Berkunjung ke Thailand, Mempererat Hubungan Negara ASEAN
Belakangan ini negara tetangga kita Thailand sedang mendapat ujian berat berupa bencana banjir besar. Bencana yang sudah terjadi sejak Juli lalu itu telah menelan lebih dari 600 korban jiwa. Sedikitnya ada 1,9 juta keluarga kehilangan tempat tinggal, serta lahan-lahan pertanian di hampir 50 provinsi rusak, dalam musibah bencana alam tersebut.
Selasa, 22 November 2011 pekan lalu, saya terbang ke Bangkok. Saya berkunjung ke Thailand untuk bertemu pimpinan partai politik dan pejabat pemerintahan di sana. Saya ke Thailand bersama dengan beberapa petinggi Partai Golkar. Di sana saya didampingi Duta Besar RI untuk Thailand, Muhammad Hatta.
Kunjungan ini sama dengan kunjungan Partai Golkar ke berbagai negara sebelumnya. Sebelumnya, kami sudah ke Tiongkok, bertemu Partai Komunis Tiongkok, Partai UMNO (United Malays National Organisation) di Malaysia, serta Partai Demokrat dan Partai Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) di Timor Leste.
Saat saya tiba di negeri Gajah Putih itu, banjir sudah surut, dan warga setempat telah beraktivitas seperti biasa. Aktivitas di kantor-kantor pemerintahan sudah kembali normal. Bandar Udara Suvarnabhumi, yang sempat terganggu pun, kini sudah pulih.
Tetapi, Bangkok, yang merupakan ibu kota negara tersebut, sesungguhnya masih siaga. Di sejumlah kawasan –seperti di kantor-kantor pemerintah, pusat perbelanjaan, permukiman penduduk– tampak tumpukan karung putih berisi pasir yang digunakan untuk menghambat air masuk jika sewaktu-waktu banjir datang lagi. Pemandangan yang sama juga terlihat di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di sana.
Atas bencana itu, saya sampaikan rasa simpati dan duka cita yang mendalam untuk rakyat Thailand. Saya sampaikan langsung hal itu ketika bertemu Perdana Menteri Yingluck Shinawatra di Gedung Parlemen, di Bangkok, pada Rabu sore, 23 November 2011.
Bencana nasional tersebut merupakan ujian yang tidak ringan, bukan hanya bagi rakyat Thailand, tetapi juga bagi pemerintahan Perdana Menteri Yingluck, yang belum genap setengah tahun. Saya katakan, meski tidak sama, musibah tersebut hampir menyerupai yang dialami Indonesia di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, ketika terjadi bencana gempa-tsunami di Aceh pada 2004.
Kepada Yinluck, saya yakinkan, pemerintah Thailand pasti mampu mengatasi bencana banjir terparah dalam 50 tahun terakhir itu. Perdana Menteri Yingluck berterima kasih dan mengaku senang karena merasa mendapatkan dukungan untuk mengatasi musibah itu. Dia bahkan mengaku berkomitmen untuk tidak mengurangi jumlah ekspor beras, atau pun menaikkan harga beras, ke Indonesia.
Perdana Menteri Yinluck ini merupakan pemimpin baru pemerintahan Thailand yang terpilih Agustus lalu. Dia merupakan adik dari mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra yang digulingkan lewat sebuah kudeta militer. Sejak terpilih, banyak yang bilang Yinluck adalah pemimpin pemerintahan tercantik di dunia.
Dia memang muda dan cantik. Saat bertemu dengannya, saya katakan pada dia bahwa dia menjadi buah bibir di mana-mana. Khususnya di Indonesia, banyak yang bilang dia cantik.
Selain soal bencana banjir, dalam pertemuan dengan PM Yinluck, saya juga membicarakan banyak hal lain. Kami membahas hubungan dan kerja sama kedua negara: Indonesia-Thailand, yang meliputi, di antaranya, perdagangan, investasi, masalah penangkapan ilegal ikan (illegal fishing), dan terutama juga tentang pertanian/agrikultur/hortikultura, dan lain sebagainya.
Untuk hal terakhir itu, harus diakui bahwa Thailand lebih maju ketimbang Indonesia. Hasilnya banyak kita lihat dan kita nikmati di Tanah Air, bukan cuma beras, tetapi juga komoditas lain. Kita tentu sangat mengenal sejumlah komoditas buah-buahan impor dari Thailand, sebut saja misal, pepaya Bangkok, jambu Bangkok, durian Bangkok (atau lebih populer dengan sebutan durian montong), dan lain-lain.
