Renovasi Kantor Golkar Hingga Kontroversi Gedung DPR

Teman-teman blogger, pada saat sebagian masyarakat kita terlibat pro dan kontra pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, saya meresmikan hasil renovasi Gedung Karya II di Komplek Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, di kawasan Slipi, Jakarta. Peresmian yang saya lakukan Selasa 4 Mei 2010 kemarin, meliputi aula, ruang rapat dan kantor pengurus DPP.

Gedung Karya II direnovasi total karena sudah sangat tua dan tidak layak. Untuk tugas itu, saya meminta saudara Erwin Aksa sebagai penanggung jawab. Tujuan renovasi ini, saya ingin gedung DPP khususnya Ruang Karya II menjadi bersih, indah, sehat, aman dan nyaman.

Lantai karpet kita ganti dengan marmer agar sehat dan tak menyimpan debu. Ruang rapat juga kita perbaiki agar kita bisa rapat dengan baik. Semua pengurus, baik ketua umum, wakil ketua umum, para ketua, sampai bendahara kita buatkan ruangan yang baik. Hal ini untuk memudahkan koordinasi dan kerja partai menjadi efisien. Dengan ruang rapat yang baik, kita tidak perlu rapat di tempat lain. Ini tentu akan menghemat waktu dan biaya.

Dalam memimpin Partai Golkar, saya memang banyak melakukan perbaikan dan perubahan. Banyak hal saya ubah dengan harapan partai ini menjadi lebih baik. Misalnya saya mengakomodasi banyak anak muda, agar partai ini lebih maju dan dinamis, saya juga mengubah pengkaderan dengan pelatihan berbeda.

Saat peresmian, ada wartawan bertanya tentang bagaimana komentar saya mengenai rencana renovasi gedung DPR. Saya sempat membaca berita, memang ada rencana renovasi gedung DPR atau kompleks parlemen. Konon gedung ini mengalami kemiringan 7% dan pimpinan DPR berencana membangun gedung baru senilai Rp 1,8 triliun.

Sebelum membahas lebih lanjut soal renovasi gedung DPR, mari sejenak kita tengok sejarah berdirinya kompleks parlemen itu. Gedung yang berada di Senayan itu didirikan pada 8 Maret 1965. Saat itu, Presiden Soekarno akan menyelenggarakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang merupakan wadah dari semua New Emerging Forces sebagai tandingan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Anggota-anggota New Emerging Forces direncanakan terdiri dari negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara sosialis, negara-negara komunis, dan sebagainya.

Bertepatan dengan Perayaan Dasa Warsa Konferensi Asia-Afrika pada 19 April 1965 dipancangkanlah tiang pertama pembangunan proyek political venues di Senayan, Jakarta. Rancangan gedung itu hasil karya Soejoedi Wirjoatmodjo yang ditetapkan dan disahkan presiden pada 22 Februari 1965.

Akhirnya kemudian Gedung itu dijadikan Kompleks DPR/MPR yang terdiri dari Gedung Utama (Nusantara), yang berbentuk kubah yang melambangkan sayap burung garuda, Nusantara I atau Lokawirasabha setinggi 100 meter dengan 24 lantai, Nusantara II, Nusantara III, Nusantara IV, dan Nusantara V.

Kalau kita lihat sejarah berdirinya, gedung itu memang sudah cukup tua. Karena itu DPR merencanakan merenovasi. Namun setiap akan ada renovasi, apalagi nilainya tinggi, maka pers dan masyarakat selalu mengkritisinya.

Lalu bagaimana pendapat saya? Saya sendiri berpendapat, jika renovasi itu benar diperlukan, ya tidak ada salahnya dilakukan renovasi. Namun, sebelum keputusan diambil, harus diperiksa secara seksama apakah benar memerlukan renovasi. Juga penting, bagian apa saja yang perlu direnovasi. Jika benar ada kemiringan 7% seperti yang diberitakan, ya memang malah harus direnovasi.

Menurut saya keselamatan semua penghuni kompleks Senayan itu sangat penting. Di manapun, perlindungan terhadap manusia lebih penting dari nilai bangunannya. Jangan sampai kita ribut-ribut soal uangnya, tapi anggota dewan jadi korban.

Dalam renovasi ini kepekaan sosial juga diperlukan. Kritikan masyarakat harus didengarkan. Apalagi banyak masyarakat yang kondisinya masih memprihatinkan. Nah untuk itu perlu dipikirkan bagaimana cara merenovasi yang paling baik dan tentu saja dengan harga termurah.

Banyak ahli di negara ini yang saya rasa bisa merenovasi dengan baik, namun dengan harga yang murah. Renovasi Gedung Karya II misalnya, kami gunakan kembali AC yang sudah berumur 30 tahun, karena memang masih layak digunakan. Jika hal itu dapat dilakukan maka akan ada uang negara yang bisa disimpan dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Jika hal itu bisa dilakukan, kontroversi renovasi Gedung DPR akan mereda dengan sendirinya.

