Disampaikan Pada Acara Penganugerahan Penghargaan untuk Pelestarian Budaya Jawa. Surakarta, 8 April 2012.
Assalamua’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati,
Para sesepuh, Para tokoh, Para pemerhati dan pelaku budaya Jawa,
Dewan Juri Penganugerahan Pelestari Budaya Jawa,
Para undangan, Rekan-rekan insan pers, dan Hadirin yang saya banggakan.
Memulai sambutan ini, perkenankan saya mengajak hadirin sekalian untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan karunia-Nya, sehingga kita dapat menghadiri acara “Penganugerahan Penghargaan untuk Pelestari Budaya Jawa” dalam keadaan sehat wal afiat.
Pada kesempatan ini, saya sungguh merasa bangga dan sangat berbahagia berkumpul bersama para pelestari budaya jawa. Karena, acara ini pada hakikatnya, bukan hanya sekedar pemberian penghargaan, tetapi merupakan momentum penyadaran akan pentingnya pelestarian nilai-nilai budaya bangsa umumnya dan budaya Jawa khususnya, sekaligus sebagai wujud komitmen kita semua untuk merawat dan menjadikan nilai-nilai budaya sebagai pedoman dalam kehidupan kita bersama.
Acara ini sangat penting, karena kita adakan di tengah sebagian masyarakat mulai memandang budaya bangsa lain lebih menarik, lebih hebat dari budaya kita sendiri. Bahkan, ada sekelompok orang yang sudah menganggap budaya lokal sudah tidak relevan dengan kemajuan globalisasi. Mereka bangga dengan budaya luar dan menganggap remeh budaya sendiri. Mereka menganggap budayanya sendiri tidak relevan dengan kehidupan modern.
Memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal menjadi tantangan bagi kita untuk mencari cara bagaimana mengembalikan rasa hormat kepada budaya sendiri. Sejarah membuktikan, kemajuan suatu bangsa dapat terjadi justru apabila suatu bangsa menghargai kebudayaannya sendiri. Mari kita lihat bagaimana China bisa maju, tanpa kehilangan identitas budayanya, dan Jepang bisa melaju karena melandasi kehidupan modern dengan nilai dan karakter kebudayaannya.
Para Pelestari Budaya dan Hadirin yang saya hormati.
Budaya kita, jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya mampu menjadi pendorong kemajuan. Bila Rhonda Byrne dalam bukunya The Secret mengatakan, bahwa sumber utama kesuksesan adalah mensyukuri apa yang telah ada, karena alam akan memantulkan kembali kebahagiaan, maka orang Jawa sudah lama memiliki moto “nrimo pawehing pandum”, artinya menerima apa yang diberi Tuhan. Jika orang lain mengatakan, bahwa sumber kesuksesan adalah terus berusaha, mencoba, dan mencoba, maka orang Jawa telah lama memiliki moto “tatag-tutug”, yang maknanya siapa yang yakin dan terus mencoba, maka dia akan sampai. Oleh karena itu, saya tegas menolak jika ada teori perubahan sosial yang mengatakan, bahwa kebudayaan adalah penghambat kemajuan. Yang benar adalah bahwa kebudayaan, jika dimaknai dengan benar akan menjadi pendorong kemajuan.
Sejak lama saya sudah mengagumi budaya Jawa, yang menurut saya merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai luhur yang tinggi. Budaya Jawa yang dipegang teguh telah menciptakan sikap, kepribadian, dan gaya, serta perilaku orang Jawa menjadi sosok yang simpatik, halus, santun, toleran, fleksibel, dan menyukai keharmonisan. Sosok yang cocok dengan kehidupan bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Bahkan, saya tidak hanya mengagumi budaya Jawa, tapi saya juga mengagumi gadis Jawa, saya tertarik pada gadis Jawa. Ini terbukti, karena isteri saya adalah putri Jawa dari daerah Pati, Jawa Tengah. Padahal saat saya masih lajang, banyak lho gadis-gadis cantik yang mengejar saya, bukan cuma gadis-gadis, bahkan banyak orang tua yang kesengsem ingin menjadikan saya sebagai menantunya. Mungkin, karena saat itu saya sudah kelihatan punya tanda-tanda masa depannya akan cerah.