Karenanya, saya sampaikan kepada PM Yingluck, bahwa akan sangat bermanfaat jika Thailand bersedia berbagi ilmu dan pengalaman untuk Indonesia tentang pengembangan sektor tersebut.
Masalah konflik bersenjata di Thailand Selatan juga menjadi salah satu topik perbincangan kami. Ini memang bukan perkara sederhana, sebab konflik tersebut telah berlangsung cukup lama, dan hingga kini telah memakan ribuan korban jiwa. Ia berakar pada keinginan masyarakat muslim di wilayah tersebut untuk mendapatkan hak mengatur tanah dan wilayah mereka sendiri.
Saya sampaikan kepada Perdana Menteri, mengatasi masalah sensitif tersebut memang harus sangat hati-hati, tidak bisa dengan cara-cara kekerasan. Kami tidak punya banyak waktu untuk membahas masalah itu lebih terperinci. Tetapi, saya katakan, kami, Partai Golkar maupun masyarakat dan pemerintah Indonesia, amat tidak keberatan untuk membantu jika pemerintah Thailand menginginkannya. Indonensia akan dengan senang hati berbagi ilmu dan pengalaman dalam penyelesaian konflik, tentu dengan cara-cara damai.
Dalam hal ini, saya katakan kepada dia, Indonesia memiliki lebih banyak pengalaman daripada Thailand. Misal, konflik di Aceh, Poso, Papua, dan sebagainya. PM Yingluck pun menyambut baik hal tersebut, dan ia mengatakan akan membicarakannya dengan para menteri.
Selain bertemu dengan PM Yinluck, di sana kami juga melakukan pertemuan dengan Pheu Thai Party, partai politik berkuasa di Thailand dan pendukung utama pemerintahan PM Yingluck. Pertemuan kami dengan Pemimpin Pheu Thai Party, Yongyoot Wichaidit, di kantor pusat Partai, dilakukan sehari sebelum saya bertemu PM Yinluck.
Dalam perbincangan dengan Yingluck maupun dengan Yongyoot Wichaidit, tercapai kesepakatan kerja sama antara kedua partai, di antaranya, dalam bidang pengkaderan, tata kelola organisasi partai, dan kajian tentang politik-pemerintahan. Bagi kami, ini penting untuk memperkuat organisasi partai masing-masing. Dalam negara demokrasi, keberadaan partai politik sangat penting sebagai sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya. Karena itu, partai politik harus kuat sehingga mampu menjalankan fungsinya dengan maksimal.
Partai Golkar maupun Pheu Thai adalah sama-sama partai pendukung pemerintah berkuasa sekarang. Golkar merupakan partai politik anggota koalisi pendukung pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan Pheu Thai ialah partai pendukung utama Perdana Menteri Yingluck. Meski partai baru, yang didirikan pada 2008, Pheu Thai adalah partai mayoritas di Parlemen Thailand. Ia memenangkan 265 kursi dari 500 kursi Parlemen. Pesaingnya, Partai Demokrat, hanya mampu merebut 160 suara.
Kerja sama kedua partai pendukung pemerintah negara masing-masing ini, menurut saya, tidak hanya bermanfaat Partai Golkar maupun Pheu Thai, melainkan juga bagi kedua negara. Kesamaan visi dan misi masing-masing, sedikit atau banyak, tentu akan membantu memperkuat hubungan kedua negara, juga hubungan negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Hal yang sama juga terungkap saat saya bertemu dengan Ketua Parlemen Thailand, Somsak Kiatsuranon, pada Rabu pagi, 23 November 2011. Dia pun menginginkan hubungan kedua negara lebih erat lagi, terutama dalam menyambut ASEAN Community (pembentukan komunitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara) pada 2015.
Khusus mengenai hal itu, memang sudah menjadi ranah negara/pemerintah, bukan masing-masing partai politik. Karenanya, Fraksi Partai Golkar akan terlebih dahulu membicarakannya pada pimpinan DPR RI, yang selanjutnya dibahas pada forum pertemuan parlemen tingkat Asia atau Asian Parliamentary Assembly (APA) nanti. Kebetulan, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Setya Novanto, juga ikut dalam kunjungan kami ke Thailand. Jadi, tinggal menindaklanjutinya saja pada para pimpinan DPR RI.
Itulah isi pertemuan kami dengan partai dan pemerintah Thailand selama kunjungan ke sana. Semoga pertemuan dan kerjasama yang dihasilkan tidak saja mempererat hubungan dua partai, namun juga hubungan dua negara, juga negara-negara kawasan ASEAN lainnya.