Icuk – Candra Wijaya dan Prestasi Bulutangkis Kita

Akhir pekan lalu, Sabtu 24 April 2010, saya menghadiri acara Candra Wijaya Badminton Championship 2010 di Gedung Bulutangkis Gelora Bung Karno, Jakarta. Turnamen ini digelar oleh Candra Wijaya International Badminton Centre (CWIBC), yang dipimpin Candra Wijaya, pebulutangkis peraih medali emas Olimpiade Sydney tahun 2000.

Saya berkesempatan menyaksikan pertandingan final turnamen tersebut, di mana pasangan Luluk Hadiyanto (Indonesia) dan Ronald Susilo (Singapura) berhasil meraih gelar juara. Pasangan yang baru pertama berpasangan ini menjadi keluar sebagai pemenang setelah mengalahkan pasangan Andrei Adistia/Rendra Wijaya dengan skor 21-18 dan 21-17. Kemudian saya didaulat memberikan hadiah pada para pemenang didampingi Candra dan Icuk Sugiarto. Ternyata saya tidak hanya memberikan piala, tapi juga menerima piala.

Candra memberikan penghargaan saya sebagai Pembina Terbaik Olah Raga Bulutangkis versi Chandra Wijaya International Badminton Centre (CWIBC). Kepada saya diberikan sebuah piala emas yang didesain sendiri oleh Candra. Selain saya, pebulutangkis ganda putra legendaris Kartono/ Heriyanto yang pernah meraih juara pada All England 1981 dan 1884 juga diberikan penghargaan.

Terus terang, saya terkejut dan tidak pernah menduga diberikan penghargaan oleh Candra. Apa yang mendasari dipilihnya saya menerima penghargaan itu? Lalu saya menduga, mungkin ini karena klub bulutangkis saya, Pelita Jaya dulu banyak menghasilkan atlet-atlet bulutangkis juara dunia, sehingga pembinaan saya di sana dinilai berhasil. Ternyata dugaan saya benar, dan memang itu alasannya.

Klub bulutangkis Pelita Jaya selama ini memang melahirkan banyak pemain nasional yang menjadi juara di kancah internasional. Candra adalah salah satu di antaranya. Selain Candra, banyak lagi pemain lainnya yang juga berasal dari Pelita Jaya, misalnya Icuk Sugiarto, Rosiana Tendean, dan sebagainya.

Ternyata penilaian pada saya tidak hanya atas pembinaan di Pelita Jaya. Candra juga menilai pembinaan saya di Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Pada 1985 – 1993 saya menjadi Ketua Bidang Dana PBSI. Saat itu PBSI dipimpin oleh Pak Try Sutrisno. Banyak yang menilai, saat itu adalah masa emas PBSI dan masa emas bulutangkis Indonesia.

Dalam periode itu, PBSI berhasil membuat bulutangkis Indonesia yang sempat kering prestasi kembali mengukir sejarah. Susi Susanti menjadi wanita Indonesia pertama, menjuarai All England (1990, 1991, 1993). Pada tahun 1991 Ardy Wiranata juga merebut gelar itu, setelah absen 10 tahun. Puncaknya, saat pasangan Alan Budikusuma dan Susi Susanti meraih emas di Olimpiade Barcelona.

Pembinaan memang penting dan kunci dalam melahirkan atlet yang berprestasi. Maka jika saat ini prestasi bulutangkis dinilai menurun, tentu solusinya adalah membenahi dan meningkatkan pembinaannya. Sebab hanya dengan pembenahan dan peningkatan pembinaan, kita bisa kembali melahirkan atlet yang baik dan berjaya di kancah dunia.

Saya sering mendapat pertanyaan bagaimana pembinaan bulutangkis yang baik. Saya mengatakan caranya sederhana saja. Adakan turnamen-turnamen seperti yang dibuat Candra ini. Buat sebanyak mungkin pertandingan. Ini penting untuk mengasah bakat dan mendidik mental juara. Dari sana, akan terlihat pemain-pemain bulutangkis yang punya potensi.

Jangan lupa membuat pertandingan untuk junior. Ini penting untuk regenerasi. Dengan demikian 5 sampai 10 tahun lagi, sudah ada lapis-lapis baru pemain nasional kita.

Kedua, yang sangat penting adalah penegakan disiplin. Dahulu dalam pembinaan bulutangkis penegakan disiplinnya luar biasa ketat. Disiplin di sini adalah disiplin latihan dan disiplin waktu. Atlet yang baik harus memiliki disiplin, jika tidak jangan harap dia bisa menjadi juara.

Jika kita ingin bulu tangkis saat ini kembali seperti masa emas dulu, maka dalam pembinaannya penegakan disiplin harus dilakukan. Bahkan harusnya lebih ditingkatkan lagi. Dalam disiplin ini misalnya pemain harus mau ikut pelatih. Seorang pemain, meskipun dia juara dunia, tidak boleh melawan atau tidak patuh pada pelatih. Hal-hal itu yang perlu dibenahi agar kita bisa kembali berprestasi.

Pembinaan dan pembibitan atlit bulutangkis tentu juga memerlukan sebuah wadah atau club. Club saya Pelita Jaya yang sekarang namanya Pelita Bakrie juga masih jalan terus dan melahirkan bibit-bibit pemain bulutangkis masa depan. Saat ini Pelita di pegang oleh Icuk Sugiarto.