Walaupun banyak godaan, tapi cinta saya teguh dan tak tergoyahkan, hanya untuk seorang putri Jawa, dan alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah SWT, nawaitu saya dikabulkan dan saya dianugerahi seorang istri yang memegang teguh nilai-nilai budaya Jawa dan menjadi pendamping setia saya dalam mengarungi kehidupan yang dengan segala suka duka dan pahit manisnya.
Para pelestari budaya Jawa serta hadirin yang saya hormati.
Mengapa nilai dan budaya Jawa menarik perhatian saya?. Bukan hanya karena Jawa adalah etnis terbesar di Republik ini, di mana secara demografis etnis Jawa berjumlah sangat besar, sekitar 43 % dari seluruh penduduk Indonesia. Tetapi yang lebih hebat dari itu, adalah kebesaran hati orang Jawa. Di negara lain, dengan jumlah penduduk yang dominan, etnis Jawa sesungguhnya dapat memaksakan negara ini berdiri atas dasar kesukuan, yaitu suku Jawa, seperti halnya terjadi di beberapa negara lain, yaitu Irlandia dengan suku Irish, Uzbekistan dengan suku dominan Uzbek, Azerbaijan dengan suku dominan Azeri, dan bahkan Arab Saudi yang berdiri di atas pilar Keluarga Saud atau Bani Saud.
Tetapi di Indonesia, bangsa kita berdiri justru atas prinsip persatuan dan kesatuan Indonesia yang menghargai kemajemukan, Bhinneka Tunggal Ika, dan yang memelopori kemajemukan itu sebagiannya justru berasal dari Jawa. Orang-orang Jawa juga berbesar hati merelakan “bahasa Jawa” tidak menjadi Bahasa Nasional, tetapi justru mendukung bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Padahal, Bahasa Indonesia berinduk pada rumpun bahasa Melayu.
Kebesaran hati orang Jawa ini, pasti ada sumbernya, yaitu pada nilai-nilai dan filosofi Budaya Jawa. Dalam pandangan saya, budaya Jawa memiliki nilai-nilai dan filosofi luhur, bila dijalankan secara konsisten dan konsekuen akan membawa begitu banyak manfaat dan kemajuan bagi bangsa.
Orang Jawa merupakan suku yang penyebarannya paling luas di seluruh Indonesia, bahkan melampaui batas teritorial bangsa, di Suriname misalnya, dan mampu hidup harmonis bersama anak bangsa lainnya. Mengapa orang Jawa bisa hidup harmonis bersama suku bangsa lain? Cara hidup yang mengedepankan harmoni, menjadikan orang Jawa dapat hidup berdampingan secara damai dan nyaman dengan suku bangsa lain. Dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, orang Jawa berprinsip seperti wasiat Mangkunegoro I, yang dikenal dengan istilah Tribroto, yaitu selalu “rumongso melu handarbeni”, harus merasa ikut memiliki, wajib “melu hangrungkebi“, wajib ikut membela dengan ikhlas, dan “mulat sariro hangroso wani”, harus selalu mawas diri dan memiliki sifat berani membela kebenaran. Filosofi itulah, menjadikan orang Jawa mudah diterima semua pihak.
Filosofi orang Jawa dipelajari, bahkan dipakai oleh banyak orang di luar etnis Jawa. Tidak hanya dalam urusan kehidupan secara umum, tetapi juga dalam hal kepemimpinan. Sebelum lahir pakar kepemimpinan modern, masyarakat Jawa telah memiliki doktrin kepemimpinan sendiri, seperti tercantum dalam kitab Ramayana karangan Yosodipuro I yang hidup di Keraton Surakarta, abad ke-18 yang dikenal dengan istilah Hasto-Broto, yakni ciri kepemimpinan berdasarkan sifat-sifat alam, yaitu : Suryo, matahari yang menyebarkan energi. Condro, bulan, indah dan penuh keteduhan. Kartiko, bintang, menjadi penunjuk arah. Maruto, angin, adil terhadap yang dipimpin. Selain itu juga Dahono, api, memberikan reward and punishment. Angkoso, langit, berwawasan luas. Samudro, laut, menampung semua masalah; dan Bantolo, bumi, sabar, penuh pengertian dan mencukupi.
