.20 WIB. Pagi itu saya bersepeda dalam rangka menjemput peserta “Kirab Sepeda 2010” yang tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan dari Surabaya sejak 16 Oktober lalu. Acara ini merupakan rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-46 Partai Golkar.

Dalam “Kirab Sepeda 2010” sebanyak 33 atlet sepeda nasional, bersepeda jarak jauh dari Surabaya ke Jakarta sambil napak tilas perjuangan nasional. Napak tilas dilakukan dengan singgah ke beberapa kabupaten di Pulau Jawa. Karena itu saat start saya lepas sendiri mereka dari Tugu Pahlawan, Surabaya.

Rute Surabaya-Jakarta adalah jarak yang cukup jauh. Jarak itu ditempuh peserta selama sembilan hari. Saya bangga dengan para atlit yang ikut memeriahkan acara HUT Partai Golkar tersebut. Kepada mereka saya sempat bercanda, “Apa benar bisa sampai Jakarta, jangan-jangan sepedanya dinaikkan kereta api”. Itu hanya bercanda, sebab merek benar-benar mengayuh sepeda dari Surabaya ke Jakarta. Saya percaya karena mendapat laporan dari kabupaten-kabupaten yang mereka disinggahi.

Untuk mengapresiasi mereka saat tiba di Jakarta, saya sendiri yang menjemput. Lalu saya juga ikut gowes bersama mereka. Ternyata lumayan asik menggowes sepeda. Badan terasa segar, hati juga terasa riang gembira karena bersepeda bersama-sama. Bersepeda memang olah raga yang mengasyikkan.

Hal itulah yang menjadi dasar mengapa peringatan HUT ke 46 Golkar mengadakan Kirab Sepeda Surabaya – Jakarta. Dengan acara yang menjadi penutup rangkaian HUT Golkar ini, kita ingin mempopulerkan dan membudayakan olahraga bersepada kepada masyarakat. Kagiatan bersepeda perlu didukung karena selain sehat juga dapat mengurangi polusi.

Seperti kita ketahui, polusi adalah salah satu masalah serius yang kita hadapi. Lihat saja tingkat polusi di Jakarta, Ibu kota negara kita. Jakarta pernah tercatat menjadi kota dengan tingkat polusi terburuk nomor tiga di dunia, setelah kota dua kota besar lainnya yaitu Meksiko dan Thailand.

Kadar partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9 di dunia (yaitu 104 mikrogram per meter kubik) dari 111 kota dunia. Dari semua penyebab polusi yang ada, emisi transportasi terbukti sebagai penyumbang pencemaran udara tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 85 persen.

Salah satu penyebabnya adalah jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah banyak. Akibatnya, mau tak mau, kualitas udara terus menurun. Solusinya tentu saja mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan menggunakan kendaraan anti polusi seperti sepeda. Beberapa penggiat sepeda juga aktif mengkampanyekan penggunaan sepeda, bukan hanya untuk berolahraga namun juga untuk beraktifitas. Partai Golkar juga ingin mengambil bagian dalam hal ini dan ikut membantu mengenalkan budaya bersepeda pada masyarakat.

Apa yang dilakukan Golkar tak hanya sebatas acara-acara seremonial semata, namun juga memperjuangkan regulasi yang pro terhadap pengendara sepeda. Misalnya kader Partai Golkar di DPRD DKI telah memperjuangkan realisasi jalur khusus sepeda yang sangat diidamkam masyarakat yang menggunakan sepeda dalam kesehariannya.

Jalur sepeda ini penting. Sebab pengguna sepeda seringkali tidak dihargai saat ada di jalan raya oleh pengendara lain. Dengan adanya jalur khusus sepeda, diharapkan mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Apalagi saat ini semakin banyak masyarakat yang beraktivitas dengan sepeda.

Partai Golkar terus membantu menumbuhkan kembali budaya sepeda di masyarakat. Jika budaya bersepeda sudah tumbuh maka masalah polusi akan teratasi, masyarakat akan lebih sehat dan Indonesia akan menjadi lebih hijau. Jadi, dengan bersepeda, mari hijaukan Indonesia.