Sampai saat ini Pelita terus melahirkan juara dan menunjukkan keberhasilan dalam regenerasi. Tengok saja pemain cilik dari Pelita Bakrie, Melisa Andesti yang keluar sebagai juara pada nomor tunggal anak-anak putri kejuaraan bulu tangkis tingkat nasional usia dini “Tetra Pak Open” 2009. Putra Icuk, Tommy Sugiarto yang juga di Pelita juga menunjukkan hal yang sama. Bayangkan saja, tiga gelar diraihnya sekaligus walau baru berumur 14 tahun, meskipun even yang diikutinya hanya di Kejuaraan Cabang PBSI Jakarta Barat. Juga banyak atlet-atlet lain dari Pelita yang berprestasi di kancah nasional maupun internasional.

Kita sebenarnya memiliki banyak bibit atlet, yang kita butuhkan adalah wadah untuk memupuknya. Memang sudah banyak klub bulutangkis yang disokong perusahaan besar. Tapi alangkah baiknya lagi jika makin banyak perusahaan-perusahaan yang terlibat dan peduli dengan bulutangkis kita. Maka saya serukan pada perusahaan-perusahaan besar, saat ini saatnya kita terlibat dalam membesarkan bulutangkis kita. Semoga penghargaan yang diberikan pada saya juga menjadi inspirasi pengusaha lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Politik Anggaran untuk Kesejahteraan Rakyat

Teman-teman blogger, Kamis 14 April 2010 lalu, saya memimpin rapat khusus membahas RAPBN-P yang diajukan pemerintah di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat. Rapat dihadiri pengurus DPP Golkar dan 16 anggota Panitia Anggaran Fraksi Partai Golkar DPR. Kami menyusun pandangan, komentar, dan usulan atas RAPBN-P pemerintah tersebut.

Inti usulan Partai Golkar adalah menginginkan politik anggaran ke depan harus sebanyak mungkin digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Melalui tulisan ini, saya akan menjelaskan poin-poin pandangan Partai Golkar atas APBN-P yang kami rumuskan dalam rapat itu.

Partai Golkar berpandangan dalam APBN-P harus kita pikirkan masalah yang dihadapi rakyat. Dalam kondisi masyarakat seperti sekarang ini, perlu diambil langkah bijak dan tepat yang tidak memberatkan rakyat dan perekonomian secara keseluruhan.

Persoalan yang memberatkan rakyat misalnya pengurangan subsidi listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Karena itu, Partai Golkar meminta agar pemerintah tidak mengurangi subsidi atas dua hal tersebut. Kenaikan tarif BBM dan tarif dasar listrik (TDL) tidak perlu dilakukan tahun ini. Jika dinaikkan hal itu bisa menjadi beban bagi masyarakat, utamanya masyarakat kecil.

Selain memberatkan masyarakat, kenaikan BBM dan TDL juga memberatkan Industri. Kenaikan BBM dan TDL bisa membuat biaya produksi makin mahal. Apalagi kita baru saja menjalani China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang membuat industri kita perlu berjuang lebih keras lagi untuk bersaing. Maka dengan CAFTA yang baru berjalan ini, tidak pada tempatnya diberlakukan kenaikan atas dua tarif itu.

Dalam APBN-P juga perlu diperhatikan masalah infrastruktur. Banyak pihak mengatakan problem paling besar atas masuknya investasi ke Indonesia bukanlah problem politik, melainkan problem infrastruktur. Masalah infrastruktur ini memang sangat penting. Maka saya mengusulkan agar proyek-proyek infrastruktur yang tidak dikerjakan oleh swasta, harus dikerjakan oleh pemerintah.

Banyak pembangunan infrastruktur di negara kita tidak diminati kalangan dunia usaha. Misalnya, jalan tol Medan-Binjai, atau jalan di daerah Papua untuk menembus daerah terisolasi di pegunungan, dan lain sebagainya. Proyek ini tidak menarik bagi kalangan swasta, padahal jika dilakukan bisa mensejahterakan masyarakat.

Di Papua, sekitar 70% penduduknya tinggal di pegunungan. Mereka perlu infrastruktur jalan untuk membuka daerah mereka yang terisolasi. Dengan membuka isolasi itu, akan menambah kesejahteraan rayat di pegunungan dan bisa menyelesaikan persoalan separatisme di sana.

Atau di Jambi yang jalannya dilalui 130 ribu truk tiap hari. Di sana perlu ada jalur kereta api. Tentu pembangunan ini tidak mungkin dilakukan swasta. Karena itu pemerintah perlu membangunnya, dan menambah dana untuk keperluan ini.

Selanjutnya soal perumahan bagi rakyat. Masalah perumahan atau papan adalah masalah yang patut kita perhatikan. Anggaran untuk membangun perumahan bagi rakyat kecil seperti rumah susun sederhana sewa (rusunawa) perlu ditambah lagi. Hal ini agar semakin banyak lagi rakyat yang bisa mendapatkan rumah dengan harga sewa murah.