Selain itu, masih banyak lagi filosofi kepemimpinan Jawa yang hidup dan berkembang luas dalam masyarakat, di antaranya : “menang tanpo ngasorake”, yakni menang tanpa merendahkan, tanpa membuat hina yang dikalahkan. Filosofi ini penting dan sangat relevan di terapkan dalam ranah politik, agar kontestasi dan kompetisi politik tidak membawa dampak negatif berupa rusaknya hubungan baik dan terganggunya keharmonisan antar-pelaku politik; tetapi dari kontestasi dan kompetisi politik akan menghasilkan rasa respek, tetap terjalinnya persahabatan di kalangan para politisi lintas partai dan kelompok. Dalam bahasa yang sering saya ungkapkan, kita menghindari intrik dan fitnah politik, dan secara sungguh-sungguh menjadikan ide dan gagasan sebagai instrumen politik, melalui perdebatan konseptual.
Nilai kepemimpinan lainnya, adalah “mikul dhuwur mendem jero”, yang berarti menjadi kewajiban untuk menjunjung tinggi pimpinan, menjaga kehormatan dan martabat pimpinan. Falsafah ini memberikan pesan bahwa menceritakan aib pimpinan sesungguhnya menceritakan aibnya sendiri. Falsafah ini sesuai dengan ajaran Islam yang melarang menceritakan aib orang lain, dan bagi mereka yang melakukannya, sama dengan orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri.
Falsafah kepemimpinan Jawa lainnya yang penting dan sangat relevan dengan situasi ke-kinian, adalah “ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh” , artinya, bahwa sebagai pemimpin, janganlah terlalu terheran-heran terhadap sesuatu yang baru, tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan, dan tidak boleh sombong sewaktu menjadi pemimpin. Budaya Jawa juga mengajarkan sikap kerendah-hatian, seperti mengemuka dalam adagium Jawa yang sangat populer dalam masyaraakat : “Ojo Rumongso Biso, Nanging Biso O Ngrumangsani”, jangan cepat-cepat merasa bisa, merasa mampu, tetapi terlebih dahulu, belajarlah untuk bisa merasa.
Bahkan, ada filosofi kepemimpinan Jawa yang lain, yang kemudian lebih dipopulerkan oleh Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantoro, sebuah filosofi yang saya anggap sangat penting untuk diadposi dan diterapkan oleh pemimpin dewasa ini, adalah ”ing ngarso sung tulodho”, ”ing madyo mangun karso”, “tut wuri handayani”. ”Ing ngarso sung tulodho”, yaitu pemimpin harus mampu berdiri di depan untuk memberi tauladan lewat sikap dan perbuatannya. ”Ing madyo mangun karso”, berarti seorang pemimpin harus mampu berada di tengah-tengah bawahannya, terus memberi semangat dan motivasi agar bawahan dapat bekerja lebih baik dan lebih produktif, dan ”tut wuri handayani”, yaitu mendorong dan mendukung dari belakang kepada bawahannya, kepada staf dan kadernya, agar mereka berani tampil dan maju dengan penuh tanggung jawab.
Dengan berpedoman kepada nilai-nilai kepemimpinan Jawa tersebut, saya meyakini, tidak akan ada pemimpin yang “pinter nanging keblinger “ , yaitu pemimpin yang pintar tapi keblinger, salah besar atau salah jalan, atau pemimpin yang “lali marang asale”, pemimpin yang lupa dengan asal usulnya. Nilai-nilai budaya Jawa tersebut sangat relevan di tengah suasana kegaduhan politik nasional yang kerap terjadi dewasa ini. Saya yakin, bila nilai-nilai luhur tersebut kita terapkan, pasti tidak terjadi kegaduhan politik, bahkan sebaliknya budaya politik kita semakin bermartabat, karena semua pihak saling menghargai dan menghormati, menjaga kesantunan dan fatsun politik, serta lebih fungsional dan produktif.