Masalah infrastruktur di pedesaan dan daerah tertinggal juga penting. Masalah utama yang dihadapi di desa-desa adalah masalah infrastruktur pedesaan. Pembangunan infrastruktur pedesaan oleh pemerintah selama ini dilakukan melalui program PNPM Mandiri. Kita tahu PNPM Mandiri memberikan dana sekitar Rp2 miliar kepada satu Kecamatan per tahun. Partai Golkar mengharapkan ada penambahan dana untuk PNPM Mandiri sehingga per tahun menjadi Rp2,5 miliar untuk tiap kecamatan.

Dengan demikian pembangunan infrastruktur di pedesaan bisa dilakukan dengan baik. Saluran irigasi, jalan desa, dan lain sebagainya bisa segera diwujudkan. Perekonomian masyarakat desa pun akan membaik dengan itu.

Anggaran pendidikan yang cukup besar, 20%, juga perlu dapat sorotan. Saya harap sebagian dana pendidikan itu dilakukan untuk mengirim siswa-siswa Indonesia ke luar negeri. Sekarang yang bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri hanyalah orang-orang kaya.

Dengan mengalokasikan dana khusus untuk biaya pendidikan ke luar negeri, pemerintah bisa memberikan beasiswa ke luar negeri sekitar 2.000 atau 3.000 siswa per tahun. Masyarakat Indonesia yang tidak mampu tapi pandai dengan demikian juga bisa bersekolah di luar negeri. Hal ini penting bagi pendidikan kita, agar bisa menambah wawasan anak Bangsa dan nantinya mereka akan mengamalkan ilmunya pada masyarakat.

Di bidang kesehatan, saya minta diberikan perhatian bagi pemberantasan tuberkolosa. Kita tahu Indonesia masih mempunyai masalah dan kesulitan dalam pemberantasan tuberkolosa. Jumlah kematian karena tuberkolosa masih berkisar di angka 120 ribuan per tahun. Ini saya rasa perlu mendapat perhatian penuh oleh pemerintah dalam mengalokasikan anggaran.

Di samping itu, penanggulangan AIDS juga perlu diperhatikan. Selama ini masalah penanggulangan AIDS yang penderitanya diperkirakan mencapai 280 ribu, pendanaannya dibantu lembaga donor. Sekarang lembaga-lembaga donor itu mengurangi bantuannya untuk Indonesia. Nah, karema itu saya kira hal ini perlu dibantu penanganannya oleh pemerintah.

Dari mana penambahan dana untuk semua itu? Penambahan dana itu bisa dari berbagai cara. Bisa dilakukan dengan menambah defisit dari 2,1% menjadi 2,4%. Setiap penambahan 0,1% defisit berarti ada tambahan anggaran bagi pembangunan kita sebesar Rp 6,2 triliun. Maka, jika dilakukan, kita bisa menambah anggaran Rp12,4 triliun sampai Rp18 triliun di tahun 2010 ini. Dengan itu, maka akan banyak infrastruktur yang bisa dikerjakan pemerintah dan peningkatan kesejahteran rakyat secara umum juga bisa dilaksanakan.

Selain itu, bisa dilakukan penambahan dana dari tax ratio. Partai Golkar berpendapat tax ratio harus pada kisaran 13%-13,5%. Dengan penambahan tax ratio diharapkan bisa dilakukan ekstensifikasi pemungutan pajak. Sehingga tax base, dasar pungutan pajak, bisa lebih luas. Pemerintah jangan hanya intensifikasi saja, karena dalam perumpamaan awam, ini jadi seperti berburu di kebun binatang.

Seluruh poin-poin di atas telah saya sampaikan ke rekan-rekan Panitia Anggaran dari Fraksi Partai Golkar untuk diperjuangkan. Mereka akan membicarakan semua itu dengan komisi terkait. Semoga poin-poin usulan itu mendapat persetujuan pemerintah dan fraksi-fraksi lain, sehingga pembangunan bagi kesejahteraan rakyat bisa segera dilakukan.

Tas Plastik dan Pendekatan Kesra untuk Papua

Ini kisah sewaktu saya menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Banyak daerah yang telah saya kunjungi dan banyak pengalaman yang saya dapat dari kunjungan itu. Namun, ada satu kunjungan ke daerah yang sangat saya ingat dan memberikan pengalaman tak terlupakan pada diri saya. Daerah itu adalah Yahukimo.

Yahukimo adalah daerah di Provinsi Papua yang ditetapkan sebagai kabupaten pada 11 Desember 2003. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Nama Yahukimo berasal dari nama empat suku yang bermukim di sana, yaitu Yali, Hubla, Kimyal, dan Momuna.

Cerita dari Yahukimo ini berawal di bulan November 2005. Saat itu terjadi bencana kelaparan yang menimpa sekitar 70.000 dari 200.000 penduduk Yahukimo. Bancana ini terjadi akibat gagal panen tanaman umbi-umbian. Akibatnya, pada kurun waktu 11-17 November 2005 tercatat ada 55 orang meninggal dunia akibat bencana kelaparan yang melanda 17 distrik.