Para tokoh pelestari budaya Jawa dan hadirin yang saya hormati.
Kekaguman saya pada nilai-nilai dan filosofi budaya Jawa tersebut, membuat saya terpanggil untuk ikut aktif mengambil kepeloporan dalam ikhtiar melestarikan dan internalisasi nilai-nilai luhur budaya Jawa. Saya juga terpanggil untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang mengabdikan dirinya untuk melestarikan budaya Jawa, khususnya kesenian Jawa.
Saya meyakini, masih cukup banyak orang Jawa yang menekuni jalan hidupnya di bidang kebudayaan, di bidang kesenian. Mereka mengabdikan hidupnya untuk melestarikan budaya Jawa, mengembangkan kesenian Jawa, agar jangan sampai budaya Jawa “mati”, karena kematian budaya Jawa sesungguhnya adalah “kematian” seluruh orang Jawa, bahkan “kematian” bangsa Indonesia. Walaupun jalan hidup yang ditempuh tersebut adalah “jalan yang sunyi”, jalan yang jarang dilalui orang, karena tidak menarik, tidak populer, dan tidak mendatangkan uang yang banyak, namun mereka tetap melakoninya dengan penuh kesungguhan, karena rasa cintanya kepada budaya Jawa.
Keberpihakan dan kepedulian para pelestari budaya Jawa tersebut, sangat pantas mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang tinggi. Apabila sampai saat ini budaya Jawa masih hidup dan berdenyut di tengah-tengah masyarakat, apabila masih ada anak-anak muda bangsa aktif menekuni berbagai bidang kebudayaan dan kesenian Jawa, sesungguhnya hal itu hanya dapat terjadi, karena kerja para pelestari budaya Jawa. Untuk itu, sudah seharusnya, jasa dan pengabdian mereka diberikan penghargaan sebaik-baiknya.
Karena itu, saya merasa tergerak oleh dedikasi dan semangat yang pantang menyerah dari para pemerhati dan pelestari budaya Jawa, yang dengan segala cara tetap “nguri-nguri“ filosofi dan budaya Jawa, jangan sampai hilang ditelan modernisasi dan globalisasi. Saya ingat salah satu pesan para leluhur Jawa, yaitu : “ojo nganti wong Jowo ilang jawane kari jahile”, jangan sampai orang Jawa hilang kejawaannya, yang tinggal hanyalah kebodohan; karena tidak memahami filosofi Jawa. Jangan sampai kita kehilangan identitas, yang menyebabkan kita lupa siapa diri kita sebenarnya.
Untuk mewujudkan niat tersebut, saya membentuk sebuah Tim Dewan Juri untuk menilai aneka kesenian Jawa yang sangat populer dan merakyat. Setelah membahas secara intensif, Tim Dewan Juri menetapkan 5 (lima) Kesenian Rakyat yang sangat populer dalam masyarakat, yaitu Wayang Kulit, Ketoprak, Ludruk, Reog, dan Keris. Kelima kesenian inilah yang menjadi kategori pemilihan Tokoh Pelestari Budaya Jawa. Mungkin di lain waktu jenis kesenian rakyat ini bisa ditambahkan kategori lain, seperti Batik, Tembang, dan Sastra Jawa.
Selanjutnya, Tim Dewan Juri bekerja secara profesional, akurat, dan independen dan mencatat lebih 50 tokoh yang memiliki pengabdian yang tinggi dalam pengembangan dan pelestarian kesenian-kesenian tersebut. Kemudian Dewan Juri melakukan seleksi secara ketat, obyektif, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, akhirnya terpilih 5 orang tokoh pelestari budaya Jawa untuk mendapatkan penghargaan yang diserahkan pada acara ini. Perlu saya kemukakan, bahwa penghargaan di bidang budaya ini melengkapi penghargaan BAKRIE AWARD yang telah saya berikan selama ini setiap tahun kepada para tokoh di bidang ilmu pengetahuan dan pengabdian masyaraka.