Sebagai Menko Kesra saat itu, saya mewakili pemerintah dan mendapat tugas memimpin penanggulangan bencana tersebut. Saya segera terbang ke Yahukimo, yang sedemikian terpencil. Yahukimo berada di puncak pegunungan. Medannya cukup berat. Ke sana hampir tidak mungkin melalui jalur darat. Maka kita harus lewat udara dengan menggunakan pesawat terbang dan dilanjutkan dengan helikopter.

Untuk melanjutkan perjalanan dengan helikopter tidak mudah, sebab kita juga harus menunggu awan naik. Saya ingat, ketika itu kami baru saja mendarat dan mau naik helikopter, tapi awan tiba-tiba turun. Tidak ada pilihan lain, saya dan rombongan menunggu sampai awan naik kembali. Sekitar tiga jam saya manunggu.

Sesampainya di pemukiman penduduk, saya melihat kondisi warga Yahukimo sangat memprihatinkan. Di zaman modern ini mereka masih hidup seperti di Zaman Batu. Lalu saya lihat apa bahan makanan yang mereka tanam dan makan. Ternyata di sana mereka menanam ubi yang kecil, besarnya cuma seukuran ibu jari orang dewasa. Ubi ini juga tidak tahan cuaca sehingga sering gagal panen. Ditambah lagi, mereka tidak pandai bertani. Inilah yang menyebabkan mereka kelaparan.

Lalu saya putuskan untuk mencari bibit ubi yang bagus. Saya pergi ke Wamena yang berjarak 20 km dari Yahukimo. Di Wamena, ada bibit ubi yang cukup bagus dan tahan cuaca. Saya bawa bibit itu ke Yahukimo. Saya juga bawa pacul dan alat pertanian. Bersama tim, kami ajari mereka bertani, bercocok tanam yang baik.

Percaya atau tidak, itulah untuk pertama kalinya mereka mengenal pacul dan alat pertanian modern. Biasanya, seperti manusia zaman batu, mereka bertani dan menggali tanah dengan kayu. Saat saya ajari mereka pakai pacul, mereka senang sekali.

Saya juga mengajarkan mereka gaya hidup sehat. Saya minta Ibu Mutia Hatta, Menteri Pemberdayaan Perempuan yang berada dalam lingkup koordinasi saya, mengajari mereka gosok gigi. Awalnya mereka sempat bingung apa itu gosok gigi. Mereka juga saya ajari bagaimana memasak air, bagaimana mandi, pakai sabun, dan lain sebagainya.

Ke puncak gunung itu, saya juga membawa dokter, penyuluh, dan lainnya untuk menangani berbagai masalah kesehatan. Warga Yahukimo berhak divaksin, mereka berhak hidup sehat. Anak-anak yang baru lulus jadi dokter, yang umurnya baru 22 sampai 23 tahun, saya minta ditugaskan ke sana.

Semua perlengkapan, baik alat pertanian, bibit, dokter, penyuluh, dan lain-lain kita terbangkan. Dalam enam bulan, ada sekitar 800 kali penerbangan ke Yahukimo.

Setelah kami lakukan penanganan di sana, saya minta Bapak Presiden untuk langsung datang ke sana. Saya katakan pada Beliau, “Bapak harus melihat rakyat Bapak di sana.” Saat itu orang-orang tidak setuju. Mereka menilai terlalu berbahaya jika presiden datang langsung ke daerah yang begitu terpencil.

Hal itu memang cukup beralasan, mengingat gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) masih sangat kuat. Selain itu letak geografisnya juga berbahaya. Beliau harus pakai helikopter dan kalau dilempar batu saja helikopter itu bisa jatuh. Belum lagi, lokasi pendaratan hanyalah suatu pelataran, medannya sangat terbuka. Jadi kalau ada yang menembak dari atas tidak bisa apa-apa, tidak bisa lari ke mana-mana.

Kalau saya waktu itu santai saja. Saya tidak memikirkan hal-hal seperti itu. Saya fokus membantu mereka. Di sana saya hanya memakai baju putih tanpa rompi anti peluru, tanpa protektor. Jika ada yang memanah, ya mati. Saya hanya yakin Allah SWT masih melindungi saya.

Untuk meyakinkan Presiden, saya tempuh berbagai cara. Bahkan di suatu sidang kabinet saya tidak malu-malu membawa tas plastik. Tas itu berisi contoh ubi Yahukimo dan bibit ubi pengganti, saya tenteng-tentang saja sampai banyak teman sesama menteri yang tertawa geli. Saya cuek saja.

Akhirnya Presiden memutuskan berkunjung langsung ke Yahukimo. Saat itu mereka sudah bisa menggunakan cara-cara bertani dan bercocok tanam modern yang telah kami ajarkan sebelumnya. Ubi yang saat saya pertama kali datang hanya sebesar ibu jari, saat kunjungan Presiden sudah sebesar paha, bahkan lebih besar dari paha saya.