Para tokoh pelestari budaya Jawa serta hadirin yang saya hormati.
Secara kultural, seni budaya Jawa merupakan salah satu budaya tertua yang sangat berpengaruh. Seni budaya wayang, misalnya, telah menjadi seni rakyat yang menyebar di Indonesia. Bahkan, Wayang diakui oleh UNESCO menjadi “Warisan Budaya Dunia”. Selama ini seni wayang telah menjadi sarana edukasi yang sangat diminati rakyat. Melalui seni wayang, pesan luhur kebudayaan Jawa disampaikan oleh para “Dalang” yang dibungkus melalui guyonan-guyonan segar. Melalui wayang, nilai-nilai disampaikan tanpa kesan menggurui. Dengan demikian, wayang bukan sekedar tontonan, tetapi sarana untuk menyampaikan tuntunan.
Demikian juga dengan Keris, atau lebih luas adalah Senjata Pusaka. Keris bagi orang Jawa adalah simbol kewibawaan dan keagungan, bukan hanya personal tetapi juga komunal. Keris juga diyakini mempunyai kekuatan gaib dan keunggulan. Karena itu, di zaman Kerajaan Jawa masa lalu, ada simbol pusaka kerajaan, seperti Keris Nogo Sosro dan Sabuk Inten dan pusaka-pusaka lainnya. Sebagian orang Jawa bahkan percaya bahwa senjata menyatu bersama pemiliknya. Itulah yang menjelaskan berbagai peristiwa tentang Aryo Penangsang dan Ki Ageng Mangir. Sebagaimana sering dikisahkan dalam seni ketoprak, Aryo Penangsang terbunuh oleh Keris Setan Kober miliknya sendiri, dan Ki Ageng Mangir terbunuh setelah senjata pusaka Kyai Nogo Baruklinting disembunyikan oleh Retno Pembayun.
Selain itu, pada kesempatan ini diberikan juga penganugerahan kategori budaya Jawa lainnya, yaitu Ketoprak, Reog dan Ludruk. Berbeda dengan wayang yang sumber ceritanya adalah Kisah Ramayana dan Mahabarata, Ketoprak lebih sering mementaskan legenda dan sejarah Tanah Jawa. Melalui ketoprak, diajarkan pelajaran sejarah dan legenda yang hidup di masyarakat, sehingga masyarakat memahami sejarahnya sendiri. Sumber cerita diambilkan dari karya kesusasteraan dan cerita lisan yang berkembang dalam masyarakat luas.
Sedangkan Ludruk, berkembang di daerah Surabaya dan sekitarnya, masuk dalam bagian “sub kultur Arek”. Sumber cerita ludruk adalah fenomena masyarakat sehari-hari. Ludruk memotret fakta-fakta dalam masyarakat dengan menyisipkan pesan-pesan moral sekaligus kritik sosial. Melalui ludruk, rakyat diajak merenungkan kembali kehidupan sosial kita, apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai kita atau sudah bergeser. Ludruk juga menjadi alat perjuangan pada masa kemerdekaan. Kita mengenal Cak Durasim, tokoh Ludruk Organisatie (LO) yang melontarkan sindiran melalui kidungan yang sangat populer hingga dewasa ini : “pegupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro” (artinya : ikut Nippon tambah sengsara). Kidungan ini membangkitkan perlawanan masyarakat terhadap penjajah Jepang. Tokoh Ludruk ini akhirnya meringkuk dalam tahanan, sampai pada tahun 1944, Tuhan memanggilnya.
Yang agak berbeda adalah Reog Ponorogo. Reog lebih mirip sendratari, yaitu suatu pertunjukan tari yang mengisahkan sejarah akhir Majapahit. Kesenian reog beberapa tahun yang lalu sempat menghebohkan, karena negara tetangga juga menganggap reog sebagai kebudayaan mereka. Kita harus tegaskan, bahwa reog adalah kesenian otentik ponorogo, bagian dari kebudayaan nasional bangsa Indonesia.