Selain soal pangan, penanganan Yahukimo ternyata juga bisa membantu menyelesaikan persoalan integrasi nasional. Saat berada di sana dan menyelami permasalahan yang ada, saya semakin memahami dan meyakini bahwa pemberontakan OPM terjadi karena kesejahteraan masyarakat di sana begitu rendahnya. Akibatnya, mereka lalu memilih opsi disintegrasi.

Karena itu saya memberikan saran kepada Bapak Presiden dan meminta izin agar persoalan ancaman disintegrasi di Papua jangan lagi ditangani dengan pendekatan keamanan. Tidak lagi dengan cara perang, menembak, dan sebagainya. Karena, jika itu yang dilakukan, masalahnya tidak selesai dan diplomasi kita di internasional akan runtuh. Masyarakat internasional akan semakin mendukung OPM dan menyalahkan kita.

Sebagai gantinya, saya menyarankan supaya upaya penyelesaian Papua dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan rakyat. Beliau setuju dan lalu memerintahkan saya menggunakan pendekatan Kesra. Saya dan jajaran di bawah koordinasi saya, kemudian mengimplementasikannya.

Saya tunjuk Sdr. Rizal Mallarangeng, staf khusus saya, untuk jadi ketua tim. Sempat datang protes dari orang kementerian. Mereka bilang tidak bisa Rizal sebab yang memimpin harus pegawai negeri. Saya tanya, “Mana peraturan yang menyatakan bahwa harus pegawai negeri?” Mereka bilang, “Tidak ada, Pak, hanya konvensi.” Lalu saya katakan, “Kalau tidak ada peraturannya, berarti boleh.” Saya tunjuk Rizal dan saya taruh dia di sana selama empat bulan. Kami mendirikan rumah-rumah untuk rakyat di seluruh wilayah pegunungan tengah. Saya juga membuka kebun untuk mereka bercocok tanam, membangun pembangkit listrik bertenaga matahari dan air.

Pendekatan Kesra ini tidak sia-sia. Akhirnya banyak anggota OPM yang kembali dan bersumpah setia untuk kembali ke pangkuan RI. Saya peluk mereka yang baru keluar dari dari hutan. Mereka berikan senjata-senjata mereka pada kami. Beberapa kali saya memimpin dan menghadiri acara penyerahan diri dan sumpah setia itu. Bahkan, sampai di daerah perbatasan Papua Nugini juga ada penyerahan senjata. Saat itu, beberapa panglima menyerah, hingga tinggal dua saja panglima OPM yang belum menyerah.

Saat itu bisa dikatakan sayap militer OPM sudah bisa diatasi, tinggal sayap diplomasinya. Untuk sayap diplomasi waktu itu ada Nicolas Youwe, 85 tahun, salah satu pendiri OPM yang masih hidup dan tinggal di negeri Belanda. Saya kirim orang menemui dia dan meminta dia datang ke Indonesia.

Saya juga mengusulkan supaya Bapak Presiden menemui dia. Akhirnya Nicolas jadi Warga Negara Indonesia (WNI). Setelah jadi WNI dia mengatakan ke anggota jaringannya di luar negeri dan dunia internasional bahwa OPM sudah selesai.

Cerita dari Yahukimo ini mengajarkan kepada kita bahwa pendekatan entrepreneur bisa diterapkan di mana saja, termasuk di pemerintahan. Pendekatan entrepreneur tidaklah cuma untuk bisnis. Pendekatan entrepreneur adalah pendekatan out of the box, pendekatan dengan metoda berfikir besar, think big; tahu permasalahannya, tahu apa yang dikerjakan dan yang akan dicapai.

Saya Pernah Lebih Miskin dari Pengemis

Aburizal Bakrie Berikan Kuliah Umum di ITBSelama ini banyak orang bertanya kepada saya bagaimana rahasianya menjadi pengusaha yang sukses. Mereka berharap saya bersedia membagi pengalaman dan kiat-kiat berusaha supaya sukses. Bagi saya, membagi pengalaman kepada orang lain menyenangkan, apalagi bila pengalaman saya tersebut bermanfaat.

Senin 5 April lalu, saya diundang oleh Universitas Islam As Syafiiyah, Jakarta, untuk membagi pengalaman. Dalam acara bertajuk “Studium Generale Kewirausahaan” itu saya diminta memberikan ceramah mengenai kewirausahaan dan kiat sukses berbisnis. Selengkapnya…

Jangan Biarkan Wayang Diklaim Negara Lain

Jumat malam, 19 Maret 2010 lalu, suasana kantor DPP Partai Golkar di kawasan Slipi, Jakarta, berbeda dibanding hari biasa. Malam itu, DPP menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Pertunjukan digelar untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1431 H dengan mendatangkan dalang kondang Ki Anom Suroto.

Banyak yang bertanya mengapa Partai Golkar menggelar pertunjukan wayang kulit yang dinilai ketinggalan zaman. Ini karena Golkar melihat kesenian tradisional ini sangat bagus. Wayang juga telah menjadi budaya bangsa, bahkan sudah dikenal masyarakat internasional. Sementara itu, di saat dunia mulai mengenal wayang, di dalam negeri peminatnya dari tahun ke tahun malah terus menurun, dikalahkan seni budaya modern. Wajar bila pagelaran wayang kemudian menjadi sangat jarang kita temui, apalagi di daerah perkotaan.