Bapak, Ibu dan hadirin yang berbahagia.
Saya sendiri, telah lama belajar banyak tentang filosofi Jawa yang luhur dan budaya Jawa yang adiluhung. Saya beruntung karena tidak perlu jauh-jauh belajar, bisa berguru kapan saja, karena saya belajar dari istri saya, putri Jawa. Tetapi kalau hanya belajar dari istri saya saja, rasanya belum cukup. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar para sesepuh dan pinisepuh dapat memberikan piwulang, agar saya yang sekarang ini tengah mengemban amanat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dapat membawa Partai ini menjadi harapan bangsa Indonesia dan menjadi partai yang mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan bangsa, termasuk dalam upaya pelestarian budaya bangsa, khususnya budaya Jawa.
Melalui para sesepuh, saya mengetahui bahwa yang dimaksud dengan istilah “Jawa” sebenarnya telah bergeser ke atas, ke tingkat yang lebih tinggi, bukan sekedar bermakna etnis, tetapi sudah dimaknai sebagai sebuah ciri dan karakter yang luhur. Orang yang suka berderma disebut “Njowo” sebagai lawan dari pelit. Seorang anak yang patuh kepada orang tuanya disebut “Njowo”. Seorang kakak yang penyayang kepada adiknya dikatakan “Njowo marang adi’ne”. Dengan cara berfikir seperti itu, para sesepuh berkesimpulan bahwa menjadi “Wong Jowo” adalah takdir, tetapi menjadi “Njowo” adalah pilihan.
Terakhir, sebelum saya mengakhiri sambutan ini, saya menyampaikan pesan singkat tentang kondisi bangsa dan negara kita saat ini. Kondisi bangsa dan negara kita saat ini memang belum sampai ke tingkatan ideal seperti yang kita harapkan semua; belum seperti cita-cita para Pendiri Bangsa. Kita semua tahu, bahwa negara kita belum “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo”. Jangan sampai karena kecewa terhadap kondisi negara dan bangsa, kita justru ikut-ikutan merusaknya, karena itu tidak memperbaiki kondisi, bahkan tambah membuat kerusakan makin berat. Prinsipnya, adalah “Jika malam menjadi gelap, karena lampu padam, tidaklah penting kita mengutuk kegelapan, yang lebih penting adalah menyalakan lilin, agar suasana menjadi terang”.
Jika zaman ini dianggap zaman edan, janganlah kita ikut menjadi edan, ikut menjadi lupa dan terlena, kemudian merusaknya. Tetapi kita harus tetap selalu ingat dan waspada, seperti pesan dari Pujangga besar Jawa, Ronggowarsito, yaitu : sa’ bejo-bejoning wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo, maksudnya : sebaik-baiknya orang yang lupa, masih lebih baik orang yang ingat dan waspada.
Para tokoh pelestari budaya dan Hadirin yang saya hormati.
Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan. Saya ucapkan selamat kepada para tokoh pelestari budaya Jawa yang terpilih, semoga ke depan pengabdian Saudara-saudara makin meningkat bagi kemajuan bangsa. Amien…!
Sebagai hadiah kepada para tokoh pelestari budaya Jawa dan hadirin sekalian, perkenankan saya mempersembahkan dua buah pantun:
JALAN-JALAN KE BOROBUDUR
TIDAK LUPA MEMBELI ANGGUR
BUDAYA JAWA TIDAK KAN MUNDUR
SELAMA DIJAGA DENGAN TERATUR
POHON BERINGIN BERDIRI TEGUH
TEMPAT WARGA DUDUK BERTEDUH
BUDAYA JAWA BERKEMBANG SUNGGUH
INDONESIA AKAN SEMAKIN TANGGUH
Sekian, terima kasih, dan mohon maaf atas segala kekurangan.
Matur sembah nuwun,
Billahi taufiq wal hidayah,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.