Partai Golkar menilai budaya ini perlu dibantu pelestariannya. Salah satu caranya adalah dengan menggelar pementasan wayang kulit. Dengan demikian, orang yang belum mengenalnya akan mulai melihat keindahannya. Bagi dalang dan mereka yang menekuni kesenian ini, pagelaran juga bisa membantu mereka untuk terus eksis.

Lebih dari itu, pagelaran wayang ini juga menunjukkan komitmen Partai Golkar untuk tidak berorientasi pada politik semata. Partai ini telah bertekad untuk turut serta melindungi dan mengembangkan seni budaya nasional. Jangan sampai budaya nasional kita diamkan, tidak pernah kita perhatikan, namun saat diklaim negara lain kita baru marah-marah.

Soal pemilihan lakon “Wiroto Parwo” dalam pagelaran wayang kulit semalam suntuk ini, saya sendiri sebenarnya kurang paham. Saya bukan orang Jawa, jadi kurang mengerti. Namun dari penjelasan dalang yang saya dengar, saya mengetahui bahwa ini kisah kembalinya Pandawa memimpin negara setelah 12 tahun berada di pengasingan. Pandawa mengasingkan diri ke hutan setelah kalah bermain dadu dengan Kurawa.

Ada yang bertanya apakah lakon itu sengaja diambil Partai Golkar sebagai simbolisasi kehendak untuk kembali memerintah negara. Saya jawab: yang jelas Golkar ingin mencatat sukses pada Pemilu 2014 nanti. Untuk pemilu yang akan berlangsung empat tahun lagi itu, saya pastikan kader Golkar sudah mulai melakukan persiapan. Kita sudah melangsungkan berbagai program kaderisasi dan saya lihat kader-kader Partai Golkar punya semangat yang militan.

Singkat kata, wayang adalah salah satu peninggalan budaya bangsa yang sangat luhur dan karena itu Partai Golkar bertekad akan terus membantu pelestariannya. Untuk itu, pagelaran wayang tidak akan berhenti di kantor DPP Partai Golkar ini saja. Setelah ini berbagai pagelaran wayang akan digelar di 100 kabupaten dan kota oleh pengurus Golkar di berbagai daerah di seluruh Nusantara.

Menggodok Kader Lewat Outbond

Akhir pekan lalu Partai Golkar menggelar Diklat Penyegaran Kader Penggerak Partai Tingkat Pusat Tahun 2010 untuk angkatan ketiga atau terakhir. Seperti angkatan pertama dan kedua, kaderisasi dilaksanakan di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor.

Partai Golkar sengaja merancang acara kaderisasi ini dalam bentuk yang tidak biasa dilakukan partai politik pada umumnya. Kami mengemasnya dalam bentuk outbond, pelatihan di luar ruangan menggunakan permainan dan simulasi dengan selingan pemberian materi.

Banyak yang bertanya-tanya kenapa model ini yang dipilih. Outbond kami pilih karena di sini fungsionaris partai bisa dilatih secara langsung bagaimana membentuk kader yang militan, mampu bekerja sama dalam tim, dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Banyak permainan dan simulasi yang langsung maupun tak langsung diarahkan ke tujuan-tujuan itu. Dari situ bisa dinilai kualitas masing-masing kader. Acara ini seperti mengintip potensi mereka, mencari tahu siapa saja kader Partai Golkar. Hasilnya bisa dilihat langsung. Saat outbond terlihat apakah muncul kekompakan, kesamaan langkah, dan lain sebagainya. Penilaian ini penting, sebab proses kaderisasi selalu ditujukan untuk mencari kader yang suatu saat diharapkan dapat memimpin partai, baik di pusat maupun daerah.

DPP sendiri sudah mempunyai data lengkap tentang sifat dan potensi kepemimpinan dari semua fungsionaris yang mengikuti program ini. Dari data diketahui mana kader yang berani menyuarakan pendapat, punya nyalir bertempur, dan mana yang cukup berperan di belakang meja. Tentu tidak semua orang bisa bersuara lantang, tapi tidak semua orang juga telaten mengerjakan tugas-tugas administrasi. Kami punya semua datanya sekarang. Dari sana bisa diketahui kemampuan masing-masing orang, sebagai dasar memutuskan siapa diterjunkan untuk mengerjakan apa. Kader akan diberi tugas sesuai dengan potensinya. Diharapkan semua bisa menggerakkan partai dengan efektif.

Seluruh pengurus DPP Partai Golkar wajib mengikuti outbond ini. Tidak ada pengecualian. Termasuk saya sendiri. Kepada para petinggi Golkar, baik menteri maupun gubernur, saya katakan kepada mereka bahwa mengikuti acara ini bukanlah sesuatu yang hina. Jangan malu. Kita harus berbaur dengan teman-teman kader yang lain. Memang tidak mudah beraktivitas di ruangan terbuka, di bawah terik matahari, dan bergelut dengan kotoran. Saya tekankan pelatihan ini harus dilihat sebagai kebanggaan. Seperti halnya di korps militer, dalam kesempatan tertentu, jenderal pun harus mengenyam pengalaman yang sama dengan prajurit. Saya sendiri mengikuti semua kegiatan ini, dari A sampai Z.

Saya senang dan berterima kasih sekali atas respons positif terhadap ajakan saya untuk mengikuti kegiatan outbond ini, khususnya terhadap kader-kader dari daerah yang telah jauh-jauh datang ke Jakarta. Hal yang semakin membuat gembira adalah respon positif kader setelah acara. Banyak pengurus daerah yang menyampaikan keinginan agar kaderisasi dengan metode ini juga diselenggarakan di daerah. Saya setuju sekali dan minta supaya segera direncanakan sehingga kader-kader kita di daerah juga memiliki semangat dan kebanggaan yang luar biasa. Meski demikian patut diingat, pelatihan-outbond ini hanya berlangsung selama 1,5 hari. Tentu tidaklah mungkin dalam tempo sesingkat itu kita menuntaskan semua persiapan yang dibutuhkan untuk menyiapkan kader Golkar menghadapi 2014 mendatang. Akan tetapi, kebanggaan, kekompakan dan kerjasama yang telah tumbuh di pelatihan ini hendaknya terus dipertahankan dan terus ditingkatkan. Saya berharap, setelah pelatihan ini, gerak langkah Partai Golkar betul-betul bisa militan dan serempak dari pusat sampai daerah.

Dari Economic Entreprenuer Menjadi Political Entrepreneur

Oleh: Aulia Rachman
Politikus Partai Golkar, mantan Anggota DPR RI

Aulia_001-277x300Saya mengenal Aburizal Bakrie saat masih kuliah. Kebetulan kami sama-sama aktif di Dewan Mahasiswa (Dema). Pak Ical Ketua Dema ITB saya Sekjen Dema Universitas Indonesia (UI).

Perkenalan saya dengan Pak Ical sebenarnya sudah sejak di bangku SMA. Meski kami berbeda SMA, namun sudah saling kenal. Pertemanan makin dekat setelah Pak Ical setelah jadi mahasiswa.

Pertemuan dengan Pak Ica terjadi pada bulan April 1970. Saat itu Dema ITB mengadakan pertemuan dengan Dema UI dan Unpad di hall ITB. Agendanya adalah persiapan pertemuan Dema se-Asia Tenggara atau Association of South East Asia Student (ASEAS).

Ada kenangan tak terlupakan dengan Pak Ical di sana. Pada waktu itu terjadi konflik antar peserta di tiga Dema itu. Pertengkaran terjadi saat akan mengambil keputusan untuk menunjuk satu wakil dari tiap Dema untuk menjadi pengurus ASEAS.

Saya dan kawan-kawan menentang rencana penunjukan itu. Kami tidak mau pengurus langsung menunjuk perwakilan. Keinginan kami: harus ada pemilihan untuk menjadi perwakilan di ASEAS. Perdebatan malam itu yang berlangsung paling keras adalah antara saya dan Bernard Mangunsong. Karena sama-sama ngotot, saya dan dia nyaris bentrok fisik. Saat situasi panas begitu, Pak Ical datang memisahkan kami. Dia berhasil melerai dan mengakhiri konflik mahasiswa UI-ITB. Saya masih ingat ucapannya, “Sudah, sudah, jangan berantem. Sama-sama anak Jakarta.” Saya dan Bernard akhirnya tidak jadi berkelahi.

Selama menjadi mahasiswa, jiwa kepemimpinan Pak Ical sudah terlihat. Selain memiliki pandangan yang cukup dewasa untuk pemuda seumurnya, dia juga menunjukkan visi seorang technopreneur. Selepas lulus sebagai Insinyur teknik listrik pada tahun 1973, dia menerapkan technopreneurship melalui PT Bakrie&Brothers.

Lepas dari ITB, saya dan Pak Ical mengambil jalan yang berbeda. Saya menjadi politisi dan masuk DPR, Pak Ical menjadi pengusaha melanjutkan usaha keluarga Bakrie dan menjadi pengurus Kadin. Di dunia bisnis, nama Pak Ical semakin melejit. Dia dikenal sebagai pebisnis yang sukses mengembangkan usaha keluarganya. Dia juga dikenal sebagai pemimpin Kadin yang diperhitungkan.

Suatu saat di tahun 1988 saya dan Pak Ical kembali bertemu di DPR. Sebagai seorang pengusaha sukses dan aktif di Kadin, dia diundang untuk membahas Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Saat itu dia memberikan pandangan mewakili Kadin di mana dia menyampaikan visi ekonominya.

Saya bertemu lagi dengan Pak Ical di dunia politik saat dia mengikuti konvensi calon presiden Partai Golkar. Sejak itu, dia aktif di Golkar di mana saya lama menjadi anggota partai ini. Pak Ical yang semula dikenal sebagai economic entrepreneur beralih menjadi political entrepreneur. Jiwa kepemimpinannya makin menonjol dan terasah di Golkar. Kini Pak Ical memimpin Partai Golkar, dan saya yakin dia akan sukses sebgaimana kepemimpinannya sebelumnya.